Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

Pahlawan Sebenarnya

Oleh: Fuad Akbar Adi

Panggil saja aku Raya. Walaupun terlahir dari keluarga sederhana, namun aku termasuk tipe orang yang perfeksionis. Tahu kan perfeksionis itu apa? Semua yang aku rencanakan dan aku lakukan harus sesempurna mungkin. Aku teoritis dan detail. Apa yang aku lakukan harus ada landasanya, harus ada tujuan konkrit, dan tentunya harus bermanfaat bagiku. Aku bahkan telah merencanakan apa yang hendak aku lakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Semua rencanaku detail dan tanpa cacat. Bahkan walaupun rencana itu telah ku anggap sempurna, aku juga masih memiliki rencana cadangan bila rancana utama itu gagal. Istilahnya “Plan B to marking Plan A”.

Hidupku sebagai mahasiswa tidak seindah mahasiswa-mahasiswa lainya. Mereka masih bisa bersenang-senang layaknya kaum muda. Sedang aku? Di saat yang lain sedang asyik pacaran malam-malam di kampus, aku semalaman mengerjakan tugas. Kalau tidak ada tugas, aku malah membuat tugas sendiri dan tentunya akan aku kerjakan sendiri. Aku selalu bangun pagi, karena aku harus belajar menguasai materi yang akan dibahas nanti saat perkuliahan. Supaya dosen memandangku, supaya aku menjadi anak emas dari dosen-dosen. Semua teman sekelas sangat menghormatiku, tentunya karena kepintaranku. Dan aku bahagia dengan itu semua.

Selama hidupku, aku baru sekali berpacaran. Mungkin kerena aku terlalu pilih-pilih soal pria. Aku tak tahu sudah berapa cowok yang aku tolak karena menurutku dia tidak pantas untuk bersanding denganku. Namun tak apa, lebih baik begini. Lebih baik aku jomblo lama dari pada aku punya pacar yang tidak sesuai dengan tipeku. Aku pun juga tahu banyak teman-teman pria dikelasku yang menaruh hati kepadaku. Bukan karena aku kepedean, tapi memang itulah yang aku tangkap dari kacamataku mengenai gelagat mereka yang sudah jelas menaru hati kepadaku. Salah satu yang mencolok bernama Bram. Bram orangnya sungguh “Nggak banget”. Secara tampang dia termasuk di atas rata-rata dengan lesung pipi manis dan kacamatanya, muka seperti itu tipeku banget. Namun sikapnya itu yang membuatku illfeel. Selain bicaranya ngapak karena dia orang Tegal, dia juga susah diajak bicara. Sama sekali tidak nyambung saat aku ajak bicara. Gayanya yang sok cool padahal norak membuatku tambah enek. Akan tetapi, walaupun begitu dia orangnya sangat baik. Dia selalu bisa diandalkan saat situasi genting terjadi padaku. Misalnya saja saat aku sakit dan ada banyak tugas perkuliahan yang tak dapat aku kerjakan, dialah yang mengerjakan semua tugasku. Walaupun hasilnya amburadul tapi lumayanlah dari pada aku tidak mendapat nilai sama sekali.

Suatu malam, dia datang ke kosku. Apa boleh buat, walaupun dia telah mengganggu waktu belajarku tapi karena dia tamu, aku sebagai tuan rumah harus melayaninya dengan baik.

“Kamu tuh datang ke sini nggak bilang-bilang. Aku kan mau belajar” ucapku kesal.

“Hehe, maaf-maaf Ray, cuman sebentar aja kok. Aku cuman pengenn ngobrol bentar ma kamu” jawabnya polos

“Duh kurang kerjaan banget kamu, yaudah mau ngobrol apa?”

Dia pun memulai percakapanya. Ah, sialan banget. Mendengar nada pembicaraanya saja aku sudah pusing, bener-benar medok banget. Ingin pinsang rasanya kalau lama-lama di sini. Kuhanya mengangguk-ngangguk saja padahal tidak paham dengan apa yang dia maksud. Satu jam kemudian, dengan halus aku usir dia pulang.

“Eh, Bram kamu nggak ngantuk ya? Aku sudah ngantuk banget nih”

“Ha? Baru jam setengah Sembilan sih. Emmm, yaudah aku pulang dulu ya takut ganggu.”

Apa’an takut ganggu? Udah ganggu dari tadi kali. Setelah itu diapun bergegas pulang. Huh, lega rasanya akhirnya aku tidak jadi pingsan. Aku masuk ke kamar dan kembali belajar sampai jam 12 malam.

Selasa neraka. Hari ini aku kuliah jam 9 pagi, namun tak seperti biasanya badanku capek sekali. Mungkin kerena aku jarang tidur. Saat kuliahpun aku tak sefokus biasanya. Nafasku mulai sesak, kepalaku pusing. Aku takut kalau sakit jangtungku kambuh lagi. Karena aku memang mengidap lemah jantung dari dulu. Sekarang jam di tanganku sudah menunjukan pukul 12 siang. Untuk saat ini aku mungkin msih sanggup bertahan mengikuti perkuliahan, namun aku tak tahu akan sampai kapan, mengingat jadwal hari ini full sampai jam 3 sore.

Panas matahari yang terik ini sangat terasa sekali menembus bening jendela-jendela kelas. Ditambah AC kelas sedang rusak. Sungguh semua kondisi ini benar-benar mendukung sekali untuk membuatku pingsan. Semakin lama pusing di kepalaku makin terasa. Pandanganku mulai pudar, pudar, dan tiba-tiba gelap seketika.

Aku tak tahu apa yang barusan terjadi, tiba-tiba sekarang aku sudah ada di rumah sakit. Sepertinya aku tadi pingsan dan tak sadarkan diri. Kulihat di sekeliling teman-teman cewek kelasku sudah ada di sampingku. Merasa tersenyum dan terlihat lega melihatku sudah siuman. Kutanya apa yang terjadi. Ternyata tadi aku pingsan di kelas dan langsung di bawa ke rumahsakit. Aku baru tahu ternyata aku pingsan lama sekali. Aku pingsan dari jam 12 sampai jam 4 sore, sehingga teman-temanku ini dapat menjengukku seusai pulang kuliah. Kukira merekalah yang membawaku ke sini. Lalu, kalau kalian masih tetap kuliah saat aku pingsan, terus yang membawaku ke rumah sakit ini siapa? Lantas akupun menanyakan perhal itu kepada teman-temanku.

“Oh, yang bawa kamu ke sini Bram, Ray. Saat dia tahu kamu pingsan, dia langsung membopongmu menuju ke Unit kesehatan kampus. Namun, pihak unit kesehatan tidak sanggup menanganinya karena alat medis yang dibutuhkan untuk kondisi kamu nggak ada. Terus nyaranin suruh bawa ke rumahsakit aja. Yaudah, Bram langsung pinjem mobil Pak Aziz dan mengantarmu ke sini” jawab Silvi teman dekatku.

“Apa? Jadi yang membawaku ke sini Bram? Terus mana orangnya?”

“Oh, gak tahu tuh sekarang, tadi saat kami tiba di sini dia masih duduk di depan pintu ruangan ini. Lalu, saat kami masuk dia minta izin, katanya mau makan dulu”

Aku tak menduga, ternyata Bram yang telah menolongku. Aku merasa bersalah dan menyesal atas sikapku tadi malam. Dia memang sangat baik dan selalu bisa diandalkan saat kondisi-kondisi kritis menimpaku. Dia bak pahlawan dalam hidupku. Duh, ngomong apa aku barusan? Bram, pahlawan hidupku? Sialan. Apa boleh buat memang itu kenyataanya, aku harus mengakui itu. Sekarang, aku mulai memandangnya lebih dari cowok-cowok lainya.

Aku baru diperbolehkan kembali pulang tiga hari kemudian. Aku harus diopname dulu di rumahsakit. Orangtuaku tak dapat menjengukku karena ada banyak urusan di rumah, mereka hanya mentransferi uang untuk biaya rumahsakit. Akhirya Bramlah yang selalu setia menjenguk dan merawatku saat di rumahsakit. Dan, hari ini dia sudah menungguku di depan pintu kamar tempat aku dirawat, karena dia akan mengantarku pulang ke kos. Aku berjalan didampingi suster rumah sakit. Setelah bertemu Bram, aku tersenyum tipis kepadanya dan dia membalas dengan senyum lebar sumpringah.

“Oh, sudah ditunggu pacarnya ya mbak?” dengan sotoynya suster tadi ceplas-ceplos.

“Ha? Eee eeemm iiiinniiii” gelagapan sambil cengar-cengir aku mencoba menjawab.

“Nggak kok sus, masih temen” tiba-tiba Bram memotong pembicaraanku.

Apa maksudnya Bram dengan dua kata terakhirnya “Masih temen”? apakah dia mempunyai niatan untuk memacariku? Sumpah, tak kuduga dia bakal senekad itu. Dalam perjalanan pulang, kami menjadi canggung berkat suster sotoy tadi. Bram mengantarku ke kos menggunakan sepeda motornya. Hanya dalam waktu lima belas menit aku sudah sampai di kos, kuucapkan terimaksih yang sebanyak-banyaknya kepada Bram. Entah, bagaimana kondisiku saat ini jika tidak ada Bram. Dengan senyum lebar, Bram pamit pulang dan berlalu begitu saja.

Sekarang aku jadi dilema. Sepertinya lama kelamaan aku juga menaruh hati kepadanya. Dia baik banget. Kini benih-benih cinta sepertinya mulai tumbuh dan sebantar lagi akan bersemi di hatiku. Aaaaaa, tidak! Kenapa aku sekarang memikirkan Bram terus. Apa jadinya jika seorang Raya, perempuan perfeksionis dan primadona kampus berpacaran dengan Bram, anak culun dan tidak terkenal sama sekali. Semalaman aku tidak belajar sama sekali karena memikirkan hal ini. Aku takut. Aku takut jika tiba-tiba Bram menembakku. Aku bingun harus menerima atau menolaknya, jika hal itu benar-benar terjadi.

Seminggu setelah aku kembali dari dari rumahsakit, Bram tak kunjung menembakku, yang ada malah hubungan kami menjadi agak renggang, Tak tahu kenapa, sepertinya sekarang dia sudah sadar tak mungkin bisa mendapatkanku. Namun bukanya bersyukur, hal ini malah membuat hatiku kecewa. Aneh memang, dengan apa yang terjadi pada diriku saat ini. Seorang Soraya Inestefiana menjadi kehilangan akal sehatnya gara-gara Bramastasya Kuncoro. Secara tidak langsung memang aku mengharapkan Bram. Aku mengharapkan dia menembakku, namun aku masih dilema apakah harus menerima atau menolaknya. Sudah gila kan aku?

Karena stress dengan kondisiku seperti ini, aku mencoba kembali fokus dan menjalani hari-hariku seperti biasa, walaupun aku masih bertanya-tanya kenapa Bram tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Sekarang sudah hampir ada sebulanan malah. Namun, bukanya aku membaik malah membuatku semakin kepikiran Bram terus. Hanya ada Bram di otakku saat ini. Semua makul luntur satu demi satu dari otakku. Tak tau sepertinya semester ini IPku bakal jeblok. Kini akhirnya aku sadar. Harus kuakui, aku telah mencintai Bram. Sekali lagi aku tegaskan. Aku mencintai Bram.

Kini Raya tidak lagi seperti dulu. Kini Raya mulai fleksibel dan realistis. Kini Raya mulai sedikit lebih santai, tidak terlalu pakem. Kini aku berubah, menjadi sedikit lebih baik agaknya. Berkat Bram, dia telah mengubah hidupku. Bram adalah pahlawan hidupku. Walaupun aku tak tahu apakah selamanya dia akan menjadi pahlawan hidupku. Walaupun aku tak tahu apakah dia pahlawan sebenarnya.

Seperti biasa, hari Selasa adalah neraka. Jadwal yang sangat padat. Setelah berakhirnya mata kuliah pertama, kusempatkan mampir ke kantin kampus karena perutku yang sudah keroncongan efek belum sarapan. Aku makan bersama dengan Septi dan Dita. Dua cewek paling gendut di kelasku. Mungkin walaupun aku ada sepuluh, jika berat badanku di timbang dengan mereka berdua sepertinya aku masih kalah berat. Jarang-jarang aku bergaul dengan dua orang tidak penting ini, kaluu bukan karena nasehat dokter agar aku tidak telat makan lagi, aku pasti tidak akan sudi makan bertiga dengan mereka.

Saat aku ssedang asyik makan, tiba-tiba jantungku kembali tak dapat berdetak. Bukan karena sakit jangtungku kambuh. Melainkan . . .

Apa yang aku lihat ini? Apakah benar-benar nyata? Aku melihat Bram berjalan dengan seorang perempuan lain dan kini mereka duduk bersama di kantin memesan makanan? Dengan gigi bergetar dan nafas tak karuan aku mencoba mengontrol emosiku. Aku mencoba rileks dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tak mau kalau kedua Brontosaurus di sampingku ini tahu, gunung Krakatau akan meletus di hatiku.

“Heh, Sep Dit. Itu Bram sama cewek, siapa ya? Kamu tau gak? Kok aku gak pernah liat” tanyaku dengan memasang muka sesantai mungkin.

“Yah hahaha, makanya jangan mikirin tugas mulu. Sekali-kali gossip kek” Septi malah menceramahiku.

“Oh, itu Ray. Masak kamu gak tau? Dia kan pacarnya Bram. Baru dua mingguan kayaknya mereka jadian” jawab Dita polos.

Pisau! Pisau mana pisau? Ingin rasanya jangtung ini aku hujam dengan belati perak, agar tubuhku hangus seperti vampire yang akan hangus tubuhnya jika dilukai dengan benda berlapis perak. Namun, aku bukan vampire. aku tak suka menggigit leher dan menghisap darah manusia. Akan tetapi, untuk saat ini, aku ingin sekali menggigit leher Bram dan menghisap habis darahnya hingga yang tersisa tinggal tulang yang dibungkus daging dan kemudian dia mati. Ah, sungguh sakit sekali. Benar-benar menyakitkan.

Semenjak saat itu, kuputuskan untuk menghapus semua yang berbau Bram. Aku tak mau mengingatnya lagi. Dia telah membuat hatiku hancur, berserakan dalam sampah kehampaan. Aku sedih dan menangis di kamar.

Akan tatapi ada hikmah yang kupetik dari kisahku dengan Bram. Aku tak mau menjadi orang yang sombong lagi, aku tak akan menganggap remeh setiap orang. Buktinya kini, aku bahkan sampai sekarang tak percaya bahwa hatiku telah di sakiti oleh seorang yang dulunya kuanggap culun dan sama sekali tak terkenal. Hidupku kini berjalan lebih indah dari yang semestinya, walaupun hal itu dapat terjadi dengan berawal dari sebuah rasa sakit yang menimpaku. Namaun aku senang dengan kehidupanku sekarang. Walaupun IPku tak setinggi yang dulu, namun aku senang dan lebih merasa puas karena aku bukan saja dapat menguasai teori absolute namun juga teori moral. Terimakasih Bram, terimakkasih untuk semuanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By