Breaking News

Senin, 01 Desember 2014

Belenggu Dilema Hati









Belenggu Dilema Hati

Oleh: Fuad Akbar Adi




Aku masih bingung. Mataku tetap bergeming menyaksikan teman-temanku yang bersuka- cita karena pengumuman tadi. Sebenarnya hal ini tidak terlalu mengejutkan. Ya, sudah biasa SMAku dinyatakan sebagai SMA dengan nilai kelulusan Ujian Nasional terbaik sekota. Namun, aku tidak sebahagia teman-temanku yang lain. Ada sesuatu yang menahan kebahagiaanku. Oleh sebab itu, aku tak ikut larut dalam kegembiraan mereka. Aku masih duduk di atas pagar sekolah yang terbuat dari tembok. Bersama sahabatku sejak SD yang sedari tadi hanya terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu yang amat serius.
       
“Cepat bim, ceritakan kepadaku mengapa kau mengajakku ke sini. Aku sudah bosan berdiam diri seperti ini.”

“Hmmm, baiklah. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu Zak.”

“Emang apa’an? Kayaknya penting banget sampai kau keringetan begiitu”

“Ini tentang Wulan”

“Wulan? Ada apa dengannya?” Tanyaku dengan perasaan harap-harap cemas. Bukan sekedar cemas semata. Akan tetapi panik. Aku takut kalau Bimo akan mengatakan sesuatu yang juga ingin ku katakan kepadanya. Kini jangtungku bergetar begitu keras. Sebenarnya aku juga punya rencana untuk membicarakan sesuatu kepada Bimo, yaitu bahwa sebenarnya aku mencintai Wulan. Sahabatku sejak SD bersama Bimo. Namun, untuk saat ini aku belum siap.

“Huhhh, sebelumnya aku minta maaf karena telah mengkhianati hubungan bersahabatanku, kau, dan Wulan” jawab Bimo dengan suara berat. Sudah kuduga. Kini perkatan Bimo tadi sudah memperjelas dugaanku. Bagai seorang peramal aku sudah tau ending dari perkatanya tadi. Namun, aku mencoba untuk tetap polos dan pura-pura tidak tau.

“Maaf? Aku tidak merasa kau mengkhianati persahabatan kita. Kayaknya Wulan juga baik-baik saja kepadamu. Lalu, apa yang terjadi? Cepat ceritakan kepadaku, Bim!”

“Aku . . .Aku . . . Aku mencintai Wulan Zak.”

“Haaaaaa? Kau . . . Kau . . .Kau mencintainya? Tapi kan . . .”

“Iya, aku mencintainya. Aku juga ingin kelak bisa memilikinya suatu saat nanti. Maafkan aku. Mungkin dengan begini persahabatan kita bertiga telah usai. Karena sekarang perasaanku kepada Wulan bukan sayang sebagai sahabat melainkan perasan cinta kepada lawan jenis. Sekali lagi maafkan aku.”

“Hmmm, entahlah. Aku belum bisa berpikir jernih saat ini. Lalu, apa rencanamu selanjutnya?”

“Oleh sebab itu, aku mengajakmu ke sini. Jujur, aku belum siap menyatakan cintaku pada Wulan. Kau juga tau kan bahwa aku akan melanjutkan kuliahku ke Australi. Kemungkinan besar aku akan jarang lagi bertemu denganmu dan Wulan.”

“Terus?”

“Aku hanya ingin meminta tolong kepadamu untuk yang terakhir kalinya sebagai seorang sahabat. Kau selalu ingi membalas budiku waktu dulu aku menyelamatkanmu saat kau hampir mati. Mungkin inilah saat yang tepat jika kau ingin membalasnya. Jagalah dia. Beri tau kepadanya setelah aku pergi bahwa aku mencintainya. Karena saat ini aku belum mampu mengatakanya sendiri. Aku berjanji kelak aku akan kembali dan mengatakan perasaanku yang sejujurnya kepada Wulan.”

“A a a akuuuu”

“Ayolah Zak. Kau mau kan membantuku? Mungkin ini terlalu egois bagimu. Namun, sekali lagi maafkan aku. Perasaan ini sudah tak dapat kubendung lagi. Maafkan aku Zak. Maaf kan . . . “

“Cukup! Berhentilah seperti anak kecil. Aku akan membantumu. Walau aku tidak dapat memprediksi apa respon dari Wulan, namun aku akan mencoba sesuai keinginanmu. Berhentilah merengek seperti itu Bim.” Aku menatap Bimo tajam.

Huh, ini sangat memberatkan bagiku. Apakah aku akan memendam perasaanku ini dan mengiklaskan Wulan menjadi milik Bimo? Aku benar-benar pusing saat ini. Memang aku pernah berjanji pada Bimo suatu saat nanti akan membalas budi kepadanya karena kejadian tiga tahun yang lalu. Saat itu aku, Bimo, dan Wulan bermain di pantai. Kami naik perahu sewaan yang berisi sekitar 10 orang. Saat itu aku ceroboh dan tak sengaja terjatuh ke laut. Aku tak bisa berenang. Semua orang pun hanya terdiam dan tak dapat berbuat apa-apa karena resikonya cukup besar menyelamatkan orang yang tidak bisa berenang di tengah laut dengan gelombang yang cukup besar. Namun, tidak begitu bagi Bimo. Dia tak peduli akan bahaya itu, dia nekat terjun ke laut dan menolongku. Itulah sebabnya aku tak kuasa menolak permintaannya. Kini aku pulang ke rumah dengan perasaan gundah gulana. Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur dan terpejam.

Sebulan kemudian, aku dan Wulan masih duduk di ruang tunggu keberangkatan bandara Adi Sucipto. Menanti kedatangan Bimo yang sampai sekarang belum menunjukan batang hidungnya. Hampir setengah jam dan akhirnya Bimo datang juga dengan nafas yang terengah-engah.

“Maafkan aku. Banyak sekali barang yang harus ku bawa.”

“Hehe. Gak papa Bim. Lagian waktu keberangkatanya juga masih setengah jam lagi. Kamu udah siap semua kan? Ada yang ketinggalan gak?”

“Oh, udah beres semua kok Lan. Mamaku dah jauh-jauh hari ngeplaning keberangkatanku.”

“Hmmm, yaudah. Semangat dan sukses ya. Jangan nakal di sana, kasian papa mamamu. Kemudian yang paling penting, jangan ngelupain kedua sahabatmu yang imut-imut dan baik hati ini.” Wulan mencoba tersenyum tegar walau jelas terlihat matanya telah berkaca-kaca.

Setelah itu, tangis kami bertiga pun pecah. Tak peduli banyak orang yang memperhatikan. Kali ini kami benar-benar telah larut dalam sebuah tangis penuh makna. Ingin rasanya waktu kembali lagi berputar supaya kami bisa terus bersama-sama.

“Kalian jangan pada nangis. Aku jadi ikut nangis nih. Aku gak bakal ngelupain kalian selamanya. Jaga diri kalian. Aku berjanji akan pulang dan menemui kalian suatu saat nanti. Terimakasih atas semuanya. Aku sayang kalian semua.” ucap Bimo dengan pelukan terkhirnya kepadaku dan Wulan.

Bimo sudah pergi jauh ke suatu negara dengan benua yang berbeda dengan Indonesia. Terpisahkan oleh sebuah lautan raksasa yang bernama Samudra Hindia. Aku dan Wulan masih tetap bersama. Kami melanjutkan study di UGM dengan fakultas yang sama. Kini tinggal kami berdua. Terasa hampa memang menikmati sunsite di Parangkritis tanpa Bimo. Sekarang mungkin saat yang tepat untuk menyampaikan apa yang telah Bimo sampaikan padaku ke Wulan.

“Lan, Aku mau ngomong sama kamu. Penting.”

“Ha? Kamu kenapa sih? Ngomong tinggal ngomong aja keles. Kayak aku ini dosen aja pakek ijin segala.”

“Huh, yaudah. Ini menyangkut Bimo.”

“Kenapa-kenapa? Dia ngirim pesan ke kamu? Apa pesannya? Sumpah kangen banget aku ma anak itu.”

“Iya, ini memang pesan dari Bimo tapi pesan ini sudah ia sampaikan kepadaku sebelum ia berangkat ke Australi.”

“Kok gitu? Kok aku gak tau sih?

“Bimo memang sengaja bilang padaku buat nyampein ke kamunya waktu dia udah pergi ke Aus Lan.”

“Yaudah, apa’an kalo gitu?

“Dia sebenarnya cinta sama kamu, namun dia belum siap mengungkapkanya. Dia meminta maaf karena dengan begini ia akan merusak hubungan bersahabatan kita. Sebenarnya Bimo udah berusaha memendam perasaanya itu, namun semakin ia pendam semakin tak kuat pula ia menahanya. Kelak, katanya suatu saat nanti ia ingin memilikimu dan berjanji akan membahagiakanmu. Begitu ceritanya Lan. Gimana menurutmu?”

“Ta tat tapi kan kita . . .”

“Aku juga bingung harus berbuat apa. Aku gak mau Bimo sakit hati. Sekarang aku mau tanyak. Kamu juga mencintai Bimo gak.”

Wulan tak langsung mmberikan jawaban. Dia hanya bisa menundukan kepala sambil menggigiti bibirnya sendiri. Aku pun tak lantas segera memintanya memberikan jawaban. Aku tau apa yang ia rasakan sekarang. Perasaan campur aduk yang membuat seakan jiwa dan raga ini telah terpisah karena rasa kaget yang teramat sanngat. Kami berdua seakan malah yang menjadi objek tontonan pantai, laut, dan sunsite itu sendiri.

Setelah sekian lama, akhirnya Wulan membuka mulutnya juga. Bibir tipisnya nampak makin merah karena ia gigiti begitu lama.

“Zak, kamu tau gak? Sebenarnya aku juga telah melakukan hal yang sama seperti Bimo. Aku juga telah merusak hubungan persahabatan kita dengan mencintai sahabatku sendiri. Akan tepapi, aku tidak mencintai Bimo, melainkan aku mencintaimu Zak.”

Walau aku bukan seorang petinju dan belum pernah berhadapan dengan Cris Jhon, namun aku berani menjamin barusan tadi adalah uppercut dari seorang Cris Jhon yang telah menonjok dadaku yang membuatku tak bisa bernafas dengan mata terbelalak seakan mau keluar dari kelopak mataku. Sungguh benar-benar mengejutkan ucapan Wulan tadi. Kini, aku kembali merasakan perasaan campur aduk antara kaget, bingung, kecewa, bahagia atau malah sedih. Sekarang, giliran aku yang menundukkan kepala sambil menggigiti bibirku sendiri.

“Tapi Lan, Bimo kan . . .”

“Aku gak peduli Zak. Hati ini memlilhmu. Aku juga gak tau kenapa.”

“Sebenarnya aku juga mencintaimu, tapi bagaimana dengan Bimo? Pasti dia akan sangat murka, dan dengan membawa sebilah parang kemudian ia akan memenggal kepalaku jika dia tau semua ini.”

“Kamu jangan bayanginya berlebihan gitu. Bimo bukan orang seperti itu. Aku tau benar watak Bimo begitu juga kamu. Dia orang yang paling pintar dan paling dewasa pemikiranya diantara kita. Seiring dengan berjalanya waktu, dia pasti akan menerima semua ini.”

Kutarik nafasku dalam-dalam, menghirup segarnya udara pantai yang sudah mulai sepi. Kemudian, sejenak pikiranku mulai tenang. Aku dapat kembali melihat dengan jelas garis cakrawala pantai yang sedari tadi nampak buram. Telah kucerna lembut perkataan terakhir Wulan tadi.

“Lalu, apa yang akan kita lakukan mulai sekarang? Apakah kita akan memutuskan untuk mengikat tali kesepakatan menjadi sepasang kekasih?”

“Hmmm, aku tak tau. Aku adalah perempuan. Seharusnya kau yang memutuskan karena kau adalah laki-laki. Aku hanya akan memperjelas keputusanmu saja.” Wulan tersenyum ringan dengan sejuta makna tersirat jelas.

Sekali lagi aku terdiam, dan sekali lagi garis cakrawala pantai kembali terlihat buram. Otakku bisa saja meledak jika sejam saja aku masih duduk di sini. Namun, aku harus mengambil keputusan. Karena aku adalah laki-laki seperti yang telah Wulan katakan.

“Baiklah, karena aku seorang laki-laki maka akulah yang akan memutuskan. Aku mencintaimu Lan. Aku sayang kamu. Aku gak mau memintamu untuk menjadi pacarku karena kita bukan anak SMA lagi, tapi aku juga gak mau memintamu menjadi calon istriku karena itu terdengar naïf, perjalanan kita masih terlalu panjang untuk itu. Maka dari itu, aku hanya memintamu untuk menjadi kekasihku. Mau kah kau menarimaku menjadi kekasihmu?” Ku genggam tangan Wulan sambil menatap kedua bola matanya.”

Deburan ombak semakin lama semakin terdengar lirih. Mungkin, perhatian mereka telah tertuju kepada kami. Menyimak dengan seksama, menanti bunyi bahasa yang keluar dari alat ucap manusia. Manusia yang sedang berada di hadapanku. Manusia yang biasa ku panggil “Wulan”. Kemudian, terdengar suara tangis tersedu-sedu. Sebelum mataku berhenti berkedip, Wulan terlebih dulu memeluk tubuhku.

“Aku juga sayang kamu Zaky. Aku cinta kamu. Sudah sekuat tenaga kucoba bungkam hatiku. Namun, sekuat tenaga pula hatiku ingin bicara. Ketika hati berbicara, inilah yang akan ia katakan. Aku terima kau menjadi kekasihku” dengan tangis sejadinya, Wulan memelukku erat.

Sekarang, kami bedua resmi menjadi sepasang kekasih. Walaupun kami berada di tengah-tengah cinta terlarang. Kami tak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti sebuah lirik lagu Sheila On 7.

Dan Kau Bisikan
Kata Cinta
Kau Telah Percikan
Rasa Sayang
Pastikah Kita Seirama?
Walau Terikat Rasa Hina

Ya sudahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Sekarang, aku masih menikmati pelukan hangat Wulan. Walau alam semesta mungkin sedang mencaci maki diriku. Walau diriku telah resmi meraih predikat Pengkhianat Terfavorit tahun ini. Aku tak peduli. Beginilah kenyataanya. Kami saling mencintai dan kami berhak saling mencintai. Kupeluk erat Wulan. Kemudian, senja sore itu terasa begitu ambigu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By