Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

Referendum Bait

Oleh: Fuad Akbar Adi

Menjelang petang, bait-bait yang kutulis seharian telah tersusun rapi bersama rangkaian frasa klasik. Secarik kertas putih kini telah tergores tinta-tinta hitam pekat dan tak pernah pudar. Bagaikan prasasti, secarik kertas itu berisi sebuah balada kehidupan. Sebuah balada tentang kehidupan bait-bait yang terkurung dalam rangkaian frasa klasik.

Dari jendela kamar, kudapat melihat sepasang burung gereja yang sedang bercengkrama mesra, berpijak pada kabel listrik yang membentang panjang, mereka menari-nari sambil diiringi kicauan indah yang mereka lantunkan sendiri. Perasaanku sedikit terhibur dengan keberadaan mereka yang telah membuyarkan suasana sunyi dan hampa dalam hatiku. Atensiku kini makin teralihkan oleh gerak-gerik mereka, aku melangkahkan kakiku mendekati jendela kamar apartemen yang setengah terbuka. Udara segar menyambutku seketika bersama lanskap gedung-gedung pencakar langit yang tertata rapi. Dari celah-celah gedung itu pun kudapat melihat rona jingga kemerah-merahan dari ufuk barat. Hingga tak kusadari aku bergumam sendiri memuji keindahan bumi tempatku berpijak ini.

Tiba-tiba dering telepon terdengar memecah keharmonisan alam yang sedang kunikmati ini. Kumelangkah menuju meja kerjaku dan mengambil ponsel yang aku letakkan di sana sembarangan. Kulihat nama Ferdy terpampang jelas pada layar ponsel. Hatiku kini mulai berdebar dan gelisah. Aku tak langsung mengangkat telepon dari Ferdy. Perasaan berdosa menggelayuti batinku, namun sekali lagi nafsu menang dan menghantarkanku untuk mengangkat telepon dari kekasih gelapku.

“Halo, dear? Nanti kita jadi keluar kan?” suara sumringah Ferdy terdengar jelas olehku.

“Emmm, I i iya jadi kok. Tapi kamu jangan jemput aku lagi ya, mending kita ketemuan aja di mana terserah. Soalnya suamiku mulai curiga dengan gelagatku” kucoba memperingatkan Ferdy. Entah apa jadinya jika Mas Erik memergokiku dijemput oleh lelaki yang tak ia kenal.

“Oh, gitu. Oke nanti aku sms kita ketemuan di mana. See you, dear” diakhiri dengan suara kecupannya mesra Ferdy.

“See you, honey”

Percakapan lewat telepon yang sangat singkat. Ferdy memang tipe orang yang seperti itu. To the point dan tidak bertele-tele, apa yang ingin dia utarakan, ia sampaikan secara singkat dan jelas. Setelah selesai ya selesai, tidak ada yang harus dibicarakan lagi maka ia akan diam dan berhenti berbicara. Dia hampir sama sepertiku. Selalu ingin memberontak atas konvensi yang sudah ada. Tak pernah taat pada peraturan dan semua hal yang berbau ketradisionalan. Mungkin itulah yang membuatku nyambung dan nyaman dengannya, berbeda sekali dengan Mas Erik, suamiku.

Aku dan Ferdy sudah hampir sebulan menjalani hubungan terlarang ini. Tak seharusnya aku melakukan perbuatan seperti ini, sungguh tak seharusya. Sempat terbayang-bayang dalam pikiranku rasa bersalah karena telah mengkhianati pernikahan maha agung yang telah kujalin bersama dengan Mas Erik lebih dari dua tahun. Meskipun sebenarnya semua yang telah terjadi ini bukan mutlak semata-mata salahku. Keadaan yang memaksaku melakukan perbuatan hina seperti ini. Sejak dari dulu aku tak pernah mencintai Mas Erik, namun entah apa yang ada dalam pikiran orangtuaku dan orangtua Mas Erik yang menjodohkan kami begitu saja tanpa mengetahui isi hatiku dan Mas Erik yang sebenarnya. Dulu, sempat aku mencoba menolak, akan tetapi karena desakan dan takut durhaka, aku tak kuasa membendung keputusan orangtuaku. Kini semua telah terjadi begitu saja, aku telah menikah dengan Mas Erik dan apa boleh buat, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalani kehidupanku.

Sebenarnya tidak ada yang kurang dari Mas Erik, dia nyaris memenuhi segala syarat untuk disebut sebagai suami ideal. Dia tampan dan kaya, ditambah sifatnya yang baik hati dan lembut kepadaku. Apa yang kurang darinya? Mungkin hanya wanita gila sepertiku yang membuka logikanya untuk menyelingkuhi suami seperti Mas Erik. Atau mungkin, itulah kekurangan dari Mas Erik. Iya, kekuranganya karena dia tidak mempunyai kekurangan. Dia terlalu baik untukku, aku tak terlalu suka dengan laki-laki seperti itu. Aku lebih suka lelaki yang cuek dan terkesan misterius seperti Ferdy. Hah, sial! Maafkan aku Mas Erik, aku terpaksa mengkhianatimu.

***

Ferdy mengajakku ketemuan di sebuah restoran yang menyediakan berbagai masakan Prancis dekat dengan kantor kerjaku. Aku malah baru tahu ternyata ada restoran Prancis di dekat kantorku sendiri. Dengan menggunakan shortdres one shoulder berwarna biru muda yang hanya mampu menutupi sebagian pahaku, kuhampiri Ferdy yang sudah menungguku di meja sebelah kanan paling pojok. Ia melambaikan tanganya ketika kuhampir sampai. Kubalas lambaian itu dengan senyuman sarat makna.

“Kau cantik malam ini, Rere. Apalagi dengan gaunmu yang kasual namun tetap nampak elegan dan tentunya membuatmu semakin terlihat seksi” Ferdy memberondongku dengan pujian-pujian indahnya. Kemudian ia menarik kursi yang masih kosong dan mempersilahkanku duduk.

“Makasi” ucapku dengan nada anggun.

Kami berbincang-bingcang sebentar, tak lama kemudian pelayan restoran datang membawakan hidangan yang telah kami pesan sebelumnya. Lengkap mulai dari appetizer hingga dessert. Ferdy menuangkan anggur berjenis wine ke dalam gelasku yang kosong. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan minuman ini. Namun, Ferdy bersikeras memaksaku untuk mencobanya.

Disertai garak lincah pemain biola yang terus mengalunkan nada-nada merdu dari biola klasiknya, kuhabiskan Crape cake terakhir yang ada di piringku. Sedang Ferdy sudah sedari tadi menghabiskan hidanganya, bahkan sesekali ia mencoba mencomot Foie gras milikku. Untung reflekku cukup cepat, sehingga mampu menangkis setiap serangan garpu yang hendak mencuri Foie grasku yang sangat lezat.

“Dear, kamu berangkat ke sini naik mobil sendiri apa taksi?” Ferdy membuka pembicaran ketika melihatku telah menghabiskan semua hidanganku.

“Naik taksi, honey. Why?”

“Kebetulan sekali, nati biar kuantar pulang saja sekalian” Ferdy menawariku dengan ekspresi setengah memaksa.

Sebenarnya aku ingin menolak tawaran Ferdy, mengingat ini sudah pukul sembilan malam lebih. Biasanya jam segini Mas Erik sudah pulang, aku takut kalau dia melihatku diantar pulang oleh seorang lelaki yang tidak ia kenal. Sudah jelas pasti Mas Erik akan menuduhku dengan segala asumsi negatifnya yang liar dan frontal. Akan tetapi, aku tak tega juga menolak tawaran Ferdy yang sepertinya sudah sangat berharap sekali untuk kuterima.

“Emmm, tapi aku takut kalau Mas Erik liat kita, Fer” ekspresi Ferdy berubah drastis ketika mendengar ucapanku.

“Tapi kan kamu udah biasa pulang malam. Come on, dear. Bilang saja temen kantor gitu” kini terlihat Ferdy benar-benar memaksaku.

Apa boleh buat, tak kuasa aku mendengar rengekan Ferdy yang mengingatkanku dengan rengekan keponakanku. Sekarang kami sudah berada di dalam mobil bersama. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke apartemenku. Kami pun menghabiskan waktu perjalanan kami dengan bernyanyi dan bermesraan. Sesekali Ferdy mencium keningku dan mengucapkan rayuan-rayuan indah seperti sedianya lelaki romantis.

Perjalanan yang sebenarnya mampu ditempuh dalam waktu setengah jam menjadi semakin lama akibat sepanjang perjalanan kami terus saja bersenda gurau. Sesekali aku mengejek Ferdy yang tak kunjung menikah, hingga akhirnya malah memacari istri orang. Ferdy hanya mengerutkan jidatnya dengan tatapan dingin bak psikopat ketika mendengar ejekkanku. Di sela-sela perjalanan kami yang sebentar lagi hampir sampai, tiba-tiba terdengar dering telepon dari ponselku. Sial, Mas Erik! Mendadak suasana berubah tegang, dengan ragu akhirnya kuangkat telepon dari Mas Erik.

“Halo, mah? Kamu di mana? Tumben jam segini belum pulang” suara Mas Erik datar tanpa intonasi tinggi sama sekali.

“Halo, aku sedang di jalan Mas, sebentar lagi sampai. Maaf, tadi ada masalah sedikit di kantor” kuputar cerita fiktif sebagai alasan.

“Oh, yasudah Mas cuman khawatir saja. Hati-hati ya mah” suara Mas Erik terdengar semakin lembut.

Kututup telepon dengan ucapan salam. Setelah itu nafasku kembali berhembus dengan ringan. Entah mengapa Mas Erik bisa sepolos itu. Seharusnya dia curiga bukanya malah bersikap perhatian seperti itu. Mas Erik memang manusia paling polos cenderung bodoh di dunia ini. Membuatku tak tega terus-terusan menyembunyikan sebuah fakta yang jelas akan menyakiti hatinya jika ia tahu. Sekelebat rasa bersalah kini terbayang-bayang dalam imajinasiku. Kulirik Ferdy yang sedari tadi menyimak dengan serius percakapanku dengan Mas Erik. Kumasukkan ponselku ke dalam tas lalu aku bersandar lemas pada kursi mobil. Ferdy masih memperhatikan gerak-gerikku. Terlihat ia sedang berfikir entah tentang apa.

“Jangan cemas. Aku yakin kita mampu melalui ini semua jika kita saling percaya. Aku manyayangimu. Kau terlalu berharga bagiku, dear. Aku janji suatu saat kita akan mengungkap semua yang telah terjadi. Secepatnya!” Ferdy meyakinkanku sambil menggengam tanganku erat.

“Makasi Fer. Tak seharusnya aku cemas seperti ini”

***

Aku tak tahu apakah Mas Erik melihatku diantar oleh seorang pria yang tak ia kenal. Ketika aku masuk kamar apartemen, dia masih menunjukan ekspresi ramah dan lembut layaknya tak terjadi apa-apa. Kulihat jemari tanganya masih menari di atas keyboard komputer. Kubuatkan secangkir kopi luwak kesukaanya sambil kuajak dia berbincang-bincang. Seperti biasa Mas Erik menyambutku dengan ramah dan lembut. Ia mananyaiku mengenai apa saja yang aku lakukan hari ini namun tidak dengan nada interogasi layaknya orang yang sedang curiga. Datar dan tidak bertubi-tubi.

Setelah berbincang cukup lama, aku pamit tidur duluan. Namun, tiba-tiba Mas Erik Mencegahku dengan nada suaranya yang berat dan terkesan misterius. Mendadak suasana berubah menjadi mencekam. Apakah Mas Erik sudah tahu semuanya? Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul dalam benakku.

“A a ada apa, Mas?” mendadak lidahku kelu.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, mah” suara itu kini terdengar semakin ganas bak raungan serigala malam yang haus akan darah. Imajinasi liarku kini bermunculan.

Aku hanya bisa diam dan harap-harap cemas menunggu detik-detik rangkaian kata yang sebentar lagi akan terlontar dari mulut Mas Erik. Hah, aku takut.

***

Air mataku tak mampu kubendung lagi. Malam makin larut, isakan tangisku malah makin terdengar keras menggelagar dalam malam yang sunyi. Hatiku terenyuh dengan ucapan yang barusan aku dengar. Tak kusangka Mas Erik mampu berpikir seperti itu. Ucapanya benar-benar membuatku tersentuh. Sungguh ini sangat terlihat fiktif sekali bahkan terkesan absurd. Bak telenovela saja yang menghadirkan tokoh protagonis yang memiliki hati super sabar. Bagaimana tidak, baru kali ini aku mendengar seorang suami mengiklaskan istrinya menjalin hubungan asmara dengan pria lain.

Mas Erik ternyata sudah mengetahui hubungan gelapku dengan Ferdy hampir sebulanan. Akan tetapi aku tak habis fikir, bukanya marah, dia malah jadi simpati kepadaku. Dia menganggap dirinya tidak mampu membahagiakanku. Dia menganggap aku melakukan hubungan perselingkuhan ini karena memang dari dulu aku tak mencintainya. Dia malah meminta maaf kepadaku. Bukankah itu semua terdengar tidak logis diucapkan oleh seorang suami? Namun itu belum seberapa, yang lebih membuatku tercengang adalah dia telah merencanakan sebuah hubungan untuk kami bertiga. Aku, Ferdy dan tentunya bersama Mas Erik. Kami akan melakukan poliandri!

Aku langsung menolak mentah-mentah rencana Mas Erik. Tak mungkin semua itu kulakukan. Lebih baik kutinggalkan Ferdy dan kembali kepada Mas Erik meskipun aku belum sepenuhnya mencintai Mas Erik, dari pada harus melakukan poliandri. Toh Mas Erik merupakan suami yang sangat baik hati dan sangat mencintaiku, tak mungkin aku setega itu untuk melakukan polaindri.

“Tak perlu khawatir, Mah. Kita bisa bicarakan ini nanti bersama pria itu juga. Minggu ini aku akan ke Manila, ada bisnis baru dengan klien dari Filipina. Minggu depan aku sudah pulang dan semuanya akan kita selesaikan nanti. Aku sangat mencintaimu, Rere. Aku tak mau kehilangan dirimu namun aku juga tak ingin membuatmu merasa terpenjara karena pernikahan kita yang tak kau inginkan” Mas Erik merangkai kata yang terdengar begitu pilu oleh batinku.

Aku tak lagi merespon semua yang Mas Erik rencanakan. Perasaanku begitu kalut. Untuk saat ini aku belum mampu berpikir jernih untuk mencerna dan memahami apa yang Mas Erik ucapkan sedari tadi. Otakku terlalu lelah, ditambah kelopak mata yang semakin lama terasa semakin berat untuk terbuka, mengintruksikan diriku untuk segera terpejam dan tidur.

***

Wangi bunga kamboja kuhirup dalam-dalam ketika kutelah menapakkan kedua kakiku di area pemakaman. Kulihat Ferrdy sudah berada di sampingku dengan kedua tanganya saling bersilang menutupi bagian antara perut dan dadanya sambil wajahnya menengadah ke arah pemakaman. Ferdy menatapku sejenak, kemudian menggandeng dan menuntunku menuju salah satu makam. Aku berjongkok di samping makam itu dan menatap batu nisannya lekat-lekat. Kuelus batu nisan itu sambil menaburi bunga melati. Kemudian dengan tersedu-sedu aku menangis di atas makam itu.

Tahun ini adalah tahun keenam pernikahan kami. Ya, aku dan Ferre telah resmi menikah enam tahun yang lalu. Sejak itu pula setiap tahun kami pasti ke pemakaman ini untuk memperingati tujuh tahun tragedi jatuhnya pesawat Indonesia Airline keberangkatan Jakarta-Manila sekaligus memperingati tujuh tahun meninggalnya, Mas Erik . . .

Sepucuk surat yang Mas Erik berikan kepadaku sebelum ia berangkat ke Manila kubaca lagi. Suaraku terdengar pelan dan lirih, ditambah nada isakan tangis bercampur menjadi satu kesatuan alunan pilu.

Terimakasih atas segalanya, dek Rereku sayang

Aku sangat mencintaimu meskipun aku tau kau tak demikian

Namun tak apa, hanya sekadar mencintaimu saja sudah membuatku bahagia



Aku juga ingin melihatmu bahagia pula, tersenyum dan terus tersenyum

Sayangnya aku tak bisa membuatmu seperti yang kuinginkan

Maka dari itu, aku memilih pergi

Agar kau bisa bahagia dengan orang yang bisa membuatmu bahagia



Terimakasih sekali lagi atas segalanya dek Ranaku sayang

Surat ini sebagai bukti referendum yang kuberikan kepadamu

Sebuah kebanggaan dan suatu kehormatan pernah menjadi bagian dari hidupmu



I love you, Rere

3 komentar:

  1. Bagus. isinya lengkap dan variatif. Blognya menarik memudahkan pembaca untuk memilih bahan bacaan atau referensi sesuai dengan kebutuhan karena terdapat menu dan submenu. namun ada beberapa kata yang penulisannya kurang tepat seperti pada kata to the point yang tidak dicetak miring. Sebaiknya penulisan juga perlu diperhatikan agar blog menjadi sempurna

    BalasHapus
  2. Bagus. isinya lengkap dan variatif. Blognya menarik memudahkan pembaca untuk memilih bahan bacaan atau referensi sesuai dengan kebutuhan karena terdapat menu dan submenu. namun ada beberapa kata yang penulisannya kurang tepat seperti pada kata to the point yang tidak dicetak miring. Sebaiknya penulisan juga perlu diperhatikan agar blog menjadi sempurna

    BalasHapus
  3. Hehe Iya mbak Mae makasi.
    Sedikit pembelaan untuk cerpen saya, sebenarnya ini bukan bentuk aslinya.
    Untuk masalah kata to the point itu sebenarnya sudah dicetak miring hanya saja saat dipindah ke blog ini harus kembali lagi normal semua.
    Maaf atas ketidaknyamanannya :'(

    BalasHapus

Designed By