Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

Jingga

Oleh: Fuad Akbar Adi

Hujan yang mengguyur dari tadi akhirnya reda juga. Matahari yang tadi malu-malu menunjukan wujudnya, sedikit demi sedikit mulai nampak kemerahan mengusir mendung yang berjubah kelabu itu. Hawa dingin yang menusuk tulang-tulangku kini sirna, terselimuti hangat cahaya matahari. Kutarik nafas dalam-dalam sambil membuka satu demi satu lentera jendela. Warna-warni itu, indah sekali. Tujuh warna bonanza bertingkat dengan harmonisnya. Me, ji, ku, hi, bi, ni, u, ucapku dalam hati sambil menghitungnya. Pelangi senja yang indah sekali. Kelopak mata ini tetap bergeming tak mau bergeser sedikitpun dari zona simetrisnya. “Ada pelagi di bola matamu” sebuah potongan lagu dari Jamrud, mengingatkanku kembali pada seseorang yang dulu pernah bersamaku. Pelangi.

***

Beginilah kehidupan seorang pelukis. Kadang menyenangkan, kadang juga membosankan. Siapa bilang ini sebuah pekerjaan? Aku tak terima bila ada orang yang mengatakan pelukis adalah sebuah pekerjaan. Karena setahuku, pekerjaan adalah suatu hal yang dilakukan dengan tujuan tertentu, sehingga hasil yang didapat dari pekerjan itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terserah, apakah pekerjaan itu disukai atau tidak yang penting ada hasilnya dan itu berguna. Berbeda halnya dengan pelukis yang menciptakan sebuah lukisan. Aku mencintai profesiku sebagai seorang pelukis, aku tak peduli dengan apa yang kudapat dari lukisanku. Terserah, apakah lukisanku disukai atau tidak oleh orang aku tak peduli. Jika mereka suka, silahkan berikan apresiasi, hanya itu saja. Itulah bedanya bekerja dengan berkarya. Kenapa terkadang orang malas bekerja? Karena mungkin pekerjaanya tidak ia sukai. Dan kenapa sebuah karya itu indah? Karena tentu saja karya itu diciptakan atas perasakan suka. Seperti halnya cinta akan menjadi indah bila cinta itu diciptakan atas landasan suka, dan tentunya bukan karena keterpaksaan. Pelangi.

Aku keluar dari dalam rumah setelah hujan benar-benar reda. Sambil mengecek dompet aku berjalan menuju warung Bu Atik. Dingin-dingin seperti ini memang paling enak menyeruput secangkir kopi dan menghisab sebatang rokok di warung Bu Atik. Sekalian cari inspirasi objek yang akan aku lukis. Jarak rumahku dengan warung Bu Atik tak terlalu jauh, h dalam lima menit aku telah sampai warung. Keadaan warung Bu Atik tak seperti biasanya, sepi sekali tidak ada orang yang ikut nongkrong. Biasanya sore-sore begini bapak-bapak banyak yang datang ke sini. “Mungkin lagi pada berbalut selimut sarung di kamar masing-masing” ucapku dalam hati.

Aku duduk dengan kaki bertengker di atas kursi yang berbentuk lurus memanjang. Sebelum aku memesan, Bu Atik sudah menebak apa yang akan aku pesan.

“Torabika susu sama gudang garam filter, kang?” Bu Atik menebak dengan yakin.

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar tebakannya yang memang tepat sekali. Bukan karena Bu Atik sakti atau sejenis paranormal, namun setiap aku datang ke warungnya, memang hanya itu saja yang aku pesan. Dalam hitungan menit, secangkir kopi hangat sudah ada di depanku. Kuseruput sedikit demi sedikit sambil memetik korek api klasik warisan ayahku untuk menyalakan rokok. Sensasi yang luar biasa nikmat, perpaduan antara nikotin dan kafein. Membuat lamunan ini tak sia-sia. Dalam sekejap aku telah mendapatkan sebuah ide tentang objek yang akan kulukis nanti. Aku ingin melukis seorang perempuan cantik yang sedang memotret sebuah pelangi.

Alangkah terkejutnya aku saat tiba-tiba saja muncul seorang perempuan tak dikenal duduk di sebelahku. Tanpa ucapan permisi sama sekali, dengan tak ada raut muka sungkan di wajahnya. Hanya sebuah senyuman mungil yang ia tunjukan kepadaku saat kutengoknya penuh tanda tanya.

“Bu Atik, teh anget satu buk” sambil menaruh tas kotak berwarna hitam di atas meja.

“Oke neng. Udah selesai lihat-lihatnya?” tanya Bu Atik akrab.

“Oh, udah bu. Beberapa objek emang bagus si, tapi masih kurang. Masih pengen cari tempat yang beda lagi bu”

“Oh, Ibu endak terlalu banyak tahu objek-objek yang bagus di desa ini neng. Eh, iya kalau neng pengen cari orang yang tahu banyak objek-objek yang bagus di desa ini, tanya saja sama orang yang duduk di sebelah neng. Dia kang Edo, dia pelukis handal lho neng. Bener kan kang?”

Hey? Apa yang baru saja terjadi di sini. Tiba-tiba saja muncul seorang permpuan yang tidak aku kenal yang tak tahu dari mana munculnya. Kemudian tiba-tiba saja berbincang akrab dengan Bu Atik. Selanjutnya berbincang masalah objek-objek bagus di desa ini. Ditambah Bu Ati membawa-bawa namaku dalam pernyataannya yang konyol itu.

“Ha? E a a nu. Hey, kenapa kamu menatapku seperti itu?” aku menjadi salah tingkah saat perempuan itu menatapku penuh ambisi.

“Oh oh oh, jadi kamu pelukis ya? Sudah kuduga, aku dapat merasakan aura seni dalam dirimu. Perkenalkan namaku Jingga Anastasya. Tadi Bu Atik bilang namamu siapa? Aku lupa” dengan sok tahunya ia bilang dapat merasakan aura seniku? Dan dengan kurang ajarnya dia lupa dengan namaku yang sudah disebut oleh Bu Atik.

“Hhhhh, tepat sekali. Aku adalah pelukis professional, lulusan Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Namaku Edo El Salmah, tadi kan baru beberapa detik sudah disebutkan oleh Bu Atik, kenapa kamu bisa lupa semudah itu?!” aku kembali salah tingkah.

“Hehe maaf-maaf. Aku memang agak susah mengingat nama orang. Edo El Salmah? Namamu keren juga untuk seukuran orang desa” kembali dia memerlakukanku dengan kurang ajar.

Jingga Anastasya adalah seorang fotografer semiprofesional. Dia masih kuliah di UI jurusan Sastra Indonesia semester 5. Selain hobi memotret, dia juga suka menulis dan berpetualang. Aku tak menduka akan secepat ini akrab denganya. Dia memang orang yang supel dan mudah bergaul. Kami berbincang banyak saat itu. Kemudian kami membuat sebuah perjanjian, di mana aku akan menunjukan sebuah tempat yang di sana terdapat sebuah objek yang sangat ingin dia potret. Sebuah objek yang sering kali mengingatkanku dengan seseorang. Pelangi.

***

Sesuai janjiku, hari ini tepat tiga hari setelah aku bertemu dengan Jingga, aku akan menganntarnya ke suatu tempat yang paling bagus untuk memotret pelangi. Aku melangkah santai mempersiapkan alat tulisku, karena ini juga sebuah kesepakatan dalam perjanjian di warung Bu Atik, bahwa aku juga akan melukis Jingga saat dia sedang memotret pelangi. Memang sebuah kebetulan sekali, kami bagaikan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.

Aku sudah siap keluar dari rumah saat semua peralatan lukisku telah selesai kukemasi. Saat kubuka pintu, aku terkejut ternyata Jingga sudah ada di depan pintu dengan tatapan mata ambisiusnya itu. Aku tak tahu dari mana dia tahu rumahku, padahal aku belum sempat mengatakanya. Mungkin Bu Atik yang memberitahunya.

“Hah? Sejak kapan kamu sudah ada di sini?” tanyaku penasaran.

“Emmm, gak lama kok. Ayo cepet buruan, jangan sampai pelanginya ngilang” penuh semangat.

“Eh, tapi aku gak janji lho ya kalau ke sana nanti pasti ada pelanginya”

“No no no. Pokoknya kamu harus tanggungjawab kalau sampai tuh pelangi gak nongol”

“What? Kita gak ada perjanjian seperti itu ya. Aku kan hanya bilang sering muncul saja”

Perdebatan ini pun terus berlangsung dalam perjalanan kami. Aku membawanya pergi ke suatu bukit tak jauh dari desa. Bukit yang dulunya sering kukunjungi bersama mantan kekasihku yang sekarang sudah menikah dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya. Dia meninggalkanku begitu saja. Dia meninggalkan segala kenangan yang telah terukir bersama hanya karena tak mau melanggar kehendak orangtuanya. Aku sebenarnya tidak mau menyalahkanya, yang salah adalah takdir ini. Takdir yang tak mau mempersatukan aku dengannya. Lebih dari beberapa jam lamunanku melalangbuana menembus tembok kokoh kenangan masa lalu. Tak kusadari sedari tadi Jingga menatapku penuh tanda tanya. Ternyata sudah tiga kali dia memanggilku saat pikiranku masih terperangkap dalam ilusi-ilusi tak bermuara itu. Aku tersentak, mengingat apa yang terakhir kali aku lakukan bersamanya.

“Eh, kamu kenapa si? Lagi gak enak badan?” tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Emmm anu ee aaa, gak kok gak papa. Nih kamu lihat badanku sehatkan?” aku gelakapan.

“Heh? Tapi kayaknya jiwamu nggak deh” dengan jari telunjuknya menunjuk dadaku.

Sialan. Kali ini dia benar-benar sangat kurang ajar. Dia menganggapku sedang depresi atau gangguan jiwa bahasa paling halusnya. Dengan intonasi yang cukup tinggi, aku menampik semua dakwaanya. Namun, secara tidak langsung Jingga memaksaku untuk berbagi kisahku padanya. Akhirnya kuceritakan sebuah romans bergenre mellow dengan judul “Kandasnya Cintaku ditengah indahnya Pelangi”. Ya, sebelumnya aku pernah mempunyai kekasih yang bernama Pelangi. Kami saling mencintai, hubungan yang sudah berjalan lama hampir 4 tahun. Dulu kami sering menghabiskan waktu berdua di bukit yang akan aku tuju bersama Jingga. Bukit yang indah penuh dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga liar. Apalagi saat desa ini diguyur hujan, biasanya setelah hujan reda pelangi-pelangi indah akan menampakkan dirinya menemani kemesraan kami saat memadu kasih.

Setelah menamatkan kuliahku, aku menjadi penulis professional. Karierku dibidang lukis sebenarnya cukup gemilang. Setidaknya harga lukisan termurahku sekitar 500.000 dan yang paling mahal pernah mencapai 12 juta. Bermodalkan seperti itu, ditambah warisan kebun ayah yang cukup luas, dengan pedenya aku melamar Pelangi. Sebelum kuajak orangtuaku untuk melamarkan Pelangi, aku datang sendiri ke rumah orangtua Pelangi untuk menyampaikan makasudku mempersunting anaknya. Hal ini kulakukan semata-mata hanya untuk meminimalisasi terjadinya insiden dalam hubungan orangtuaku dan orangtua Pelangi. Akan tetapi betapa terkejutnya aku saat mengetahui respon dari orangtua Pelangi.

Dengan mentah-mentah, ayah Pelangi menolakku. Hanya dengan alasan pekerjaanku tidak jelas. Dia tidak suka orang seni. Katanya orang seni urak-urakan dan tidak tahu agama. Lebih parah, ternyata ayah Pelangi diam-diam sudah menjodohkan anaknya dengan seorang direktur muda dari kota. Batapa hacurnya hatiku saat itu. Aku meninggalkan rumah Pelangi dengan langkah gontai. Terombang-ambing tersapu angin berhembus bagaikan butiran partikel.

Rasa kecewa yang begitu dalam membuat semangatku buyar. Aku ngedrop. Seharusnya disaat-saat seperti ini adalah peran Pelangi untuk menyemangatiku. Membuatku untuk terus berusaha mendapatkanya dan meyakinkan ayahnya bahwa aku pantas menjadi suaminya. Sayangnya bukan itu yang aku dapat, dua hari setelah aksi penolakan yang aku terima dari ayahnya, pelangi menghubungiku. Dia ingin bertemu denganku di bukit tempat kami biasa menikmati indahnya pelangi.

Awalnya kupikir dia akan melakukan hal yang sesuai bayanganku. Namun, justru sebaliknya. Dia memintaku untuk mengiklaskan dirinya menjadi milik orang lain. Spontan aku emosi. Aku tak terima. Kutendang sebuah batu dengan begitu kesal. Semua yang ada disekitarku menjadi korban aksi luapan emosiku yang tidak terkontrol.

“Maaf Edo. Aku tak mau membangkan atas keputusan orangtuaku. Aku tak mau menjadi anak durhaka. Ini yang terbaik untuk kita, aku dan dirimu. Masih banyak perempuan di sana yang lebih baik dariku dan pantas untukmu. Maafkan aku. Semoga kau sudi datang pada acara pernikahanku, tiga bulan lagi. Selamat tinggal”

Pelangi! Dia memutuskanku di depan pelangi dengan wujud lain. Aku terpaku dalam dimensi waktu yang aku tak tahu. Aku terisak dalam diam. Aku menagis dalam sepi. Lalu, aku menjerit dalam sunyi.

“Emmm, ceritanya sedih sekali. Maaf mengingatkanmu dengan kenangan yang tidak mengenakkan” Jingga merasa bersalah.

“Oh, gak papa” aku sok tegar.

“Yaudahlah jangan diratapi lagi. Bener juga kata mantanmu itu. Masih banyak perempuan lain di sana yang lebih baik dan pantas untukmu” Dia mencoba menasehatiku.

“Kamu pernah merasakan sakit hati?”

“Emmm, mungkin tak separah kisahmu. Dulu aku pernah jatuh cinta dengan seorang pria. Kakak angkatanku. Dia baik kepadaku. kami berhubungan cukup lama sebelum akhirnya kami menjadi sepasang kekasih.

“Trus? Di mana sakit hatinya?”

“Bentar aku belum selesai woy!!! Ternyata tak kusangka setelah kami berhungungan hampir setahun, aku baru tahu ternyata dia mengidap kelainan seksual. Dia homo! Hungungan yang dia lakukan denganku hanya sebagai kedok untuk menutupi statusnya”

Bukanya aku simpati dengan kisah yang Jingga ceritakan. Aku malah tertawa terbahak-bahak. Lucu saja melihat ekspresi Jingga saat sedang bercerita. Apalagi saat bab-bab terkahir tadi yang ada homo-homonya.

“Sialan! Malah diketawain!” dengan kesal dia menjambak-jambak rambutku.

“Huahhahaha. Sumpah kamu kan tak suruh buat cerita sedih-sedih bukannya cerita anekdot seperti itu” aku masih tertawa sambil menangkis terjangan tangan Jingga di rambutku.

“Kampret! Yaudah gak papa deh, jika ceritaku tadi membuatmu terhibur. Setidaknya aku seneng melihatmu sejenak melupakan kisah kelammu itu”

Aku tersentak mendengar ucapan Jingga. Setelah sudah sekian kali aksi kekurangajaranya kepadaku mulai dari kami bertemu, kini dia malah menujukan rasa kepedulianya kepadaku. Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba juga di bukit itu. Jingga sangat senang melihat pemandangan indah desaku dari atas bukit. Sambil larri jingkrak-jingkrak, Jingga mengelilingi segala sudut penjuru bukit. Dia memetik setangkai bunga lalu mencium bunga itu dengan senyum.

“Sumpah! Keren banget do. Pemandanganya bagus. Gak sia-sia aku jauh-jauh ke sini”

“Hehehe. Benerkan kataku?” Kumembanggakan diri.

“Eittssss, tapi ada yang kurang. Mana pelanginya?!!!”

“Ha? Emmm, kayaknya hari ini gak ada deh. Besok aja kita ke sini lagi” dengan entengnya kujawab.

“Gilak! Besok aku udah pulang kali. Ini hari terakhirku di sini”

“Ha? Kenapa kamu gak bilang dari dulu kalau besok kamu udah pulang? Kan kita bisa ke sini dari kemaren-kemaren!” sahutku kesal.

Lama kami berdebat, tiba-tiba langit menjadi gelap. Angin pun berhembus lebih kencang dari sebelumnya, menghempaskan daun-daun yang telah berguguran. Mendung menyelubungi langit-langit desa, pertanda akan turun hujan. Awalnya aku ingin mengajak Jingga untuk langsung pulang, namun karena perjalananya cukup jauh, aku berpikir lebih baik berteduh dulu di sebuah gubuk kecil gudang kayu bakar.

Tak lama akhirnya hujan turun juga. Dimulai dengan rintik-rintik gerimis kemudian lambat laun makin deras disertai suara petir yang menggelegar. Memaksa kami untuk benar-benar berteduh di gubuk itu. Hawa dingin karena efek hujan menembus hingga ke tulangku. Untungnya aku memakai jaket. Namun, saat kutengokan wajahku ke arah Jingga, dia nampak kedinginan dengan kedua tangaanya saling bersilangan menutupi tubuhnya. Kulepas jaketku dan kuselimutkan ke tubuhnya. Awalnya dia menolak, namun akhirnya mau juga. Dengan aksiku ini terpaksa aku harus menahan rasa dingin yang menyelubungi sekujur tubuhku. Aku kedinginan, namun tiba-tiba saja . . .

Tiba-tiba saja Jingga memelukku. Disandarkanya kepala Jingga ke dadaku. Dia nampak merasa sangat nyaman seperti ini. Aku merasa risih awalnya, namun saat kucoba melepas pelukan itu, Jingga malah makin memelukku erat. Aku hanya bisa pasrah sambil menikmati hangatnya pelukan ini. Aku terpejam larut dalam peresaan temaram.

Apakah Jingga jatuh cinta kepadaku? Kemudian dia mengekspresikanya dengan pelukan ini? Sebenarnya saat pertama kali bertemu, aku sudah menaruh hati kepadanya. Awalnya ini kuanggap biasa karena Jingga memang cantik. Namun lama-lama . . . hah, aku tak tahu. Dengan sedikit mengeluarkan tenaga kejantananku, kulepaskan pelukan ini. Jingga tersentak, kemudian memalingkan wajahnya dari pandanganku.

“Jingga, maksudnya apa ini?” kutanya dia pelan.

“Maaf, aku tak bermaksud . . . “

Sebelum menyelesaikan perkataanya, tiba-tiba Jingga terdiam dan menangis. Aku mejadi salah tingkah. Kutepuk beberapa kali pundangnya pelan. Mencoba menenangkan Jingga yang masih terisak entah kenapa.

“Kamu mengingatkanku denganya, do”

“Ha? Maksudnya?”

“Kamu mengingatkanku dengan kekasihku dulu”

Sumpah, serius ini tak pernah aku duga sebelumnya. Cerita Jingga tadi tentang kekasihnya yang homo itu hanya fiktif belaka. Yang sebenarnya, ternyata kisah tragis ”Kandasnya Cintaku di tengah indahnya Pelangi” juga dialami Jingga. Bedanya, jelas diceritanya Jingga berperan sebagai perempuan yang memutuskan kekasihnya sedang aku lelaki yang diputuskan kekasihnya. Jingga bercerita bahwa dia juga pernah mengalami nasib yang sama. Tepat setahun yang lalu, hubungannya dengan kekasihnya tidak disetujui oleh kedua orangtua Jingga. Sang kekasih dianggap tidak sederajat dengan Jingga karena statusnya dari keluarga miskin. Sang kekasih berusaha mati-matian menyakinkan kepada orantua Jingga dengan bekerja keras agar bisa menjadi orang kaya. Sang kekasih membuka sebuah usaha bengkel motor. Namun, baru beberapa minggu membuka usahanya, sang kekasih tewas akibat kecelakaan saat akan berangkat bekerja. Hal ini menyisakan sebuah kepedihan yang mendalam di hati Jingga. Sehingga saat dia mendengar ceritaku, dia merasakan apa yang dulu dirasakan kekasihnya. “Kalian mempunyai banyak kemiripan. Hingga tadi aku tak sadar bahwa yang aku peluk tadi adalah dirimu, bukan dia” kata Jingga.

***

Semuanya terjadi begitu saja, aku dipertemukan dengan orang yang mampu membuatku melupakan Pelangi. Namanya Jingga, salah satu warna dari warna pelangi yang indah. Aku tak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi antara kami. Biarlah semuanya berlanjar apa adanya. Tak perlu memaksakan kehendak. Aku memeluk erat Jingga. Hujan berhenti, namun pelangi tidak menampakan wujudnya. Tergantikan oleh indahnya senja yang didominasi oleh warna . . . . .”Jingga”.

2 komentar:

  1. selamat siang ad, blogmu rapi kalau dari segi tampilan, isinya juga sangat menarik minat pembaca. tapi font huruf lebih divariasikan lagi aja :)

    BalasHapus

Designed By