Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

LAEC


Read more ...

Referendum Bait

Oleh: Fuad Akbar Adi

Menjelang petang, bait-bait yang kutulis seharian telah tersusun rapi bersama rangkaian frasa klasik. Secarik kertas putih kini telah tergores tinta-tinta hitam pekat dan tak pernah pudar. Bagaikan prasasti, secarik kertas itu berisi sebuah balada kehidupan. Sebuah balada tentang kehidupan bait-bait yang terkurung dalam rangkaian frasa klasik.

Dari jendela kamar, kudapat melihat sepasang burung gereja yang sedang bercengkrama mesra, berpijak pada kabel listrik yang membentang panjang, mereka menari-nari sambil diiringi kicauan indah yang mereka lantunkan sendiri. Perasaanku sedikit terhibur dengan keberadaan mereka yang telah membuyarkan suasana sunyi dan hampa dalam hatiku. Atensiku kini makin teralihkan oleh gerak-gerik mereka, aku melangkahkan kakiku mendekati jendela kamar apartemen yang setengah terbuka. Udara segar menyambutku seketika bersama lanskap gedung-gedung pencakar langit yang tertata rapi. Dari celah-celah gedung itu pun kudapat melihat rona jingga kemerah-merahan dari ufuk barat. Hingga tak kusadari aku bergumam sendiri memuji keindahan bumi tempatku berpijak ini.

Tiba-tiba dering telepon terdengar memecah keharmonisan alam yang sedang kunikmati ini. Kumelangkah menuju meja kerjaku dan mengambil ponsel yang aku letakkan di sana sembarangan. Kulihat nama Ferdy terpampang jelas pada layar ponsel. Hatiku kini mulai berdebar dan gelisah. Aku tak langsung mengangkat telepon dari Ferdy. Perasaan berdosa menggelayuti batinku, namun sekali lagi nafsu menang dan menghantarkanku untuk mengangkat telepon dari kekasih gelapku.

“Halo, dear? Nanti kita jadi keluar kan?” suara sumringah Ferdy terdengar jelas olehku.

“Emmm, I i iya jadi kok. Tapi kamu jangan jemput aku lagi ya, mending kita ketemuan aja di mana terserah. Soalnya suamiku mulai curiga dengan gelagatku” kucoba memperingatkan Ferdy. Entah apa jadinya jika Mas Erik memergokiku dijemput oleh lelaki yang tak ia kenal.

“Oh, gitu. Oke nanti aku sms kita ketemuan di mana. See you, dear” diakhiri dengan suara kecupannya mesra Ferdy.

“See you, honey”

Percakapan lewat telepon yang sangat singkat. Ferdy memang tipe orang yang seperti itu. To the point dan tidak bertele-tele, apa yang ingin dia utarakan, ia sampaikan secara singkat dan jelas. Setelah selesai ya selesai, tidak ada yang harus dibicarakan lagi maka ia akan diam dan berhenti berbicara. Dia hampir sama sepertiku. Selalu ingin memberontak atas konvensi yang sudah ada. Tak pernah taat pada peraturan dan semua hal yang berbau ketradisionalan. Mungkin itulah yang membuatku nyambung dan nyaman dengannya, berbeda sekali dengan Mas Erik, suamiku.

Aku dan Ferdy sudah hampir sebulan menjalani hubungan terlarang ini. Tak seharusnya aku melakukan perbuatan seperti ini, sungguh tak seharusya. Sempat terbayang-bayang dalam pikiranku rasa bersalah karena telah mengkhianati pernikahan maha agung yang telah kujalin bersama dengan Mas Erik lebih dari dua tahun. Meskipun sebenarnya semua yang telah terjadi ini bukan mutlak semata-mata salahku. Keadaan yang memaksaku melakukan perbuatan hina seperti ini. Sejak dari dulu aku tak pernah mencintai Mas Erik, namun entah apa yang ada dalam pikiran orangtuaku dan orangtua Mas Erik yang menjodohkan kami begitu saja tanpa mengetahui isi hatiku dan Mas Erik yang sebenarnya. Dulu, sempat aku mencoba menolak, akan tetapi karena desakan dan takut durhaka, aku tak kuasa membendung keputusan orangtuaku. Kini semua telah terjadi begitu saja, aku telah menikah dengan Mas Erik dan apa boleh buat, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalani kehidupanku.

Sebenarnya tidak ada yang kurang dari Mas Erik, dia nyaris memenuhi segala syarat untuk disebut sebagai suami ideal. Dia tampan dan kaya, ditambah sifatnya yang baik hati dan lembut kepadaku. Apa yang kurang darinya? Mungkin hanya wanita gila sepertiku yang membuka logikanya untuk menyelingkuhi suami seperti Mas Erik. Atau mungkin, itulah kekurangan dari Mas Erik. Iya, kekuranganya karena dia tidak mempunyai kekurangan. Dia terlalu baik untukku, aku tak terlalu suka dengan laki-laki seperti itu. Aku lebih suka lelaki yang cuek dan terkesan misterius seperti Ferdy. Hah, sial! Maafkan aku Mas Erik, aku terpaksa mengkhianatimu.

***

Ferdy mengajakku ketemuan di sebuah restoran yang menyediakan berbagai masakan Prancis dekat dengan kantor kerjaku. Aku malah baru tahu ternyata ada restoran Prancis di dekat kantorku sendiri. Dengan menggunakan shortdres one shoulder berwarna biru muda yang hanya mampu menutupi sebagian pahaku, kuhampiri Ferdy yang sudah menungguku di meja sebelah kanan paling pojok. Ia melambaikan tanganya ketika kuhampir sampai. Kubalas lambaian itu dengan senyuman sarat makna.

“Kau cantik malam ini, Rere. Apalagi dengan gaunmu yang kasual namun tetap nampak elegan dan tentunya membuatmu semakin terlihat seksi” Ferdy memberondongku dengan pujian-pujian indahnya. Kemudian ia menarik kursi yang masih kosong dan mempersilahkanku duduk.

“Makasi” ucapku dengan nada anggun.

Kami berbincang-bingcang sebentar, tak lama kemudian pelayan restoran datang membawakan hidangan yang telah kami pesan sebelumnya. Lengkap mulai dari appetizer hingga dessert. Ferdy menuangkan anggur berjenis wine ke dalam gelasku yang kosong. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan minuman ini. Namun, Ferdy bersikeras memaksaku untuk mencobanya.

Disertai garak lincah pemain biola yang terus mengalunkan nada-nada merdu dari biola klasiknya, kuhabiskan Crape cake terakhir yang ada di piringku. Sedang Ferdy sudah sedari tadi menghabiskan hidanganya, bahkan sesekali ia mencoba mencomot Foie gras milikku. Untung reflekku cukup cepat, sehingga mampu menangkis setiap serangan garpu yang hendak mencuri Foie grasku yang sangat lezat.

“Dear, kamu berangkat ke sini naik mobil sendiri apa taksi?” Ferdy membuka pembicaran ketika melihatku telah menghabiskan semua hidanganku.

“Naik taksi, honey. Why?”

“Kebetulan sekali, nati biar kuantar pulang saja sekalian” Ferdy menawariku dengan ekspresi setengah memaksa.

Sebenarnya aku ingin menolak tawaran Ferdy, mengingat ini sudah pukul sembilan malam lebih. Biasanya jam segini Mas Erik sudah pulang, aku takut kalau dia melihatku diantar pulang oleh seorang lelaki yang tidak ia kenal. Sudah jelas pasti Mas Erik akan menuduhku dengan segala asumsi negatifnya yang liar dan frontal. Akan tetapi, aku tak tega juga menolak tawaran Ferdy yang sepertinya sudah sangat berharap sekali untuk kuterima.

“Emmm, tapi aku takut kalau Mas Erik liat kita, Fer” ekspresi Ferdy berubah drastis ketika mendengar ucapanku.

“Tapi kan kamu udah biasa pulang malam. Come on, dear. Bilang saja temen kantor gitu” kini terlihat Ferdy benar-benar memaksaku.

Apa boleh buat, tak kuasa aku mendengar rengekan Ferdy yang mengingatkanku dengan rengekan keponakanku. Sekarang kami sudah berada di dalam mobil bersama. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke apartemenku. Kami pun menghabiskan waktu perjalanan kami dengan bernyanyi dan bermesraan. Sesekali Ferdy mencium keningku dan mengucapkan rayuan-rayuan indah seperti sedianya lelaki romantis.

Perjalanan yang sebenarnya mampu ditempuh dalam waktu setengah jam menjadi semakin lama akibat sepanjang perjalanan kami terus saja bersenda gurau. Sesekali aku mengejek Ferdy yang tak kunjung menikah, hingga akhirnya malah memacari istri orang. Ferdy hanya mengerutkan jidatnya dengan tatapan dingin bak psikopat ketika mendengar ejekkanku. Di sela-sela perjalanan kami yang sebentar lagi hampir sampai, tiba-tiba terdengar dering telepon dari ponselku. Sial, Mas Erik! Mendadak suasana berubah tegang, dengan ragu akhirnya kuangkat telepon dari Mas Erik.

“Halo, mah? Kamu di mana? Tumben jam segini belum pulang” suara Mas Erik datar tanpa intonasi tinggi sama sekali.

“Halo, aku sedang di jalan Mas, sebentar lagi sampai. Maaf, tadi ada masalah sedikit di kantor” kuputar cerita fiktif sebagai alasan.

“Oh, yasudah Mas cuman khawatir saja. Hati-hati ya mah” suara Mas Erik terdengar semakin lembut.

Kututup telepon dengan ucapan salam. Setelah itu nafasku kembali berhembus dengan ringan. Entah mengapa Mas Erik bisa sepolos itu. Seharusnya dia curiga bukanya malah bersikap perhatian seperti itu. Mas Erik memang manusia paling polos cenderung bodoh di dunia ini. Membuatku tak tega terus-terusan menyembunyikan sebuah fakta yang jelas akan menyakiti hatinya jika ia tahu. Sekelebat rasa bersalah kini terbayang-bayang dalam imajinasiku. Kulirik Ferdy yang sedari tadi menyimak dengan serius percakapanku dengan Mas Erik. Kumasukkan ponselku ke dalam tas lalu aku bersandar lemas pada kursi mobil. Ferdy masih memperhatikan gerak-gerikku. Terlihat ia sedang berfikir entah tentang apa.

“Jangan cemas. Aku yakin kita mampu melalui ini semua jika kita saling percaya. Aku manyayangimu. Kau terlalu berharga bagiku, dear. Aku janji suatu saat kita akan mengungkap semua yang telah terjadi. Secepatnya!” Ferdy meyakinkanku sambil menggengam tanganku erat.

“Makasi Fer. Tak seharusnya aku cemas seperti ini”

***

Aku tak tahu apakah Mas Erik melihatku diantar oleh seorang pria yang tak ia kenal. Ketika aku masuk kamar apartemen, dia masih menunjukan ekspresi ramah dan lembut layaknya tak terjadi apa-apa. Kulihat jemari tanganya masih menari di atas keyboard komputer. Kubuatkan secangkir kopi luwak kesukaanya sambil kuajak dia berbincang-bincang. Seperti biasa Mas Erik menyambutku dengan ramah dan lembut. Ia mananyaiku mengenai apa saja yang aku lakukan hari ini namun tidak dengan nada interogasi layaknya orang yang sedang curiga. Datar dan tidak bertubi-tubi.

Setelah berbincang cukup lama, aku pamit tidur duluan. Namun, tiba-tiba Mas Erik Mencegahku dengan nada suaranya yang berat dan terkesan misterius. Mendadak suasana berubah menjadi mencekam. Apakah Mas Erik sudah tahu semuanya? Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul dalam benakku.

“A a ada apa, Mas?” mendadak lidahku kelu.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, mah” suara itu kini terdengar semakin ganas bak raungan serigala malam yang haus akan darah. Imajinasi liarku kini bermunculan.

Aku hanya bisa diam dan harap-harap cemas menunggu detik-detik rangkaian kata yang sebentar lagi akan terlontar dari mulut Mas Erik. Hah, aku takut.

***

Air mataku tak mampu kubendung lagi. Malam makin larut, isakan tangisku malah makin terdengar keras menggelagar dalam malam yang sunyi. Hatiku terenyuh dengan ucapan yang barusan aku dengar. Tak kusangka Mas Erik mampu berpikir seperti itu. Ucapanya benar-benar membuatku tersentuh. Sungguh ini sangat terlihat fiktif sekali bahkan terkesan absurd. Bak telenovela saja yang menghadirkan tokoh protagonis yang memiliki hati super sabar. Bagaimana tidak, baru kali ini aku mendengar seorang suami mengiklaskan istrinya menjalin hubungan asmara dengan pria lain.

Mas Erik ternyata sudah mengetahui hubungan gelapku dengan Ferdy hampir sebulanan. Akan tetapi aku tak habis fikir, bukanya marah, dia malah jadi simpati kepadaku. Dia menganggap dirinya tidak mampu membahagiakanku. Dia menganggap aku melakukan hubungan perselingkuhan ini karena memang dari dulu aku tak mencintainya. Dia malah meminta maaf kepadaku. Bukankah itu semua terdengar tidak logis diucapkan oleh seorang suami? Namun itu belum seberapa, yang lebih membuatku tercengang adalah dia telah merencanakan sebuah hubungan untuk kami bertiga. Aku, Ferdy dan tentunya bersama Mas Erik. Kami akan melakukan poliandri!

Aku langsung menolak mentah-mentah rencana Mas Erik. Tak mungkin semua itu kulakukan. Lebih baik kutinggalkan Ferdy dan kembali kepada Mas Erik meskipun aku belum sepenuhnya mencintai Mas Erik, dari pada harus melakukan poliandri. Toh Mas Erik merupakan suami yang sangat baik hati dan sangat mencintaiku, tak mungkin aku setega itu untuk melakukan polaindri.

“Tak perlu khawatir, Mah. Kita bisa bicarakan ini nanti bersama pria itu juga. Minggu ini aku akan ke Manila, ada bisnis baru dengan klien dari Filipina. Minggu depan aku sudah pulang dan semuanya akan kita selesaikan nanti. Aku sangat mencintaimu, Rere. Aku tak mau kehilangan dirimu namun aku juga tak ingin membuatmu merasa terpenjara karena pernikahan kita yang tak kau inginkan” Mas Erik merangkai kata yang terdengar begitu pilu oleh batinku.

Aku tak lagi merespon semua yang Mas Erik rencanakan. Perasaanku begitu kalut. Untuk saat ini aku belum mampu berpikir jernih untuk mencerna dan memahami apa yang Mas Erik ucapkan sedari tadi. Otakku terlalu lelah, ditambah kelopak mata yang semakin lama terasa semakin berat untuk terbuka, mengintruksikan diriku untuk segera terpejam dan tidur.

***

Wangi bunga kamboja kuhirup dalam-dalam ketika kutelah menapakkan kedua kakiku di area pemakaman. Kulihat Ferrdy sudah berada di sampingku dengan kedua tanganya saling bersilang menutupi bagian antara perut dan dadanya sambil wajahnya menengadah ke arah pemakaman. Ferdy menatapku sejenak, kemudian menggandeng dan menuntunku menuju salah satu makam. Aku berjongkok di samping makam itu dan menatap batu nisannya lekat-lekat. Kuelus batu nisan itu sambil menaburi bunga melati. Kemudian dengan tersedu-sedu aku menangis di atas makam itu.

Tahun ini adalah tahun keenam pernikahan kami. Ya, aku dan Ferre telah resmi menikah enam tahun yang lalu. Sejak itu pula setiap tahun kami pasti ke pemakaman ini untuk memperingati tujuh tahun tragedi jatuhnya pesawat Indonesia Airline keberangkatan Jakarta-Manila sekaligus memperingati tujuh tahun meninggalnya, Mas Erik . . .

Sepucuk surat yang Mas Erik berikan kepadaku sebelum ia berangkat ke Manila kubaca lagi. Suaraku terdengar pelan dan lirih, ditambah nada isakan tangis bercampur menjadi satu kesatuan alunan pilu.

Terimakasih atas segalanya, dek Rereku sayang

Aku sangat mencintaimu meskipun aku tau kau tak demikian

Namun tak apa, hanya sekadar mencintaimu saja sudah membuatku bahagia



Aku juga ingin melihatmu bahagia pula, tersenyum dan terus tersenyum

Sayangnya aku tak bisa membuatmu seperti yang kuinginkan

Maka dari itu, aku memilih pergi

Agar kau bisa bahagia dengan orang yang bisa membuatmu bahagia



Terimakasih sekali lagi atas segalanya dek Ranaku sayang

Surat ini sebagai bukti referendum yang kuberikan kepadamu

Sebuah kebanggaan dan suatu kehormatan pernah menjadi bagian dari hidupmu



I love you, Rere
Read more ...

Jingga

Oleh: Fuad Akbar Adi

Hujan yang mengguyur dari tadi akhirnya reda juga. Matahari yang tadi malu-malu menunjukan wujudnya, sedikit demi sedikit mulai nampak kemerahan mengusir mendung yang berjubah kelabu itu. Hawa dingin yang menusuk tulang-tulangku kini sirna, terselimuti hangat cahaya matahari. Kutarik nafas dalam-dalam sambil membuka satu demi satu lentera jendela. Warna-warni itu, indah sekali. Tujuh warna bonanza bertingkat dengan harmonisnya. Me, ji, ku, hi, bi, ni, u, ucapku dalam hati sambil menghitungnya. Pelangi senja yang indah sekali. Kelopak mata ini tetap bergeming tak mau bergeser sedikitpun dari zona simetrisnya. “Ada pelagi di bola matamu” sebuah potongan lagu dari Jamrud, mengingatkanku kembali pada seseorang yang dulu pernah bersamaku. Pelangi.

***

Beginilah kehidupan seorang pelukis. Kadang menyenangkan, kadang juga membosankan. Siapa bilang ini sebuah pekerjaan? Aku tak terima bila ada orang yang mengatakan pelukis adalah sebuah pekerjaan. Karena setahuku, pekerjaan adalah suatu hal yang dilakukan dengan tujuan tertentu, sehingga hasil yang didapat dari pekerjan itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terserah, apakah pekerjaan itu disukai atau tidak yang penting ada hasilnya dan itu berguna. Berbeda halnya dengan pelukis yang menciptakan sebuah lukisan. Aku mencintai profesiku sebagai seorang pelukis, aku tak peduli dengan apa yang kudapat dari lukisanku. Terserah, apakah lukisanku disukai atau tidak oleh orang aku tak peduli. Jika mereka suka, silahkan berikan apresiasi, hanya itu saja. Itulah bedanya bekerja dengan berkarya. Kenapa terkadang orang malas bekerja? Karena mungkin pekerjaanya tidak ia sukai. Dan kenapa sebuah karya itu indah? Karena tentu saja karya itu diciptakan atas perasakan suka. Seperti halnya cinta akan menjadi indah bila cinta itu diciptakan atas landasan suka, dan tentunya bukan karena keterpaksaan. Pelangi.

Aku keluar dari dalam rumah setelah hujan benar-benar reda. Sambil mengecek dompet aku berjalan menuju warung Bu Atik. Dingin-dingin seperti ini memang paling enak menyeruput secangkir kopi dan menghisab sebatang rokok di warung Bu Atik. Sekalian cari inspirasi objek yang akan aku lukis. Jarak rumahku dengan warung Bu Atik tak terlalu jauh, h dalam lima menit aku telah sampai warung. Keadaan warung Bu Atik tak seperti biasanya, sepi sekali tidak ada orang yang ikut nongkrong. Biasanya sore-sore begini bapak-bapak banyak yang datang ke sini. “Mungkin lagi pada berbalut selimut sarung di kamar masing-masing” ucapku dalam hati.

Aku duduk dengan kaki bertengker di atas kursi yang berbentuk lurus memanjang. Sebelum aku memesan, Bu Atik sudah menebak apa yang akan aku pesan.

“Torabika susu sama gudang garam filter, kang?” Bu Atik menebak dengan yakin.

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar tebakannya yang memang tepat sekali. Bukan karena Bu Atik sakti atau sejenis paranormal, namun setiap aku datang ke warungnya, memang hanya itu saja yang aku pesan. Dalam hitungan menit, secangkir kopi hangat sudah ada di depanku. Kuseruput sedikit demi sedikit sambil memetik korek api klasik warisan ayahku untuk menyalakan rokok. Sensasi yang luar biasa nikmat, perpaduan antara nikotin dan kafein. Membuat lamunan ini tak sia-sia. Dalam sekejap aku telah mendapatkan sebuah ide tentang objek yang akan kulukis nanti. Aku ingin melukis seorang perempuan cantik yang sedang memotret sebuah pelangi.

Alangkah terkejutnya aku saat tiba-tiba saja muncul seorang perempuan tak dikenal duduk di sebelahku. Tanpa ucapan permisi sama sekali, dengan tak ada raut muka sungkan di wajahnya. Hanya sebuah senyuman mungil yang ia tunjukan kepadaku saat kutengoknya penuh tanda tanya.

“Bu Atik, teh anget satu buk” sambil menaruh tas kotak berwarna hitam di atas meja.

“Oke neng. Udah selesai lihat-lihatnya?” tanya Bu Atik akrab.

“Oh, udah bu. Beberapa objek emang bagus si, tapi masih kurang. Masih pengen cari tempat yang beda lagi bu”

“Oh, Ibu endak terlalu banyak tahu objek-objek yang bagus di desa ini neng. Eh, iya kalau neng pengen cari orang yang tahu banyak objek-objek yang bagus di desa ini, tanya saja sama orang yang duduk di sebelah neng. Dia kang Edo, dia pelukis handal lho neng. Bener kan kang?”

Hey? Apa yang baru saja terjadi di sini. Tiba-tiba saja muncul seorang permpuan yang tidak aku kenal yang tak tahu dari mana munculnya. Kemudian tiba-tiba saja berbincang akrab dengan Bu Atik. Selanjutnya berbincang masalah objek-objek bagus di desa ini. Ditambah Bu Ati membawa-bawa namaku dalam pernyataannya yang konyol itu.

“Ha? E a a nu. Hey, kenapa kamu menatapku seperti itu?” aku menjadi salah tingkah saat perempuan itu menatapku penuh ambisi.

“Oh oh oh, jadi kamu pelukis ya? Sudah kuduga, aku dapat merasakan aura seni dalam dirimu. Perkenalkan namaku Jingga Anastasya. Tadi Bu Atik bilang namamu siapa? Aku lupa” dengan sok tahunya ia bilang dapat merasakan aura seniku? Dan dengan kurang ajarnya dia lupa dengan namaku yang sudah disebut oleh Bu Atik.

“Hhhhh, tepat sekali. Aku adalah pelukis professional, lulusan Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Namaku Edo El Salmah, tadi kan baru beberapa detik sudah disebutkan oleh Bu Atik, kenapa kamu bisa lupa semudah itu?!” aku kembali salah tingkah.

“Hehe maaf-maaf. Aku memang agak susah mengingat nama orang. Edo El Salmah? Namamu keren juga untuk seukuran orang desa” kembali dia memerlakukanku dengan kurang ajar.

Jingga Anastasya adalah seorang fotografer semiprofesional. Dia masih kuliah di UI jurusan Sastra Indonesia semester 5. Selain hobi memotret, dia juga suka menulis dan berpetualang. Aku tak menduka akan secepat ini akrab denganya. Dia memang orang yang supel dan mudah bergaul. Kami berbincang banyak saat itu. Kemudian kami membuat sebuah perjanjian, di mana aku akan menunjukan sebuah tempat yang di sana terdapat sebuah objek yang sangat ingin dia potret. Sebuah objek yang sering kali mengingatkanku dengan seseorang. Pelangi.

***

Sesuai janjiku, hari ini tepat tiga hari setelah aku bertemu dengan Jingga, aku akan menganntarnya ke suatu tempat yang paling bagus untuk memotret pelangi. Aku melangkah santai mempersiapkan alat tulisku, karena ini juga sebuah kesepakatan dalam perjanjian di warung Bu Atik, bahwa aku juga akan melukis Jingga saat dia sedang memotret pelangi. Memang sebuah kebetulan sekali, kami bagaikan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.

Aku sudah siap keluar dari rumah saat semua peralatan lukisku telah selesai kukemasi. Saat kubuka pintu, aku terkejut ternyata Jingga sudah ada di depan pintu dengan tatapan mata ambisiusnya itu. Aku tak tahu dari mana dia tahu rumahku, padahal aku belum sempat mengatakanya. Mungkin Bu Atik yang memberitahunya.

“Hah? Sejak kapan kamu sudah ada di sini?” tanyaku penasaran.

“Emmm, gak lama kok. Ayo cepet buruan, jangan sampai pelanginya ngilang” penuh semangat.

“Eh, tapi aku gak janji lho ya kalau ke sana nanti pasti ada pelanginya”

“No no no. Pokoknya kamu harus tanggungjawab kalau sampai tuh pelangi gak nongol”

“What? Kita gak ada perjanjian seperti itu ya. Aku kan hanya bilang sering muncul saja”

Perdebatan ini pun terus berlangsung dalam perjalanan kami. Aku membawanya pergi ke suatu bukit tak jauh dari desa. Bukit yang dulunya sering kukunjungi bersama mantan kekasihku yang sekarang sudah menikah dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya. Dia meninggalkanku begitu saja. Dia meninggalkan segala kenangan yang telah terukir bersama hanya karena tak mau melanggar kehendak orangtuanya. Aku sebenarnya tidak mau menyalahkanya, yang salah adalah takdir ini. Takdir yang tak mau mempersatukan aku dengannya. Lebih dari beberapa jam lamunanku melalangbuana menembus tembok kokoh kenangan masa lalu. Tak kusadari sedari tadi Jingga menatapku penuh tanda tanya. Ternyata sudah tiga kali dia memanggilku saat pikiranku masih terperangkap dalam ilusi-ilusi tak bermuara itu. Aku tersentak, mengingat apa yang terakhir kali aku lakukan bersamanya.

“Eh, kamu kenapa si? Lagi gak enak badan?” tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Emmm anu ee aaa, gak kok gak papa. Nih kamu lihat badanku sehatkan?” aku gelakapan.

“Heh? Tapi kayaknya jiwamu nggak deh” dengan jari telunjuknya menunjuk dadaku.

Sialan. Kali ini dia benar-benar sangat kurang ajar. Dia menganggapku sedang depresi atau gangguan jiwa bahasa paling halusnya. Dengan intonasi yang cukup tinggi, aku menampik semua dakwaanya. Namun, secara tidak langsung Jingga memaksaku untuk berbagi kisahku padanya. Akhirnya kuceritakan sebuah romans bergenre mellow dengan judul “Kandasnya Cintaku ditengah indahnya Pelangi”. Ya, sebelumnya aku pernah mempunyai kekasih yang bernama Pelangi. Kami saling mencintai, hubungan yang sudah berjalan lama hampir 4 tahun. Dulu kami sering menghabiskan waktu berdua di bukit yang akan aku tuju bersama Jingga. Bukit yang indah penuh dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga liar. Apalagi saat desa ini diguyur hujan, biasanya setelah hujan reda pelangi-pelangi indah akan menampakkan dirinya menemani kemesraan kami saat memadu kasih.

Setelah menamatkan kuliahku, aku menjadi penulis professional. Karierku dibidang lukis sebenarnya cukup gemilang. Setidaknya harga lukisan termurahku sekitar 500.000 dan yang paling mahal pernah mencapai 12 juta. Bermodalkan seperti itu, ditambah warisan kebun ayah yang cukup luas, dengan pedenya aku melamar Pelangi. Sebelum kuajak orangtuaku untuk melamarkan Pelangi, aku datang sendiri ke rumah orangtua Pelangi untuk menyampaikan makasudku mempersunting anaknya. Hal ini kulakukan semata-mata hanya untuk meminimalisasi terjadinya insiden dalam hubungan orangtuaku dan orangtua Pelangi. Akan tetapi betapa terkejutnya aku saat mengetahui respon dari orangtua Pelangi.

Dengan mentah-mentah, ayah Pelangi menolakku. Hanya dengan alasan pekerjaanku tidak jelas. Dia tidak suka orang seni. Katanya orang seni urak-urakan dan tidak tahu agama. Lebih parah, ternyata ayah Pelangi diam-diam sudah menjodohkan anaknya dengan seorang direktur muda dari kota. Batapa hacurnya hatiku saat itu. Aku meninggalkan rumah Pelangi dengan langkah gontai. Terombang-ambing tersapu angin berhembus bagaikan butiran partikel.

Rasa kecewa yang begitu dalam membuat semangatku buyar. Aku ngedrop. Seharusnya disaat-saat seperti ini adalah peran Pelangi untuk menyemangatiku. Membuatku untuk terus berusaha mendapatkanya dan meyakinkan ayahnya bahwa aku pantas menjadi suaminya. Sayangnya bukan itu yang aku dapat, dua hari setelah aksi penolakan yang aku terima dari ayahnya, pelangi menghubungiku. Dia ingin bertemu denganku di bukit tempat kami biasa menikmati indahnya pelangi.

Awalnya kupikir dia akan melakukan hal yang sesuai bayanganku. Namun, justru sebaliknya. Dia memintaku untuk mengiklaskan dirinya menjadi milik orang lain. Spontan aku emosi. Aku tak terima. Kutendang sebuah batu dengan begitu kesal. Semua yang ada disekitarku menjadi korban aksi luapan emosiku yang tidak terkontrol.

“Maaf Edo. Aku tak mau membangkan atas keputusan orangtuaku. Aku tak mau menjadi anak durhaka. Ini yang terbaik untuk kita, aku dan dirimu. Masih banyak perempuan di sana yang lebih baik dariku dan pantas untukmu. Maafkan aku. Semoga kau sudi datang pada acara pernikahanku, tiga bulan lagi. Selamat tinggal”

Pelangi! Dia memutuskanku di depan pelangi dengan wujud lain. Aku terpaku dalam dimensi waktu yang aku tak tahu. Aku terisak dalam diam. Aku menagis dalam sepi. Lalu, aku menjerit dalam sunyi.

“Emmm, ceritanya sedih sekali. Maaf mengingatkanmu dengan kenangan yang tidak mengenakkan” Jingga merasa bersalah.

“Oh, gak papa” aku sok tegar.

“Yaudahlah jangan diratapi lagi. Bener juga kata mantanmu itu. Masih banyak perempuan lain di sana yang lebih baik dan pantas untukmu” Dia mencoba menasehatiku.

“Kamu pernah merasakan sakit hati?”

“Emmm, mungkin tak separah kisahmu. Dulu aku pernah jatuh cinta dengan seorang pria. Kakak angkatanku. Dia baik kepadaku. kami berhubungan cukup lama sebelum akhirnya kami menjadi sepasang kekasih.

“Trus? Di mana sakit hatinya?”

“Bentar aku belum selesai woy!!! Ternyata tak kusangka setelah kami berhungungan hampir setahun, aku baru tahu ternyata dia mengidap kelainan seksual. Dia homo! Hungungan yang dia lakukan denganku hanya sebagai kedok untuk menutupi statusnya”

Bukanya aku simpati dengan kisah yang Jingga ceritakan. Aku malah tertawa terbahak-bahak. Lucu saja melihat ekspresi Jingga saat sedang bercerita. Apalagi saat bab-bab terkahir tadi yang ada homo-homonya.

“Sialan! Malah diketawain!” dengan kesal dia menjambak-jambak rambutku.

“Huahhahaha. Sumpah kamu kan tak suruh buat cerita sedih-sedih bukannya cerita anekdot seperti itu” aku masih tertawa sambil menangkis terjangan tangan Jingga di rambutku.

“Kampret! Yaudah gak papa deh, jika ceritaku tadi membuatmu terhibur. Setidaknya aku seneng melihatmu sejenak melupakan kisah kelammu itu”

Aku tersentak mendengar ucapan Jingga. Setelah sudah sekian kali aksi kekurangajaranya kepadaku mulai dari kami bertemu, kini dia malah menujukan rasa kepedulianya kepadaku. Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba juga di bukit itu. Jingga sangat senang melihat pemandangan indah desaku dari atas bukit. Sambil larri jingkrak-jingkrak, Jingga mengelilingi segala sudut penjuru bukit. Dia memetik setangkai bunga lalu mencium bunga itu dengan senyum.

“Sumpah! Keren banget do. Pemandanganya bagus. Gak sia-sia aku jauh-jauh ke sini”

“Hehehe. Benerkan kataku?” Kumembanggakan diri.

“Eittssss, tapi ada yang kurang. Mana pelanginya?!!!”

“Ha? Emmm, kayaknya hari ini gak ada deh. Besok aja kita ke sini lagi” dengan entengnya kujawab.

“Gilak! Besok aku udah pulang kali. Ini hari terakhirku di sini”

“Ha? Kenapa kamu gak bilang dari dulu kalau besok kamu udah pulang? Kan kita bisa ke sini dari kemaren-kemaren!” sahutku kesal.

Lama kami berdebat, tiba-tiba langit menjadi gelap. Angin pun berhembus lebih kencang dari sebelumnya, menghempaskan daun-daun yang telah berguguran. Mendung menyelubungi langit-langit desa, pertanda akan turun hujan. Awalnya aku ingin mengajak Jingga untuk langsung pulang, namun karena perjalananya cukup jauh, aku berpikir lebih baik berteduh dulu di sebuah gubuk kecil gudang kayu bakar.

Tak lama akhirnya hujan turun juga. Dimulai dengan rintik-rintik gerimis kemudian lambat laun makin deras disertai suara petir yang menggelegar. Memaksa kami untuk benar-benar berteduh di gubuk itu. Hawa dingin karena efek hujan menembus hingga ke tulangku. Untungnya aku memakai jaket. Namun, saat kutengokan wajahku ke arah Jingga, dia nampak kedinginan dengan kedua tangaanya saling bersilangan menutupi tubuhnya. Kulepas jaketku dan kuselimutkan ke tubuhnya. Awalnya dia menolak, namun akhirnya mau juga. Dengan aksiku ini terpaksa aku harus menahan rasa dingin yang menyelubungi sekujur tubuhku. Aku kedinginan, namun tiba-tiba saja . . .

Tiba-tiba saja Jingga memelukku. Disandarkanya kepala Jingga ke dadaku. Dia nampak merasa sangat nyaman seperti ini. Aku merasa risih awalnya, namun saat kucoba melepas pelukan itu, Jingga malah makin memelukku erat. Aku hanya bisa pasrah sambil menikmati hangatnya pelukan ini. Aku terpejam larut dalam peresaan temaram.

Apakah Jingga jatuh cinta kepadaku? Kemudian dia mengekspresikanya dengan pelukan ini? Sebenarnya saat pertama kali bertemu, aku sudah menaruh hati kepadanya. Awalnya ini kuanggap biasa karena Jingga memang cantik. Namun lama-lama . . . hah, aku tak tahu. Dengan sedikit mengeluarkan tenaga kejantananku, kulepaskan pelukan ini. Jingga tersentak, kemudian memalingkan wajahnya dari pandanganku.

“Jingga, maksudnya apa ini?” kutanya dia pelan.

“Maaf, aku tak bermaksud . . . “

Sebelum menyelesaikan perkataanya, tiba-tiba Jingga terdiam dan menangis. Aku mejadi salah tingkah. Kutepuk beberapa kali pundangnya pelan. Mencoba menenangkan Jingga yang masih terisak entah kenapa.

“Kamu mengingatkanku denganya, do”

“Ha? Maksudnya?”

“Kamu mengingatkanku dengan kekasihku dulu”

Sumpah, serius ini tak pernah aku duga sebelumnya. Cerita Jingga tadi tentang kekasihnya yang homo itu hanya fiktif belaka. Yang sebenarnya, ternyata kisah tragis ”Kandasnya Cintaku di tengah indahnya Pelangi” juga dialami Jingga. Bedanya, jelas diceritanya Jingga berperan sebagai perempuan yang memutuskan kekasihnya sedang aku lelaki yang diputuskan kekasihnya. Jingga bercerita bahwa dia juga pernah mengalami nasib yang sama. Tepat setahun yang lalu, hubungannya dengan kekasihnya tidak disetujui oleh kedua orangtua Jingga. Sang kekasih dianggap tidak sederajat dengan Jingga karena statusnya dari keluarga miskin. Sang kekasih berusaha mati-matian menyakinkan kepada orantua Jingga dengan bekerja keras agar bisa menjadi orang kaya. Sang kekasih membuka sebuah usaha bengkel motor. Namun, baru beberapa minggu membuka usahanya, sang kekasih tewas akibat kecelakaan saat akan berangkat bekerja. Hal ini menyisakan sebuah kepedihan yang mendalam di hati Jingga. Sehingga saat dia mendengar ceritaku, dia merasakan apa yang dulu dirasakan kekasihnya. “Kalian mempunyai banyak kemiripan. Hingga tadi aku tak sadar bahwa yang aku peluk tadi adalah dirimu, bukan dia” kata Jingga.

***

Semuanya terjadi begitu saja, aku dipertemukan dengan orang yang mampu membuatku melupakan Pelangi. Namanya Jingga, salah satu warna dari warna pelangi yang indah. Aku tak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi antara kami. Biarlah semuanya berlanjar apa adanya. Tak perlu memaksakan kehendak. Aku memeluk erat Jingga. Hujan berhenti, namun pelangi tidak menampakan wujudnya. Tergantikan oleh indahnya senja yang didominasi oleh warna . . . . .”Jingga”.
Read more ...

Syair dan Melodi

Oleh: Fuad Akbar Adi

Nada-nada indah mengalun merdu diiringi rintik hujan yang mengguyur. Dedaunan mengalir lembut dengan harmonis mengikuti irama nada-nada indah itu. Sementara seekor kucing yang acuh sedang berteduh kedinginan di bawah pohon, nampak bergerombol manusia yang telah terstimulus perasaanya ikut hanyut dalam nada-nada indah itu. Termasuk Syair yang masih tegak bergeming dengan sorot mata tajamnya terfokus pada pertunjukan yang ia saksikan.

Dorongan hati makin menjadi-jadi tak kala ia berpikir memadukan nada-nada indah itu dengan lirik-lirik melankolis nan puitis ciptaannya. Sekelebat bayangan menggiurkan itu tiba-tiba saja terlintas dalam benak Syair. Tanpa lama ia berfikir, Syair melangkah menerobos barikade pagar hidup seraya menyeka rambut panjangnya yang basah oleh rintik-rintik hujan yang mengguyur sedari tadi.

Tak perlu waktu lama, Syair sudah menginjakkan kakinya di barisan paling depan. Matanya makin berbinar kala menyaksikan nada-nada indah yang ia dengar tadi bersumber dari gesekan biola yang dimainkan oleh wanita dengan senyum manis bak malaikat.

“Siapa gerangan wanita ini?” Syair bertanya-tanya dalam hati.

Mencoba membuka logikanya, hasrat Syair makin bergelora ingin mengenal lebih jauh mahluk yang sekarang berada di depan pelupuk matanya. Dengan sabar, Syair masih berdiam diri menanti bergulirnya waktu. Hingga alunan nada-nada indah itu akhirnya berhenti dan segerombolan manusia yang sedari tadi menemaninya mendengarkan alunan nada-nada indah itu lenyap satu persatu dengan sendirinya tanpa berpamitan. Kini hanya ada Syair dan wanita pemain biola bak malaikat itu. Seraya mengemasi biola dan alat-alat musiknya, wanita pemain biola itu sejenak menatap Syair dan memberikan sedikit senyumnya yang memercikan kilau cahaya ke dalam hati Syair yang terlalu hampa. Betapa bergetarnya jiwa Syair kala itu. Sungguh harus ia akui, senyuman wanita pemain biola itu sangat indah sekali. Manis, semanis madu. Hingga telah lama, baru kemudian ia sadari wanita pemain biola itu sudah berlalu terlampau jauh dari tempat ia berdiri.

Sontak, seketika Syair terkejut. Ia menampar lirih pipinya, mencoba menyadarkan dirinya sendiri yang nampaknya baru saja terhipnotis oleh senyuman dari wanita pemain biola itu. Sambil berlari kelabakan, Syair berteriak memanggil-manggil wanita pemain biola itu.

“Hey, kau tunggu sebentar!”

Walaupun tak mengenal Syair, wanita pemain biola itu cukup peka kalau orang yang Syair panggil adalah dirinya. Tepat di depan gazebo yang sepi dan temaram, ia berhenti dari langkahnya dan memalingkan wajahnya ke arah Syair dengan agak heran. Tak lama kemudian dengan nafas terengah-engah Syair sudah berada persis di depan wanita pemain biola itu.

“Maaf, kamu siapa ya?” wanita pemain biola itu mengerutkan jidatnya bingung.

“Hah hah hah, perkenalkan namaku Syair. Aku dari jurusan sastra. Tadi aku menyaksikan kau memainkan biolamu dengan sangat indah. Aku hanya tertarik dengan permainan biolamu tadi. Aku hanya ingin mengenalmu saja. Siapa namamu?” Syair melontarkan kata-kata panjangnya dengan intonasi patah-patah.

“Oh, anak sastra ya. Terimakasih atas pujianya. Salam kenal, panggil saja aku Melodi” kembali senyum indah wanita pemain biola itu tersungging dari bibir manisnya.

Lantas, bersama-sama Syair dan Melodi saling berjabat tangan sebagai simbol perkenalan antara mereka berdua. Seraya berjalan menyusuri jalan setapak kampus konservasi, Syair dan Melodi berbincang banyak mengenai apa saja. Awalnya mereka berbincang mengenai genre mereka masing-masing, sastra dan musik tentunya. Lalu, pembicaraan mulai menjerumus pada kisah-kisah kehidupan mereka. Menjadi akrab dalam sekejap memang tidak terlalu baik, namun rasa percaya dan nyamanlah yang kemudian membuat mereka larut dalam keakraban.

Hingga rona jingga kemerahan yang membentang dari ufuk barat, mengakhiri perbincangan panjang mereka. Melodi minta pamit pulang kepada Syair. Sempat Syair mengutarakan jasa untuk mengantar Melodi pulang dengan tunggangan besinya, namun ditolak secara halus oleh Melodi. Pada senjakala itu, Melodi memberikan senyuman terakhirnya sebelum berlalu meninggalkan Syair. Hati Syair kembali bergetar, ia tak pernah menduga akan sedasyat itu senyuman dari wanita pemain biola yang kini ia kenal bernama Melodi. Meskipun ia belum dapat mengutarakan maksud dan tujuan sebenarnya, setidaknya perkenalan ini tak terlalu sia-sia.

“Masih ada banyak waktu, mengapa harus tergesa-gesa. Yang terpenting kan sudah saling mengenal” gumam Syair sambil menatap senja.

**********

Sudah lebih dari dua minggu sejak perkenalan mereka di depan gazebo yang sepi dan temaram, Syair dan Melodi tak pernah lagi bersua. Meski berada dalam satu fakultas, keadaan kali ini belum sudi mempertemukan meraka kembali. Keadaan yang telah dua minggu ini memaksa mereka untuk sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, untuk hari ini keadaan sedang berbaik hati.

Mendung menggantung di bibir langit. Awan membumbung di awang-awang. Samar-samar mulai terdengar gemercik air bersentuhan dengan genting. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur langit-langit kampus konservasi kala Syair sedang memacu kendaraan besinya menuju kontrakanya yang lumayan jauh dari kampus. Karena tak membawa jas hujan, Syair memutuskan berteduh di depan teras rumah kos-kosan berwarna hijau muda yang ia liat di persimpangan jalan. Ia duduk di teras yang cukup luas dan berjubin putih abstrak. Ia menyeka rambut panjangnya yang basah akibat guyuran hujan dengan badan yang masih menggigil kedinginan. Para penghuni kos merasakan keberadaan seorang pria yang berteduh di teras kos mereka. Meskipun begitu mereka tak terlalu perduli. Seseorang yang berteduh di teras ketika hujan mereka anggap hal biasa. Hanya ada satu orang yang tertarik, satu-satunya penghuni kos yang pandai bermain biola. Melodi.

Melodi melihat Syair yang sedang berteduh di teras kosnya dari balik korden jendela. Karena merasa kenal, Melodi bermaksud menemui Syair, lantas mempersilahkanya masuk ke kos, mengingat ia tahu hawa di luar yang dingin menusuk tulang. Syair menoleh ke arah kos ketika terdengar suara pintu terbuka. Tak disangka oleh Syair ketika seseorang yang membuka pintu kos ternyata adalah orang yang ia kenal. Sesosok bidadari muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan. Cahaya putih yang bersinar menyilaukan mata menjadi efek kehadiranya.

“Melodi?” Syair memanggil Melodi dengan nada ragu-ragu seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Hay, ketemu lagi. Hujannya masih deras, masuk aja yuk, pasti kamu kedinginan” ajak Melodi ramah sambil mengkerlingkan matanya.

Dengan agak sungkan Syair masuk dan duduk di ruang tamu kos yang biasa dijadikan anak-anak kos sebagai tempat belajar kelompok. Syair menyapu pandanganya mengelilingi seluruh penjuru ruangan. Rasa takjub hinggap di hatinya tak kala melihat ruangan seperti ini. Ruanga yang bersih dan tertata rapi sebagaimana halnya kos-kosan putri yang lain. Barangkali berbeda dengan kontrakan Syair yang dihuni oleh para lelaki yang agaknya sering mengesampingkan nilai-nilai kebersihan dan kerapian.
Read more ...

Menunggu Telepon Berdering

Oleh: Fuad Akbar Adi

Sebuah penyesalan itu pasti datang belakangan. Semua orang tahu itu. Sebuah penyesalan lahir dari kesalahan yang telah kita perbuat terlebih dahulu sebelumnya. Hanya terkadang penyesalan yang telah terjadi dapat kita atasi dengan solusi dari kita sendiri apapun itu. Setidaknya kita dapat mengekspresikan wujud penyesalan itu dengan kata “Maaf”. Sayangnya, untuk kali ini aku tak dapat melakukanya.

Aku adalah anak tunggal dari keluarga yang bisa dikatakan berduit. Ayahku bekerja di bidang kontraktor sedang ibuku adalah seorang dokter. Selain anak tunggal, aku adalah anak perempuan. Dengan demikian, sudah jelas jadinya kalau orangtuaku sangat protektif terhadapku. Apa-apa selalu diawasi. Apa-apa selalu dilarang. Aku bahkan tak mempunyai sahabat atau teman akrab layaknya seorang perempuan remaja lainya. Aku sangat benci diperlakukan seperti ini, namun apa boleh buat, aku telah memaklumi hal ini. Sebenarnya hal ini menunujukan kalau orangtuaku sangat sayang kepadaku dan tidak mau kehilangan aku, itu kata pembantuku. Mungkin hanya Bi Maryam satu-satunya orang yang dapat aku ajak bermain dan ngobrol sesuka hati tanpa dilarangan kedua orangtuaku.

Seperti biasa setelah pulang sekolah, hari-hariku berjalan begitu membosankan. Hanya tiduran di kamar sambil mendengarkan lagu Sheyla On 7 yang telah berkali-kali aku putar. Aku bangun dari tiduranku setelah bosan mendengarkan lagu. Kemudian aku nyalakan laptop dan kini aku mulai beraksi dengan modem yang telah kuisi pulsa 25 GB. Kubuka akun FBku dengan cepat, seperti jariku ini sudah hafal dengan alamat email dan password milikku.

“Wihh, tumben temen-temen pada online semua. Bakal rame nih” aku bicara dalam hati penuh semangat.

Sudah lebih dari dua jam aku terpaku di depan laptopku. Chattingan di Facebook sama teman-teman SMA, membuatku lupa waktu. Sekarang aku mulai lelah, namun di saat aku akan berhenti, tiba-tiba ada pesan masuk dari seseorang yang belum aku kenal.

“Hai, boleh kenalan gak?”

Memang terkesan aneh pesan yang dikirim jika memang ini orang ingin berkenalan serius karena cara pemakaian kata-katanya yang terlalu main-main banget. Sempat dalam benakku ingin mengacuhkan pesan tadi, namun entah kenapa akhirnya aku balas juga.

“Boleh. Nama asliku Dini indriani. Panggil saja aku Dini. Nama aslimu siapa? Kok nama akunya aneh banget. Apatuh Nicosangpencakarlangitpemanahmegamendung. Tanpa spasi lagi.”

“Oke, makasi ya udah mau berkenalan. Hehe, itu biar keliatan membahana gitu. Nama asliku Nicolas wijaya. Panggil aja Nico. Kamu SMAnya di mana? Kok kenal sama Fika?”

“Oh, kamu kenal Fika juga. Dia kan satu sekolah denganku, SMA 106 Jakarta Utara. Kamu?”

“Iya, dia temenku waktu SMP, aku tau kamu lewat Fbnya. Aku SMA 6 Jakarta barat.”

Setelah itu, aku malah jadi keasikan chattingan dengan Nico. Dia sangat enak diajak ngobrol. Pada hari itu, aku baru selesai chattingan sampai jam 5 sore.

**********

Nico wijaya anak pindahan dari Belanda. Ayahnya yang seorang Indonesia menikah dengan ibunya yang seorang Belanda. Ia sudah di Indonesia empat tahun yang lalu saat orangtuanya memutuskan untuk menyekolahkanya di Indonesia dan juga akan menetap permanen di Indonesia. Karena sejak kecil tinggal di Belanda, Nico meresa kesulitan bergaul dengan teman sebayanya. Sehingga dia sering kesepian karena tidak punya banyak teman. Akan tetapi, sepertinya itu bukan faktor utama yang membuat Nico tidak punya banyak teman. Dia sama sepertiku anak tunggal, apalagi ayahnya adalah seorang pengusaha property sukses di Jakarta sehingga dia menjadi pewaris tunggal bisnis ayahnya.

Setiap kali kami chattingan salah satu topik yang sering sekali kami bicarakan tentunya mengenai keprotektifan orangtua kami. Nico sering becerita kalau dia bahkan belum pernah punya teman perempuan yang akrab karena saking ketatnya orangtuanya menjaga Nico dalam pergaulan di Jakarta. Jadi kita serasa senasib dan sependeritaan sehingga kami kini setiap hari selalu menyempatkan chattingan bersama.

Suatu hari karena aku mulai penasaran dengan sosok aslinya, aku ingin mengajaknya ketemuan. Aku telepon dia setelah seminggu yang lalu dia memberikan nomer teleponya. Akan tetapi,ternyata kali ini aku belum beruntung. Akhir-akhir ini Nico sangat sibuk dengan kegiatan sekolah dan berbagai les serta bimbingan belajar, sehingga belum ada waktu untuk bertemu denganku “Duh, kali ini belum bisa mungkin kudu coba lagi” batinku sambil tersenyum.

Merasa kecewa dengan Nico, akhirnya kuputuskan keesokan harinya aku tak mau membalas pesan yang Nico kirim ke Fbku. Sudah berkali-kali Nico mengirim pesan dan aku acuhkan. Isinya tentang permintaan maafnya yang telah menolak ajakanku untuk ketemuan. Dia menyarankan agar lebih baik saat ini kita chattingan dulu aja nanti pasti suatu saat kita akan bertemu. “Akan indah pada waktunya” pesan Nico yang terakhir kalinya kepadaku. Setelah itu, dia offline.

Karena merasa kasian, akhirnya malam harinya aku telepon dia lagi. Kali ini aku yang meminta maaf karena dari tadi pagi pesanya tidak ada yang aku balas.

“Hei, lagi ngapain? gak ganggu kan?” to the point, aku memulai percakapan.

“Oh, lagi nonton TV Din. Gak papa, gak papa, gak ganggu kok. Kamu apa kabar? Hari ini kayaknya sibuk ya. Pesanku kok gak ada yang dibales?”

“Iya makanya ini aku nelepon kamu. Aku minta maaf gak sempet bales. Aku sibuk lagi bantu tante pindah rumah” jawabku bohong.

“Oh, gitu yaudah gak papa. Aku cuman khawatir. Tak kirain kamu marah sama aku.”

Mendengar jawaban itu hatiku jadi berdetak kencang. Dia khawatir denganku ? Apa jangan-jangan dia sudah menaruh perasaan kepadaku? Memikirkan hal itu membuat aku lupa kalau aku sedang bertelepon dengannya. Berkali-kali Nico bilang “Halo. . .halo. . .halo. . .” namun tak kujawab.

“Eh, iya halo halo Nic. Sampai mana tadi?” jawabku terbata-bata.

“Duh kamu mikirin apa si Din? Sampai hilang fokus gitu? Mikirin aku ya?

Sialan, kali ini dia menggodaku. Aku pun membantahnya lansung walaupun itu akan membuat hati dan mulutku tawuran. Kemudian aku berpura-pura ngambek supaya Nico berhenti menggodaku. Setelah puas menggoda, Nico mengganti topik pembicaraan.

“Din, dari pada kita chattingan mulu mending lebih baik telponan aja. Tak rasa-rasain kayaknya lebih asyik” Ucap Nico dengan nada serius.

“He. Iya juga ya. Boleh-boleh aku setuju” jawabku keceplosan. Duh, murahan banget jawabanku.

“Wahhh, kamu kok kayaknya seneng banget. Jangan-jangan kamu seneng sama suaraku ya? Suaraku seksi kan?” dia kembali menggodaku.

Lama-lama hubungan kami sudah sangat dekat. Tak peduli walaupun kami tak punya teman. Walaupun kami tak bisa bermain sembarangan yang penting kami tetap bisa teleponan. Dalam sehari mungkin kami bisa teleponan lebih dari 10 kali. Sedikit-sedikit telepon, ada apa sedikit telepon. Tapi kami senang dan kami bahagia, hingga sepertinya aku sudah tahu bahwa Nico pun menaruh hati kepadaku. Akan tetapi, semua kesenangan ini hanya bertahan sebentar karena . . .

**********

Suatu hari, setelah sekian lama kami tak pernah chattingan karena lebih sering teleponan, Nico mengirim pesan ke Fbku. Aku tak tahu apa yang terjadi sehigga membuatnya seperti itu.

“Din, besok depan aku akan ke Singapore” Nico mengirimku pesan secara misterius.

“Wahhh, kamu liburan ya? Eh, tapi kan ini belum libur sekolah” tanyaku bingung.

“Nggak, aku gak liburan”

“Lalu ngapain ke Singapore?”

“Gpp cuman pengen aja. Maaf ya kalau dalam seminggu ke depan kita bakal susah teleponan lagi.”

“Loh? Gimana sih kamu? Gak jelas deh” Aku makin bingung dengan gelagat aneh Nico.

Saat aku makin bingung dengan maksud Nico dan menanti balasanya lagi, tiba-tiba dia offline. Aku jadi galau, semenjak pesan misterius dari Nico yang tak kunjung aku pahami itu. Kkini aku merasa sangat kesepian karena tidak ada teman lagi yang bisa diajak ngobrol dan curhat. Aku jadi rindu dengannya. Makin penasaran, tiba-tiba aku teringat dengan Fika, teman SMAku dan juga teman SMP Nico. “Mungkin dia tahu apa yang sedang terjadi dengan Nico” pikirku saat itu.

Keesokan harinya, di sekolah aku mondar-mandir mencari keberadaan Fika, namun tidak tahu kenapa Fika juga sulit sekali dicari keberadaannya. Seperti menghilang misterius. Kutanya teman sekelasnya, akhirnya titik terang pun muncul. Salah satu temanya mengatakan kalau dia sedang ada di UKS sekolah. Katanya dari tadi pagi dia sudah di UKS karena badanya demam.

Aku lari sprint dari kelas Fika ke UKS, dan secepat sambaran petir aku sudah sampai di depan UKS. Kucari Fika di sana dan betul dia sedang terbaring di kasur sambil mainan HP.

“Hai Fik, kamu sakit ya?” tanyaku seadanya.

“Eh, Din. Iya nih kecapekan kali ya” balasnya terkejut.

“Maaf, Sebenarnya aku ke sini bukan karena mengkhawatirkanmu. Aku cuman mau tanyak”

“Ha ? kirain kamu . . . yaudah mau tanyak apa?”

“Kamu tau gak Nico kenapa?”

“Nico? Hmmm, jadi dia gak cerita ke kamu?”

“Cerita apa emang?” tanyaku paksa.

“Iya, jadi gini. Sebenarnya Nico itu sudah lama sakit liver akut. Karena keluarganya yang super sibuk, dia tak terurus di rumah. Katanya penyakitnya itu disebabkan karena dia sering minum-minuman keras. Dan besok dia akan di operasi ke Singapore.’’

Sontak ucapan Fika itu membuatku sedih sekaligus marah kepada Nico. Kenapa dia tak cerita kepadaku? Kenapa dia lebih memilih merahasiakanya? Aku tak tahu alasan Nico, namun yang jelas hal itu telah membuatku kecewa kepadanya. Pulang sekolah aku langsung masuk kamar. Kubuka laptop dan langsung kubuka FBku. Namun tak ada Nico, dia offline. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sangat khawatir kepadanya walaupun hatiku masih kecewa. Kini aku kembali bertanya kepada Fika, tentang apa saja yang ia tahu mengenai Nico, namun Fika juga sudah tidak tahu apa-apa lagi. Tidak ada kabar lagi darinya sekarang. Situasi ini membuatku benar-benar cemas, aku marah dengan Nico, benar-benar sangat marah akan kelakuanya.

Hingga akhirnya seminggu kemudian dia meneleponku. Aku meluapkan segala kemarahanku seketika itu. Nico hanya diam dan mendengarkan saja, sepertinya dia sadar telah membuatku marah. Ia meminta maaf, dia tidak bermaksud membuatku khawatir. Dia hanya tidak ingin membuatku sedih karena mengetahui akan penyakitnya. Apa boleh buat, aku akhinya memaafkanya. Akan tetapi, kini hubungan kami tidak seindah dulu lagi. Nico kini sulit sekali dihubungi. HPku yang biasanya selalu berbunyi ringtone setiap 2 jam sekali, kini bahkan 24 jam tidak ada bunyi apapun yang keluar dari HPku. Mungkin sekarang HPku sudah angker dihuni para mahluk astral karena tidak pernah aku pakai lagi sama sekali. Lambat laun aku pun mulai melupakanya. Rasa tertarik dan penasaranku kepadanya kini telah terkikis oleh perasaan tidak peduli lagi. Dan sekarang aku sudah melupakan Nico sepenuhnya.

**********

Sekarang setelah lulus SMA, aku melanjutkan studi di ITB dan kini menginjak semester 3. Hari-hariku sekarang sudah tidak membosankan lagi. Karena sekarang aku kuliah dan jauh dari orangtua sehingga aku bisa berbuat sesuka hatiku. Aku menjalani kehidupanku di sini layaknya mahasiswa-mahasiswa normal. Kuliah, organisasi, dan pacaran. Untung-untung bisa punya kerja sampingan supaya punya banyak uang dan tidak terlalu bergantung dengan orangtua saja. Untuk masalah pacaran, aku sudah tiga kali gonta-ganti pacar dan semuanya aku yang mutusin. Hebatkan? Sekarang statusku kini adalah jomblo, sudah tiga bulan aku menyandang status ini. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini tidak ada cowok yang mau pedekate denganku. Apa mungkin aku kualat dengan mantan-mantanku yang telah aku sakiti? Haha, semoga saja tidak.

Karena kelamaan jomblo, hidupku kini sering kulewati dengan ngalamun mengingat kenangan indah bersama mantan-mantanku dulu. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku teringat satu nama. Dia bukan mantanku. Bahkan bertemupun belum pernah. “Nico” kenapa tiba-tiba aku mengingatnya? Kenapa tiba-tiba aku merindukanya. Sebuah lagu dari Letto yang berjudul “Ruang Rindu” kini menjadi juara playlist di spaker kamarku.

Kau datang dan pergi oh begitu saja

Semua ku terima apa adanya

Mata terpejam dan hati menggumam

Di ruang rindu kita bertemu

Aku tak mau terjebat dalam sebuah nostalgia pahit ini. Keesokan harinya, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa yang penuh akan keceriaan. Mungkin dari pada menanti cowok yang tak kunjung datang, lebih baik aku berinisiatif memancing mereka datang terlebih dahulu. Akhirya kuputuskan, akhir pekan ini aku mau jalan-jalan ke kota. Menikmati indahnya kota Bandung yang berhawa sejuk itu. Sesampainya di Bandung tak ku sangka ini kebetulan atau tidak, aku bertemu dengan Fika teman SMAku dulu. Kami saling sapa dan akhirnya bercerita tentang semua kehidupan kami saat ini. Ternyata dia juga kuliah di Bandung, tepatnya di UPI. Saking asiknya ngobrol aku sampai lupa waktu, hari telah menjelang sore. Senja khas pegunungan pun mulai terlihat. Aku pamit pulang kepada Fika. Namun, sebelum langkah kakiku terdengar menjauh, Fika berteriak kepadaku.

“Hei Din. Kalau ada waktu luang kita berkunjung ke makam Nico yuk.”

What?!!!!! Makam Nico? Maksudnya Nico sudah meninggal? Hatiku benar-benar terguncang. Tubuhku lemas tak dapat kugerakkan. Ini benar-benar mengejutkan. Ingin rasanya kutampar mulut Fika yang telah mengatakan suatu yang mengada-ada dan tak masuk akal bagiku.

“Ka ka kamu bilang apa tadi? Makam Nico? Nico su su sudah meninggal maksudmu?” tanyaku dengan mata layuh.

“Weiii? Kamu belum tahu ya? Dia udah meninggal 2 tahun yang lalu saat kita masih SMA. Operasi yang dilakukan saat sakit liver itu gagal Din. Perasaankan dia deket banget sama kamu. Masak kamu gak tahu sih, Din?”

Kini aku benar-benar terkejut. Tubuhku sudah lemas dan seketika itu aku langsung pingsan. Aku siuman setengah jam kemudian. Fika kemudian mengantarku pulang. Setelah sampai kos dia pamit pulang. Sekarang aku sendirian di kamar. Menangis sejadinya. Sebuah tangisan penyesalan bahkan lebih dari itu. Hanya dengan tangis aku dapat mengekpresikan penyesalanku. Karena sekali lagi aku tak dapat meminta maaf atas kesalahanku.

Masih tak percaya, aku bangkit dan mengambil HPku. Kucari nomer Nico yang sengaja belum aku hapus. Kutelepon dia, tapi tak ada jawaban. “Nomer yang anda tuju tidak terdaftar”. Berkali-kali kucoba telepon lagi, namun hasilnya sama. Kini aku frustasi dan kembali menangis sejadinya. Kuletakkan HPku kasar, kemudian aku bersandar di dinding kamar kos. Dengan mata yang masih berlinang-linang, aku menunggu telepon dari seseorang. Menunggu telepon itu berdering, bukan dari siapa-siapa.


Read more ...

Setitik Cahaya Rembulan

Oleh: Fuad Akbar Adi

Kau itu adalah bumi, tempat di mana kehidupan itu berada. Tempat yang memerlukan cahaya untuk membuat kehidupan itu benar-benar hidup. Kemudian dia datang, seperti matahari yang membawakan sejuta kehangatan dan mampu menyinarimu sepenuhnya. Berbeda denganku, aku selalu mengikutimu namun tak dapat menghangatkanmu, apalagi menyinarimu seutuhnya. Namun, setidaknya aku mampu memberikan setitik cahaya disaat matahari itu meninggalkanmu kala kegelapan datang. Karena aku adalah bulan.

***

Bel sekolah telah berbunyi tiga kali, pertanda kegiatan pembelajaran di sekolah hari ini telah selesai. Setelah dipersilahkan oleh guru, para siswa berhamburan keluar kelas. Wajah-wajah yang tadinya jenuh dan lusuh kini telah terhapus oleh senyum lebar penuh semangat. Aku pun juga demikian. Kaki ini secara tidak langsung terstimulus melangkah dengan ringan dan tanpa beban. Aku berjalan menuju parkiran sekolah mencari seseorang yang telah lama kukenal. Bersiap-siap untuk menebeng pulang seperti biasa. Sesuatu hal yang rutin aku lakukan sejak SMP.

Sesampai diparkiran orang yang aku cari tak kunjung aku temui. Mataku mulai bergerak sterio menyapu ke segala arah. Lama aku menunggu hingga akhirnya ia datang, namun . . .

“Laras. Hah hah hah. Kamu udah lama nunggu ya?” dengan terengah-engah Restu tiba-tiba sudah ada dibelakangku.

“Eh, gak kok. Baru aja. Emmm, kamu mau?” mataku berpindah fokus melihat seorang perempuan berjalan menghampiri Restu.

“Emm, Laras sori banget, hari ini aku gak bisa pulang sama kamu. Aku ada tugas kelompok, mau ngerjain di rumah Clara. Kamu pulang sendiri ya. Gak papa kan?”

Yah, cewek itu lagi. Sudah kuhitung ini adalah yang kelima kalinya Restu tidak pulang bersamaku gara-gara cewek yang bernama Clara itu. Akhir-akhir ini yang aku rasakan Restu telah berubah semenjak berada satu kelas bersama Clara. Hari-hari kami sudah tak seperti biasanya. Aku tak tahu kenapa. Mungkinkah Restu mencintai Clara? Apakah dia lebih memilih perempuan yang baru ia kenal, dari pada aku yang sudah lebih dulu mengenalnya sejak SD? Walaupun aku tak tahu bagaimana perasaan Restu kepadaku, namun kuakui, sebenarnya sudah sejak SMP aku menaruh hati kepada Restu, akan tetapi beginilah takdir malang seorang perempuan yang tak dapat mengutarakan isi hatinya lebih dulu kepada seorang lelaki yang disukai. Hingga sampai sekarang aku masih memendam perasaan cintaku kepada Restu.

“Emmm, gitu ya. Yaudah deh aku duluan ya” ucapku dengan nada berat dan sedikit kesal.

“Hati-hati ras. Maaf ya” Restu cengar-cengir kikuk.

Berbeda dengan saat aku keluar kelas, kakiku sekarang terasa berat untuk kumelangkah meninggalkan mereka berdua. Rasa sakit hati yang tiada tara saat melihat mereka berdua berboncengan dengan mesra meninggalkan aku yang sendirian terluka oleh sayatan tajam yang merobek hatiku. Sungguh menyakitkan. Kali ini benar-benar menyakitkan. Terutama saat teringat senyum penuh kemenangan Clara yang sudah jelas ditujukan kepadaku tadi. Hingga tak kusadari aku terisak lirih dalam perjalanan pulang.

Perasaan galau dan khawatir terus menyelubungi ruang hatiku ini. Aku takut Restu benar-benar akan meninggalkanku karena dia mencintai Clara. Hal ini sangatlah wajar mengingat sosok Clara yang begitu sempurna. Dia cantik, merupakan salah satu primadona di sekolah ini. Ditambah keahlianya dalam bernyanyi dan bermain musik menambah daya pikatnya sebagai seorang perempuan. Hingga banyak lelaki yang berlomba-lomba ingin mendapatkanya, mungkin Restu juga termasuk salah satunya. Andai mereka benar-benar menjadi pasangan kekasih, sudah jelas mereka akan menjadi pasangan kekasih paling sempurna di sekolah ini. Seorang ketua OSIS yang ganteng dengan perempuan cantik yang pandai bernyanyi dan bermain musik. Sedangkan aku? Apa aku? Mungkin hanya kecerdasanku yang dapat bersaing dengan kelebihan-kelebihan dua mahluk hebat yang aku bicarakan ini. Aku adalah penyandang peringkat satu pararel se-SMA dua kali berturut-turut. Modal inilah yang melancarkanku untuk bisa dekat dengan Restu. Tapi, masalahnya akan sampai kapan Restu membutuhkanku dengan kelebihanku yang sedikit ini? Huh, aku kembali galau dan khawatir mengingat kejadian-kejadian yang terjadi antara aku dan Restu akhir-akhir ini.

Semenjak kejadian itu, aku mulai sadar diri. Aku kini tak pernah lagi meminta Restu mengantarku pulang, dari pada nanti ujung-ujungnya sakit hati lagi, lebih baik aku menahan diri. Aku hanya mau pulang dengan Restu bila dia yang mengajakku. Namun, sepertinya hal ini malah dijadikan kesempatan bagi Restu untuk makin dekat dengan Clara dan menjauh dariku. Jangankan mengajakku pulang, yang terlihat kini malah sepertinya dia benar-benar ingin mempensiunkan aku dari tebenganya. Aku mulai pasrah dan realistis. Memang terlalu cepat rasanya untuk menyerah, seharusnya aku tak boleh begini. Aku harus mempertahankan cintaku apapun yang terjadi. Namun? Yasudahlah aku tak tahu.

***

Detik demi detik terus bergulir tak mau berhenti. Kehidupanku di sekolah kini sudah berbeda dengan dulu. Tak ada lagi nama Restu yang biasanya selalu menemaniku melewati hari-hariku dalam menggapai cita-cita. Semuanya telah berubah total. Setelah lebih dari sebulan kedekatan antara Restu dengan Clara, kini mereka telah resmi jadian. Butuh waktu berminggu-minggu untuk diriku memulihkan peresaan ini dari kegalauan dan sakit hati. Walaupun belum sepenuhnya aku dapat melupakan nama Restu yang tiap kali kuingat selalu menggoreskan kembali rasa sakit.

Aku berhenti berharap

Dan menunggu datang gelap

Sampai nanti suatu saat

Tak ada cinta kudapat

Kenapa ada derita?

Bila bahagia tercipta

Kenapa ada sang hitam?

Bila putih menyenangkan

Sebuah potongan lagu dari Sheila On 7 yang berjudul “Aku pulang” menemani lamunanku malam ini saat aku kembali teringat masa-masa indahku bersama Restu. Kubuka lembar demi lembar catatan harianku. Terkadang aku tersenyum dalam tangis saat membaca beberapa cerita lucuku bersama Restu. Apakah dia lupa dengan semua kenangan yang pernah terjadi dulu?

***

Acara Promnight perpisahan sekolah menjadi saat terakhirku sebagai siswa SMA. Setelah ini aku akan derdomisili di Malang untuk kuliah. Aku tak tahu Restu akan melanjutkan kuliah di mana. Aku juga tidak terlalu perduli. Setelah sejak SMP dan SMA bersama, mungkin ini saatnya kami untuk berpisah.

Tak apalah, endingnya seperti ini. Walau tak sesuai keinginanku. Mungkin ini jalan yang harus aku tempuh dalam kisah percintaanku. Semoga ada laki-laki di Malang sana yang lebih baik dari Restu. Dan tentunya mau menerimaku apa adanya.

Aku masih berjalan dalam lamunan, saat acara perpisahan dinyatakan telah selesai. Menuju gerbang sekolah, menanti jemputan dari ayah. Kucuba mengukir senyum di bibirku saat kubalikan badan dan melihat sekolahku untuk terakhir kalinya sebagai siswi di sini. Namun, aku terkejut saat kulihat seseorang berdiri persis di belakangku. Restu?

“Laras. A a aku mau ngomong” Restu nampak belum siap bicara.

“Hmm? Ngomong apa?”

“Maafin aku ras. Aku telah berubah, aku telah nyakitin perasaanmu?”

“Nyakitin? Kamu gak nyakitin aku perasaan”

“Aku udah tahu semua. Aku tahu perasaanmu ke aku. Erin udah cerita semuanya ke aku, ras”

Ha? Erin? Duh, memang gila itu anak. Tidak bisa jaga rahasia. Erin adalah temen sekelasku. Dia sebenarnya anak yang enak diajak bicara. Aku sering sekali curhat dan meminta pendapatnya. Keputusanku untuk melupakan Restu juga merupakan salah satu solusi yang Erin berikan kepadaku. Aku tahu Erin lumayan dekat dengan Restu karena Erin juga dulunya adalah angota pengurus OSIS. Tapi apa motivasinya hingga menceritakan perasaanku yang sebenarnya kepada Restu. Hal ini membuatku menjadi malu dan canggung kepada Restu.

“Aku minta maaf ras. Aku memang bodoh, meninggalkan perempuan yang paling mengenalku dan mencintaiku dengan tulus demi orang lain yang baru kukenal dan ternyata tidak mencintaiku. Aku menyesal ras” Restu menunjukan ekspresi penyesalanya.

“Ternyata tidak mencintaimu? Maksudnya Clara . . .”

“Iya, Clara tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya memanfaatkan ketenaranku sebagai ketua OSIS untuk mendongkrak kepopuleranya di sekolah ini. Dia selingkuh dengan cowok dari SMA lain. Aku juga tak habis pikir bisa-bisanya aku teperdaya semudah itu. Sumpah aku benar-benar menyesal ras. Kamu mau ya maafin aku?”

Sebenarnya aku masih kesal dengan Restu. Enak saja dia dengan mudahnya meminta maaf begitu saja atas semua rasa sakit yang telah dia tusukan kedalam hatiku. Aku benar-benar geram saat itu, ingin rasanya aku tinggalkan dia begitu saja tanpa sedikitpun kata yang terlontar lagi dari mulutku. Namun entah kenapa semua keinginan itu tak jadi kulakukan. Aku tak boleh emosi, kutarik nafas dalam-dalam mencoba berpikir jernih.

“Oh, gak papa kok. Udah tak maafin. Aku duluan ya, udah ditunggu ayah di depan gerbang”

“Laras. Tunggu!”

Aku terkejut. Hatiku bergetar begitu kencang seperti genderang perang, saat kurasakan tangan Restu memegang tanganku dengan erat. Apa yang akan dia lakukan?

“Aku mencintaimu ras. Sebenarnya sudah dari dulu aku mencintaimu. Kau memang bukan perempuan sempurna yang aku idamkan. Namun, ketulusan cintamu membuat hatiku luluh. Jangan tinggalkan aku. Kamu maukan menjadi kekasihku”

What! Apa aku tidak salah dengar? Restu menembakku! Awalnya aku tak percaya dengan semua yang telah terjadi barusan, kucubiti pahaku dengan tangan yang satunya, memastikan bahwa yang terjadi ini bukan mimpi. Ternyata benar ini bukan mimpi. Rasa senang bergelayut dalam hatiku, tetapi aku tak mau begini. Aku tak akan menerimanya. Aku sudah memutuskan jalanku sendiri untuk hidup tanpa Restu lagi.

“Maaf, tapi kesannya kok aku seperti pelarian saja. Aku tidak mau seperti itu. Aku sudah punya keputusan sendiri, tapi maaf sekali lagi aku tak bisa menerimamu”

“Nggak ras, kamu salah paham. Aku tak bermaksud menjadikanmu sebagai pelarian. Bukan itu maksudku”

“Iya, tapi maaf apa pun itu, aku tetap tidak akan menerimamu, itu keputusanku Restu. Aku pergi dulu, semoga kita bisa bertemu lagi”

Sekuat tenaga aku melepaskan genggaman Restu. Aku berlari sambil menahan tangis. Aku adalah bulan, bukan matahari. Cahayaku terlalu redup untuk menyinarimu. Namun,seandainya kau tahu dari dulu. Setidaknya aku mampu memberikan setitik cahaya disaat matahari itu meninggalkanmu kala kegelapan datang. Karena aku adalah bulan.












Read more ...

Pahlawan Sebenarnya

Oleh: Fuad Akbar Adi

Panggil saja aku Raya. Walaupun terlahir dari keluarga sederhana, namun aku termasuk tipe orang yang perfeksionis. Tahu kan perfeksionis itu apa? Semua yang aku rencanakan dan aku lakukan harus sesempurna mungkin. Aku teoritis dan detail. Apa yang aku lakukan harus ada landasanya, harus ada tujuan konkrit, dan tentunya harus bermanfaat bagiku. Aku bahkan telah merencanakan apa yang hendak aku lakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Semua rencanaku detail dan tanpa cacat. Bahkan walaupun rencana itu telah ku anggap sempurna, aku juga masih memiliki rencana cadangan bila rancana utama itu gagal. Istilahnya “Plan B to marking Plan A”.

Hidupku sebagai mahasiswa tidak seindah mahasiswa-mahasiswa lainya. Mereka masih bisa bersenang-senang layaknya kaum muda. Sedang aku? Di saat yang lain sedang asyik pacaran malam-malam di kampus, aku semalaman mengerjakan tugas. Kalau tidak ada tugas, aku malah membuat tugas sendiri dan tentunya akan aku kerjakan sendiri. Aku selalu bangun pagi, karena aku harus belajar menguasai materi yang akan dibahas nanti saat perkuliahan. Supaya dosen memandangku, supaya aku menjadi anak emas dari dosen-dosen. Semua teman sekelas sangat menghormatiku, tentunya karena kepintaranku. Dan aku bahagia dengan itu semua.

Selama hidupku, aku baru sekali berpacaran. Mungkin kerena aku terlalu pilih-pilih soal pria. Aku tak tahu sudah berapa cowok yang aku tolak karena menurutku dia tidak pantas untuk bersanding denganku. Namun tak apa, lebih baik begini. Lebih baik aku jomblo lama dari pada aku punya pacar yang tidak sesuai dengan tipeku. Aku pun juga tahu banyak teman-teman pria dikelasku yang menaruh hati kepadaku. Bukan karena aku kepedean, tapi memang itulah yang aku tangkap dari kacamataku mengenai gelagat mereka yang sudah jelas menaru hati kepadaku. Salah satu yang mencolok bernama Bram. Bram orangnya sungguh “Nggak banget”. Secara tampang dia termasuk di atas rata-rata dengan lesung pipi manis dan kacamatanya, muka seperti itu tipeku banget. Namun sikapnya itu yang membuatku illfeel. Selain bicaranya ngapak karena dia orang Tegal, dia juga susah diajak bicara. Sama sekali tidak nyambung saat aku ajak bicara. Gayanya yang sok cool padahal norak membuatku tambah enek. Akan tetapi, walaupun begitu dia orangnya sangat baik. Dia selalu bisa diandalkan saat situasi genting terjadi padaku. Misalnya saja saat aku sakit dan ada banyak tugas perkuliahan yang tak dapat aku kerjakan, dialah yang mengerjakan semua tugasku. Walaupun hasilnya amburadul tapi lumayanlah dari pada aku tidak mendapat nilai sama sekali.

Suatu malam, dia datang ke kosku. Apa boleh buat, walaupun dia telah mengganggu waktu belajarku tapi karena dia tamu, aku sebagai tuan rumah harus melayaninya dengan baik.

“Kamu tuh datang ke sini nggak bilang-bilang. Aku kan mau belajar” ucapku kesal.

“Hehe, maaf-maaf Ray, cuman sebentar aja kok. Aku cuman pengenn ngobrol bentar ma kamu” jawabnya polos

“Duh kurang kerjaan banget kamu, yaudah mau ngobrol apa?”

Dia pun memulai percakapanya. Ah, sialan banget. Mendengar nada pembicaraanya saja aku sudah pusing, bener-benar medok banget. Ingin pinsang rasanya kalau lama-lama di sini. Kuhanya mengangguk-ngangguk saja padahal tidak paham dengan apa yang dia maksud. Satu jam kemudian, dengan halus aku usir dia pulang.

“Eh, Bram kamu nggak ngantuk ya? Aku sudah ngantuk banget nih”

“Ha? Baru jam setengah Sembilan sih. Emmm, yaudah aku pulang dulu ya takut ganggu.”

Apa’an takut ganggu? Udah ganggu dari tadi kali. Setelah itu diapun bergegas pulang. Huh, lega rasanya akhirnya aku tidak jadi pingsan. Aku masuk ke kamar dan kembali belajar sampai jam 12 malam.

Selasa neraka. Hari ini aku kuliah jam 9 pagi, namun tak seperti biasanya badanku capek sekali. Mungkin kerena aku jarang tidur. Saat kuliahpun aku tak sefokus biasanya. Nafasku mulai sesak, kepalaku pusing. Aku takut kalau sakit jangtungku kambuh lagi. Karena aku memang mengidap lemah jantung dari dulu. Sekarang jam di tanganku sudah menunjukan pukul 12 siang. Untuk saat ini aku mungkin msih sanggup bertahan mengikuti perkuliahan, namun aku tak tahu akan sampai kapan, mengingat jadwal hari ini full sampai jam 3 sore.

Panas matahari yang terik ini sangat terasa sekali menembus bening jendela-jendela kelas. Ditambah AC kelas sedang rusak. Sungguh semua kondisi ini benar-benar mendukung sekali untuk membuatku pingsan. Semakin lama pusing di kepalaku makin terasa. Pandanganku mulai pudar, pudar, dan tiba-tiba gelap seketika.

Aku tak tahu apa yang barusan terjadi, tiba-tiba sekarang aku sudah ada di rumah sakit. Sepertinya aku tadi pingsan dan tak sadarkan diri. Kulihat di sekeliling teman-teman cewek kelasku sudah ada di sampingku. Merasa tersenyum dan terlihat lega melihatku sudah siuman. Kutanya apa yang terjadi. Ternyata tadi aku pingsan di kelas dan langsung di bawa ke rumahsakit. Aku baru tahu ternyata aku pingsan lama sekali. Aku pingsan dari jam 12 sampai jam 4 sore, sehingga teman-temanku ini dapat menjengukku seusai pulang kuliah. Kukira merekalah yang membawaku ke sini. Lalu, kalau kalian masih tetap kuliah saat aku pingsan, terus yang membawaku ke rumah sakit ini siapa? Lantas akupun menanyakan perhal itu kepada teman-temanku.

“Oh, yang bawa kamu ke sini Bram, Ray. Saat dia tahu kamu pingsan, dia langsung membopongmu menuju ke Unit kesehatan kampus. Namun, pihak unit kesehatan tidak sanggup menanganinya karena alat medis yang dibutuhkan untuk kondisi kamu nggak ada. Terus nyaranin suruh bawa ke rumahsakit aja. Yaudah, Bram langsung pinjem mobil Pak Aziz dan mengantarmu ke sini” jawab Silvi teman dekatku.

“Apa? Jadi yang membawaku ke sini Bram? Terus mana orangnya?”

“Oh, gak tahu tuh sekarang, tadi saat kami tiba di sini dia masih duduk di depan pintu ruangan ini. Lalu, saat kami masuk dia minta izin, katanya mau makan dulu”

Aku tak menduga, ternyata Bram yang telah menolongku. Aku merasa bersalah dan menyesal atas sikapku tadi malam. Dia memang sangat baik dan selalu bisa diandalkan saat kondisi-kondisi kritis menimpaku. Dia bak pahlawan dalam hidupku. Duh, ngomong apa aku barusan? Bram, pahlawan hidupku? Sialan. Apa boleh buat memang itu kenyataanya, aku harus mengakui itu. Sekarang, aku mulai memandangnya lebih dari cowok-cowok lainya.

Aku baru diperbolehkan kembali pulang tiga hari kemudian. Aku harus diopname dulu di rumahsakit. Orangtuaku tak dapat menjengukku karena ada banyak urusan di rumah, mereka hanya mentransferi uang untuk biaya rumahsakit. Akhirya Bramlah yang selalu setia menjenguk dan merawatku saat di rumahsakit. Dan, hari ini dia sudah menungguku di depan pintu kamar tempat aku dirawat, karena dia akan mengantarku pulang ke kos. Aku berjalan didampingi suster rumah sakit. Setelah bertemu Bram, aku tersenyum tipis kepadanya dan dia membalas dengan senyum lebar sumpringah.

“Oh, sudah ditunggu pacarnya ya mbak?” dengan sotoynya suster tadi ceplas-ceplos.

“Ha? Eee eeemm iiiinniiii” gelagapan sambil cengar-cengir aku mencoba menjawab.

“Nggak kok sus, masih temen” tiba-tiba Bram memotong pembicaraanku.

Apa maksudnya Bram dengan dua kata terakhirnya “Masih temen”? apakah dia mempunyai niatan untuk memacariku? Sumpah, tak kuduga dia bakal senekad itu. Dalam perjalanan pulang, kami menjadi canggung berkat suster sotoy tadi. Bram mengantarku ke kos menggunakan sepeda motornya. Hanya dalam waktu lima belas menit aku sudah sampai di kos, kuucapkan terimaksih yang sebanyak-banyaknya kepada Bram. Entah, bagaimana kondisiku saat ini jika tidak ada Bram. Dengan senyum lebar, Bram pamit pulang dan berlalu begitu saja.

Sekarang aku jadi dilema. Sepertinya lama kelamaan aku juga menaruh hati kepadanya. Dia baik banget. Kini benih-benih cinta sepertinya mulai tumbuh dan sebantar lagi akan bersemi di hatiku. Aaaaaa, tidak! Kenapa aku sekarang memikirkan Bram terus. Apa jadinya jika seorang Raya, perempuan perfeksionis dan primadona kampus berpacaran dengan Bram, anak culun dan tidak terkenal sama sekali. Semalaman aku tidak belajar sama sekali karena memikirkan hal ini. Aku takut. Aku takut jika tiba-tiba Bram menembakku. Aku bingun harus menerima atau menolaknya, jika hal itu benar-benar terjadi.

Seminggu setelah aku kembali dari dari rumahsakit, Bram tak kunjung menembakku, yang ada malah hubungan kami menjadi agak renggang, Tak tahu kenapa, sepertinya sekarang dia sudah sadar tak mungkin bisa mendapatkanku. Namun bukanya bersyukur, hal ini malah membuat hatiku kecewa. Aneh memang, dengan apa yang terjadi pada diriku saat ini. Seorang Soraya Inestefiana menjadi kehilangan akal sehatnya gara-gara Bramastasya Kuncoro. Secara tidak langsung memang aku mengharapkan Bram. Aku mengharapkan dia menembakku, namun aku masih dilema apakah harus menerima atau menolaknya. Sudah gila kan aku?

Karena stress dengan kondisiku seperti ini, aku mencoba kembali fokus dan menjalani hari-hariku seperti biasa, walaupun aku masih bertanya-tanya kenapa Bram tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Sekarang sudah hampir ada sebulanan malah. Namun, bukanya aku membaik malah membuatku semakin kepikiran Bram terus. Hanya ada Bram di otakku saat ini. Semua makul luntur satu demi satu dari otakku. Tak tau sepertinya semester ini IPku bakal jeblok. Kini akhirnya aku sadar. Harus kuakui, aku telah mencintai Bram. Sekali lagi aku tegaskan. Aku mencintai Bram.

Kini Raya tidak lagi seperti dulu. Kini Raya mulai fleksibel dan realistis. Kini Raya mulai sedikit lebih santai, tidak terlalu pakem. Kini aku berubah, menjadi sedikit lebih baik agaknya. Berkat Bram, dia telah mengubah hidupku. Bram adalah pahlawan hidupku. Walaupun aku tak tahu apakah selamanya dia akan menjadi pahlawan hidupku. Walaupun aku tak tahu apakah dia pahlawan sebenarnya.

Seperti biasa, hari Selasa adalah neraka. Jadwal yang sangat padat. Setelah berakhirnya mata kuliah pertama, kusempatkan mampir ke kantin kampus karena perutku yang sudah keroncongan efek belum sarapan. Aku makan bersama dengan Septi dan Dita. Dua cewek paling gendut di kelasku. Mungkin walaupun aku ada sepuluh, jika berat badanku di timbang dengan mereka berdua sepertinya aku masih kalah berat. Jarang-jarang aku bergaul dengan dua orang tidak penting ini, kaluu bukan karena nasehat dokter agar aku tidak telat makan lagi, aku pasti tidak akan sudi makan bertiga dengan mereka.

Saat aku ssedang asyik makan, tiba-tiba jantungku kembali tak dapat berdetak. Bukan karena sakit jangtungku kambuh. Melainkan . . .

Apa yang aku lihat ini? Apakah benar-benar nyata? Aku melihat Bram berjalan dengan seorang perempuan lain dan kini mereka duduk bersama di kantin memesan makanan? Dengan gigi bergetar dan nafas tak karuan aku mencoba mengontrol emosiku. Aku mencoba rileks dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tak mau kalau kedua Brontosaurus di sampingku ini tahu, gunung Krakatau akan meletus di hatiku.

“Heh, Sep Dit. Itu Bram sama cewek, siapa ya? Kamu tau gak? Kok aku gak pernah liat” tanyaku dengan memasang muka sesantai mungkin.

“Yah hahaha, makanya jangan mikirin tugas mulu. Sekali-kali gossip kek” Septi malah menceramahiku.

“Oh, itu Ray. Masak kamu gak tau? Dia kan pacarnya Bram. Baru dua mingguan kayaknya mereka jadian” jawab Dita polos.

Pisau! Pisau mana pisau? Ingin rasanya jangtung ini aku hujam dengan belati perak, agar tubuhku hangus seperti vampire yang akan hangus tubuhnya jika dilukai dengan benda berlapis perak. Namun, aku bukan vampire. aku tak suka menggigit leher dan menghisap darah manusia. Akan tetapi, untuk saat ini, aku ingin sekali menggigit leher Bram dan menghisap habis darahnya hingga yang tersisa tinggal tulang yang dibungkus daging dan kemudian dia mati. Ah, sungguh sakit sekali. Benar-benar menyakitkan.

Semenjak saat itu, kuputuskan untuk menghapus semua yang berbau Bram. Aku tak mau mengingatnya lagi. Dia telah membuat hatiku hancur, berserakan dalam sampah kehampaan. Aku sedih dan menangis di kamar.

Akan tatapi ada hikmah yang kupetik dari kisahku dengan Bram. Aku tak mau menjadi orang yang sombong lagi, aku tak akan menganggap remeh setiap orang. Buktinya kini, aku bahkan sampai sekarang tak percaya bahwa hatiku telah di sakiti oleh seorang yang dulunya kuanggap culun dan sama sekali tak terkenal. Hidupku kini berjalan lebih indah dari yang semestinya, walaupun hal itu dapat terjadi dengan berawal dari sebuah rasa sakit yang menimpaku. Namaun aku senang dengan kehidupanku sekarang. Walaupun IPku tak setinggi yang dulu, namun aku senang dan lebih merasa puas karena aku bukan saja dapat menguasai teori absolute namun juga teori moral. Terimakasih Bram, terimakkasih untuk semuanya.


Read more ...

Sang Pembawa Cinta

Oleh: Fuad Akbar Adi

“Tak penah kupikirkan dan tak pernah kubayangkan aku akan mencintai orang seperti ini”. Mungkin itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan kisah cinta Adi, seorang playboy yang sudah jenuh berpacaran.

Adi memang terkenal dengan sifatnya yang sering bergonta-ganti pacar saat SMA, namun semua itu ternyata membuat jenuh dirinya sendiri. Dia merasa bosan dengan semua perempuan yang pernah di pacarinya ada sesuatu yang belum dia dapatkan dari pacar-pacarnya sesuatu yang sulit diucapkan dengan kata-kata bahkan dirinyapun tidak tahu apa yang kurang dari semua ini. Dia tidak tahu dan tidak akan menduga kapan cinta sejati itu datang, dimana datangnya, dan siapa yang membawa cinta sejati itu. Hingga akhirnya dia berpikir untuk berhenti berpacaran dan hanya akan fokus untuk menggapai cita-citanya. Adi sekarang melanjutkan studinya di salah satu Universitas ternama di Semarang.

Namun disaat dia mencoba untuk melupakan pacaran, dia malah dipertemukan dengan seorang perempuan. Seseorang yang akhirnya bisa memberikan semua apa yang dia cari yang selama ini tidak bisa dia dapatkan. Seseorang yang akan membawa cinta sejati untuknya.

Semua bermula saat Adi menjalani masa-masa pertamanya kuliah yaitu saat masa perkenalan Universitas. Disini dia mendapatkan banyak teman baru dan salah satu teman itu bernama Bita. Jika dilihat sepintas Bita hanyalah gadis manis dengan tingkahnya yang periang dan berwajah polos sama seperti pacar Adi yang sebelum-sebelumnya dan itu sama sekali tidak membuat Adi tertarik kepada Bita. Namun dibalik itu semua ada sesuatu yang saat ini Adi belum tahu yang ada pada diri Bita.

Walau belum lama mereka saling mengenal namun Adi dan Bita sudah sangat akrab, maklum ternyata mereka berasal dari kota yang sama yaitu kota yang terkenal dengan julukan Kota Batik. Adi sering curhat kepada Bita tentang kisah cintanya yang rumit namun karena Bita tidak terlalu berpengalaman soal masalah cinta, Bita tidak bisa memberikan solusi serius untuk memecahkan masalah Adi.Bita hanya bisa menyarankan Adi untuk jalan-jalan supaya pikiran dan hatinya dapat terhibur. Walau solusi yang diberikan Bita sebenarnya hanya bersifat sementara namun Adi berpikir tidak ada salah untuk mencoba.

Akhirnya suatu hari Adi mengajak jalan Bita pergi ke Simpanglima karena saat itu sedang ada acaracar free day di Simpanglima. Walau sempat ragu, namun Bita akhirnya menyetujui ajakan Adi. Mereka berangkat ke Simpanglima menggunakan motor karena jarak Universitas mereka dengan pusat kota cukup jauh. Sepanjang perjalanan mereka saling bercerita tentang keluarga mereka. Bita adalah seorang perempuan yang terlahir dari keluarga yang religius dan sangat protektif kepadanya. Sudah sejak SMP, Bita memutuskan untuk berhijab dan sampai sekarang tidak pernah melepaskan jilbabnya kepada mereka yang bukan muhrim termasuk kepada Adi serta sejak kecil Bita sudah dibiasakan untuk tidak boleh berbohong kepada orang tua bahkan walaupun sekarang dia sudah jauh dengan orang tuanya namun jika dia akan pergi-pergi jauh di Semarang dia sempatkan pamit kepada orang tuanya lewat SMS. Bita juga bercerita kepada Adi bahwa dia sangat tidak suka dengan perempuan yang suka memamerkan kecantikanya di jejaring sosial karena perbuatan itu sebenarnya dilarang oleh agama.Itulah yang lama-lama membuat Adi kagum pada sosok Bita, dia baru sadar bahwa selama ini dia tidak pernah berpacaran dengan perempuan berhijab dan dia sering berbohong kepada orang tuanya .

Sesampainya di Simpanglima Adi mengajak Bita makan roti bakar, Bita sangat gembira karena Adi ternyata akan mentraktirnya. Saat mereka berdua sedang asyik makan terlintas dipikiran Adi untuk menanyakan apakah sebelumnya Bita pernah pacaran, segera Adi menanyakan hal tersebut. Wajah Bita langsung tampak terkejut saat Adi melayangkan pertanyaanya namun apa boleh buat Bita harus menjawabnya. Sebenarnya Bita baru dua bulan putus dengan pacarnya, padahal mereka sudah berpacaran selama tiga tahun namun tidak ada tanda-tanda galau disetiap aktifitas Bita yang pernah dilihat Adi. Adi semakin penasaran dan kembali menanyakan kepada Bita alasanya putus dengan pacarnya, namun kali ini Bita tidak terpancing dengan pertanyaan Adi dan hanya menjawab “Apa boleh buat ad, sudah terlanjur terjadi yang lalu biarlah berlalu sekarang saatnya kita jalani kehidupan yang baru. Ayo semangat move on ad!” Bita menyemangati Adi. Adi hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada Bita, setelah itu mereka tidak lagi membicarakan masalah cinta mereka yang dulu karena secara tidak langsung mereka sedang menjalani proses move on bersama-sama.

Semakin lama kedekatan mereka semakin erat, mereka sering berangkat kuliah bersama karena kost mereka satu arah tujuan ke kampus. Bita juga sering mengajak Adi puasa senin kamis supaya mendapat pahala sekalian menghemat pengeluaran. Meskipun agak malas namun Adi menyanggupi ajakan Bita karena jika mereka puasa bersama, Adi bisa punya alasan mengajak dinner bita dengan alasan buka puasa bersama.Sehabis dinner (buka puasa bersama) Adi sering mengajak bita jalan-jalan mengelilingi Universitas mereka maklum Bita jarang keliling Universitas karena tidak ada kendaraan.

Hubungan ini terus berjalan hingga mereka telah sampai pada semester tiga. Bahkan orang tua Bita juga sudah mengenal Adi karena Bita sering pulang kampung bersama Adi. Orang tua Bita menyambut ramah keberadaan Adi, karena memang Adi sudah biasa menarik perhatian orang tua dari perempuan yang dikenalnya maklum Adi adalah mantan play boy kelas kakap jadi masalah menjaga image adalah hal yang mudah bagi Adi. Namun dalam hubungan mereka tidak selalu berjalan lancar, Bita adalah seorang perempuan dari keluarga baik-baik jadi dia tidak suka dengan laki-laki perokok sedangkan Adi adalah perokok aktif sejak ia SMP. Itulah sebabnya yang kadang membuat Bita enggan bersama Adi akan tetapi dia belum berani melarang Adi berhenti merokok karena dia memang tidak punya hak untuk mengusik kebebasan Adi. Namun sebenarnya Bita sudah memiliki rencana untuk mengubah Adi dari ketergantungan walaupun ia tidak tahu kapan bisa mawujudkan rencananya itu.

Sudah sekian lama setelah lulus SMA Adi tidak pernah lagi merasakan pacaran, sekarang pemikiranya sudah agak berbeda menurutnya pacaran itu hanya akan membuat kita tidak bebas hidup serba dibatasi tidak boleh dekat dengan siapa saja kita juga harus selalu menjaga sikap kita itulah yang membuat Adi betah untuk terus vakum berpacaran ditambah dia sekarang punya Bita sahabat yang selalu ada disaat suka ataupun duka.

Namun terkadang kita tidak pernah menduga kapan cinta sejati itu datang, dimana datangnya, dan siapa yang akan membawa cinta sejati itu. Mungkin itulah yang lama-lama dirasakan Adi, sepertinya di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia sudah jatuh cinta kepada Bita sahabatnya sendiri. Adi seakan tidak mau kehilangan Bita, itu dapat dirasakan saat ia merasa cemburu jika ada seseorang laki-laki yang ingin dekat dengan Bita entah mengapa Adi merasa begitu tapi sepertinya dia benar-benar telah jatuh cinta kepada Bita. Di sisi lain Bita juga menaruh perasaan yang sama terhadap Adi, tidak tahu kenapa hatinya selalu merasa sakit saat melihat diakun jejaring sosial bahwa Adi sering chattingan dengan perempuan-perempuan lain. Hingga suatu saat ketika mereka sedang duduk ngobrol bersama di depan gerbang kampus mereka, Adi mengutarakan sedikit isi hatinya walaupun sifatnya hanya gombal semata. Adi berkata kepada Bita sesudah Bita tersenyum karena lawakan Adi “ Ternyata kalau kamu tersenyum manis juga ya Bita” sambil tersenyum dan mengedipkan satu matanya kepada Bita. “Terus kenapa emangnya? Kalau senyumku manis“ tanya Bita dengan wajah penasaran, dengan sedikit bercanda Adipun menjawab “Ya, gak apa sih. Tapi jangan keseringan senyum didepanku nanti lama-lama aku bisa suka sama kamu“. Namun tidak disangka-sangka oleh Adi, Bita malah menjawab bercandaan Adi dengan serius. “Kok malah bilang gitu. Kenapa kamu gak berencana buat memiliki senyum ku sekalian“. Suasanapun berubah menjadi hening, Adi menjadi bingung untuk menjawab apa. Sampai akhirnya ia diselamatkan oleh suara dering Hpnya, Adi langsung bergegas mengangkat telepon yang ternyata dari temanya. Hal itu dijadikan Adi untuk alasan mengalihkan pembicaraan dengan Bita, Adi mengatakan pada Bita bahwa dia ditunggu temanya untuk mengerjakan tugas perkuliahan. Pembicaraan hari itupun berakhir, namun semuanya tidak sia-sia setidaknya Adi sudah tahu bahwa Bita juga menaruh perasaan yang sama dengannya. Hal ini membuat Adi semakin kasmaran kepada Bita dan Adi sudah memikirkan strategi untuk bisa mendapatkan Bita.

Beberapa hari sesudah kejadian di depan gerbang kampus, Adi terus saja masih memikirkan kejadian itu. Walaupun sudah mendapat isyarat dari Bita namun tidak tahu kenapa Adi seperti tidak punya mental untuk menembak Bita karena memang sulit menerjemahkan isi hati Bita, dia berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah Adi kenal sebelumnya. Malah yang sekarang terjadi hubungan mereka menjadi renggan dikarenakan Adi terus berusaha menjauh dari Bita, dia masih gerogi dengan Bita sehingga dia memilih untuk tidak terlalu banyak berhubungan dulu. Namun ternyata jalan keluar masih ingin dekat dengan Adi, teman dekat Bita sejak SMA yaitu Nindi mengetahui apa yang sedang terjadi antara Adi dan Bita. Akhirnya Nindi bercerita kepada Adi bahwa suatu saat dia tidak sengaja melihat buku diary Bita yang salah satu isi buku itu adalah sang empunya sedang jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang bernama Adi. Hal ini sontak membuat Adi senang dan membuatnya percaya diri untuk menembak Bita.

Hanya dalam satu malam Adi sudah berhasil menyusun kata-kata yang akan digunakanya untuk menembak Bita. Akhirnya esok harinya Adi mengajak Bita ketemuan di depan masjid dekat kampus mereka. setelah sekian lama berbasa-basi Adi langsung mengutarakan isi hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada Bita dan ingin menjadikan Bita sebagai kekasihnya. Seketika itu Bita langsung gelagapan karena memang semuanya berjalan dengan tiba-tiba, sejenak dia diam dan berpikir walau sebenarnya di dalam hati sudah menerima Adi namun dia tidak mau terlihat gampangan. Akhirnya dia ingat bahwa dia pernah berencana untuk mengubah Adi dari kecanduanya dengan rokok. Hal itulah yang kemudian dijadikan sebagai senjata jika dirinya akan menerima Adi namun dengan satu syarat, Adi harus berhenti merokok. Meskipun sulit dilakukan Adi namun karena sudah terlanjur cinta kepada Bita Adipun ingin membuktikan kepada Bita bahwa dia sungguh-sungguh mencintainya dan kesepakatan terjadi antara keduanya yaitu mulai detik ini mereka resmi berpacaran dan mulai detik ini pula Adi berjanji untuk mencoba berhenti merokok.

Hari-hari mereka selanjutnya semakin mengasikan. Sekarang Adi sudah berhenti merokok sepenuhnya berkat kampanye anti rokok ala Bita. Dua anak manusia ini seperti tidak pernah terpisahkan selalu bersama-sama seperti perangko saja yang membuat iri orang-orang yang melihatnya. Hubungan percintaan mereka terus berlanjut sampai lebih dari setengah tahun. Sebelum sebuah badai datang menghampiri mereka.

Selama berpacaran dengan Adi untuk pertama kalinya Bita berbohong kepada orang tuanya bahwa dia tidak punya pacar di kampus. Bita tidak ingin orang tuanya semakin protektif dengannya dan membatasi hubunganya dengan Adi. Namun hal ini malah menjadi bumerang bagi Bita. Suatu saat ketika sahabatnya Nindi pulang kampung dan bertemu dengan orang tua Bita, Nindi menyempatkan bercerita bahwa Bita sudah berpacaran dengan Adi lebih dari setengah tahun. Sontak hal ini membuat terkejut dan marah orang tua Bita karena baru pertama kalinya Bita berani berbohong kepada orang tuanya. Langsung saja orang tua Bita meminta konfirmasi kepada Bita tentang hubunganya dengan Adi. Bita bingung untuk menjawabnya kali ini dia tidak mau berbohong lagi dengan orang tuanya. Akhirnya Bita terus terang kepada orang tua bahwa dia telah berpacaran dengan Adi dan meminta maaf kepada orang tuanya. Namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur orang tuanya sudah terlanjur marah terutama mamahnya, Bita sudah membuat mamahnya kecewa berat. Hingga mamahnya memutuskan untuk melarang Bita pacaran saat kuliah di Semarang dan meminta Bita putus dengan Adi.

Kejadian ini membuat Bita menjadi galau berat memang ini bukan sepenuhnya kesalahan Nindi yang menceritakan hubunganya dengan Adi karena Nindi memang tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Bita sangat bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya kepada Adi, ia takut kalau Adi marah dan akan menjauhinya. Padahal saat ini hubungan Adi dan Bita sudah sangat kuat mereka telah menemukan kemistrinya masing-masing mereka telah menjalani masa penyesuaian yang lama hingga mereka telah mencapai puncak hubungan mereka yaitu bahwa cinta antara mereka adalah cinta sejati. Hal ini yang sangat ditakuti oleh Bita, apa yang akan terjadi jika hubungan ini harus berhenti seperti ini. Namun apa boleh buat Bita tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak orang tuanya. Esok harinya Bita SMS Adi bahwa ada hal penting yang ingin dibicarakan. Seperti biasa mereka ketemuan di tempat favorit mereka. Adi berjalan menemui Bita dengan wajah penasaran dia seperti sudah menduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres diantara mereka. Tanpa basa-basi Adi langsung menanyakan Bita tentang maksud dan tujuanya. Namun saat itu juga Bita langsung menangis sejadinya, Bita benar-benar tidak kuat untuk mengatakannya kepada Adi. Adi mejadi semakin bingun dengan apa yang terjadi ia berusaha menenangkan kekasihnya akan tetapi Bita malah menghindar dan ia mengatakan bahwa sebaiknya kita putus saja.

Sontak perkataan itu membuat Adi sangat kaget. Jantungnya serasa telah berhenti berdetak, seakan-akan bom waktu yang sudah lama tertanam dihatinya meledak dan menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping. Adi belum bisa merespon apa yang sudah di ucapkan kekasihnya itu, dia belum bisa menerima apa yang sedang terjadi sekarang dia hanya bisa terdiam sambil berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk semata. Namun harapan Adi sia-sia karena yang terjadi kini memang kenyataan. Sambil menatap perempuan yang sedari tadi menangis di depanya, Adi mulai membuka mulutnya. Ia meminta penjelasan kenapa Bita memutuskan hubungan mereka, dengan terbata-bata Bita berusaha menjelaskan semuanya kepada Adi. Bita memulai penjelasan dari awal saat Nindi bercerita kepada orang tuanya hingga orang tuanya memutuskan untuk meminta dirinya memutuskan hubunganya dengan Adi. Tidak ada jawaban lagi dari Adi sepertinya dia masih Shock dan belum bisa berpikir normal. Namun Bita tak tinggal diam ia berusaha menghibur Adi. Bita berkata kepada Adi “Jika kita memang jodoh, Allah pasti akan mempersatukan kita lagi yang. Aku percaya hal itu kok, aku akan terus berdoa semoga kita bisa disatukan lagi .Kamu jangan sedih gitu, aku nggak mau lihat kamu sedih yang”. Namun semua itu tetap tidak akan bisa membuat Adi tegar, dia tetap saja diam seribu bahasa. Sehingga membuat Bita semakin sedih dan bingung harus malakukan apa supaya Adi bisa tegar menghadapi ini semua. Hingga akhirnya terlintas dipikiran Bita sesuatu yang menurutnya bisa membuat Adi tidak sedih lagi walau ide ini akan mengorbankan perasaanya. Akhirnya dengan terbata-bata Bita berkata kepada Adi “Baiklah aku juga gak mau egois, jika kamu tidak mampu menungguku gak apa kok. Aku iklas kalau kamu punya pacar lagi tapi kamu janji ya jangan ngelupain aku”. Akan tetapi Adi malah marah kepada Bita. ”Maksud kamu tuh apa? Aku gak mungkin bisa ngelupain kamu, kamu adalah cinta sejatiku cuman kamu yang bisa membuatku berhenti merokok sudah banyak cewek yang melakukan hal yang sama denganmu tapi hanya kamu saja yang berhasil melakukanya itu berarti kamu memang istimewa di hatiku” Ujar Adi dengan wajah yang mulai memerah. Adi kembali meneruskan ucapanya “Aku gak setega itu yang, lebih baik aku menjomblo selamanya dari pada aku membuatmu semakin sedih, aku tahu ini memang berat buat dijalanin tapi akan aku coba walaupun hubungan kita telah selesai tapi kita masih bisa berteman kan? Hingga tiba saatnya aku bisa meyakinkan orang tuamu“. Ucapan itu membuat Bita menjadi terharu atas cinta dan kesetiaan Adi, diapun setuju dengan usulan Adi, hubungan mereka memang telah putus namun itu hanya formalitas saja di dalam hati mereka hubungan Adi dan Bita tetap sebagai sepasang kekasih.

Hari-hari mereka sekarang memang sudah berbeda dengan hari-hari sebelumnya terasa sedikit berat dan tidak seindah dulu lagi. Ternyata walaupun mereka telah berjanji akan selalu bersama meskipun hubungan mereka telah selesai namun memang sulit untuk melaksanakanya karena sekarang ikatan mereka sudah tidak ada lagi dan godaan-godaan dari orang ketiga membuat ada jarak yang mulai terasa diantara hubungan mereka. Jarak diantara mereka semakin lama semakin terasa ditambah dengan kesibukan masing-masing membuat mereka jarang bertemu.

Keadaan ini terus berlanjut hingga merereka telah mencapi semester tujuh dimana mahasiswa sudah jarang berada di kampus dan lebih banyak melakukan kegiatan dirumah. Adi dan Bita kini sedang berada di Pekalongan menghabiskan waktu bersama keluarga sambil menyicil tugas-tugas perkuliahan. Kesepian terus menggerogoti hati Adi dia sangat rindu kepada Bita namun dia tidak tahu bagaimana cara melepas kerinduanya. Pernah terlintas dalam pikiranya untuk mencari pengganti Bita namun entah kenapa bayang-bayang Bita tidak dapat dihapus dan seakan tidak mau pergi dalam pikiranya. Dia teringat pada sebuah puisi yang ada pada pembukaan novel Kesatria, Putri, & Bintang jatuh karya novelis ternama Dee yang saat ini sangat cocok untuk menggambarkan perasaanya sekarang.

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak

berujungku mengenal hidup.

Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku

dalam cinta tak bermuara.

Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama

di cakrawala aksara.





Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam

ketidakmengertian.

Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini.

Mencintaimu.



Entah kenapa.




Disaat suasana semakin membosankan Adi teringat dengan suatu tanggal dimana tanggal itu sangat istimewa bagi Adi dan mungkin juga bagi Bita. Ternyata itu adalah tanggal 1 November dimana Adi dan Bita resmi berpacaran dua tahun yang lalu dan tanggal itu jatuh pada besok. Sempat dipikiran Adi untuk melupakan kenangan itu namun semuanya sirna saat Adi melihat foto-foto kenanganya bersama Bita yang sengaja belum dia hapus di dokumen laptopnya. Perasaan cinta yang telah terkikis oleh waktu muncul kembali saat sebuah foto sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk bersama didepan gerbang utama universitas dengan senyum bahagia muncul di layar LCD laptop Adi. Adi hanya bisa tersenyum melihat foto itu. Hingga terlintas dipikiranya untuk membuat duplikat foto itu melalui lukisan dan memberikanya kepada Bita.

Tidak perlu berpikir lama Adi langsung mengambil pensil dan kertas serta peralatan melukis lainya. Walau Adi memang bukan seorang pelukis profesional dan hanya berbekal pengetahuan dasar tentang melukis yang diajarkan saat SMA namun Adi tidak perlu waktu lama untuk menyelesaikan lukisanya hanya sekitar tiga jam lukisan Adi sudah selesai meskipun tidak terlalu mirip namun sudah cukup bagi Bita untuk mengetahui bahwa itu adalah lukisan dirinya dengan Adi. Keesokan harinya pagi-pagi sekali Adi sudah bangun dan bersiap-siap bergegas menuju ke rumah Bita. Segera ketika sang surya dengan gagahnya telah manampakan wujudnya Adi langsung tancap gas dengan menggunakan sepeda motornya. Jarak antara rumah Adi dan Bita tidak terlalu jauh hanya sekitar 15 menit sudah sampai. Akan tetapi 10 meter sebelum Adi sampai ke rumah Bita, terjadi sesuatu yang mengerikan, saat Adi melewati perempatan dekat rumah Bita, sebuah mobil cold melaju dengan cepat di sisi jalan yang lain. Adi sepintas bisa melihat mobil cold yang melaju dengan sangat cepat namun Adi memilih terus malaju karena menurut perkiraanya mobil cold itu masih berada pada jarak yang cukup jauh. Namun ternyata perkiraanya salah mobil cold itu malah semakin mempercepat lajunya dan sang sopir kehilangan kendali. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi, mobil itupun menabrak Adi walau Adi sebenarnya sudah mencoba menghindar namun dia kalah cepat. Seketika Adi terkapar dan tidak sadarkan diri. Sontak seluruh warga kaget dan berbondong-bondong menuju TKP termasuk Bita dan keluarganya. Awalnya Bita tidak tahu kalau sang korban adalah Adi karena saat itu Adi sudah dievakuasi kerumah sakit. Akan tetapi motor dan lukisan foto Bita masih ada di TKP. Saat Bita dan mamahya sudah berhasil mendekat ke TKP sontak Bita menjerit histeris karena dia hafal betul bahwa motor yang tergeletak dijalan itu adalah motor milik Adi, motor yang menjadi saksi bisu saat masa-masa indah mereka berpacaran dulu. Ditambah saat Bita melihat sebuah lukisan foto yang disitu nampak dua wajah yang tidak asing bagi Bita dan di bawah kedua wajah itu ada tulisan 1 November 2013-selamanya. Tangisan Bita semakin menjadi-jadi disampingnya mamah Bita mencoba menenangkan anaknya namun semua itu hanya sia-sia.

Beberapa jam kemudian Bita menyusul ke rumah sakit dan menghubungi keluarga Adi. Sesampainya dirumah sakit Bita belum diperkenankan menemui Adi karena saat ini kondisi Adi belum stabil dan dia belum sadarkan diri. Bita menjadi semakin sedih dia sangat menyesal jika teringat apa yang telah dia lakukan sebelumnya kepada Adi. Bita merasa telah menyakiti seseorang yang sangat mencintainya. Bita hanya bisa duduk diruang tunggu sambil terus menangis tersedu-sedu. Menanti dan berharap semoga ada kabar baik yang akan segera dia dengar.

Setelah menunggu lebih dari lima jam akhirnya Adi sudah mulai sadar namun Bita tetap belum boleh menemui Adi karena dokter hanya mengijinkan orang tua Adi saja yang boleh menemui. Bita tidak kecewa karena mamang ini adalah aturan dari dokter. Akan tetapi saat Bita sedang menunggu di ruang tunggu orang tua Adi memanggil Bita. Bita langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menemui orang tua Adi .”Gimana dek, jangan nangis terus dong! Adi gak pa pa kog. Cuman cedera dibagian punggung saja kata dokter tidak sampai sebulan Adi sudah boleh meninggalkan rumah sakit” sambil menepuk punggung, ayah Adi mencoba menenangkan Bita. Bitapun akhirnya bisa tersenyum lega . ”Emm, saya boleh menemui Adi pak?” tanya Bita penuh harap kepada ayah Adi. ”oh ya, maaf saya lupa Adi sudah dari tadi ingin ketemu kamu. Silahkan dek!” jawab ayah Adi kepada Bita.

Walau dengan langkah ragu Bita sangat ingin bertemu Adi, perasaan rindu yang sudah sekian lama akan segera terobati walau pada momen yang mengharukan seperti ini. Akhirnya merekapun bertemu, beberapa detik mereka hanya bisa bertapapan saja sebelum tangis Bita kembali pecah. Bita langsung berlari menuju Adi, Bita memeluk Adi dengan erat. Adi yang sedari tadi terbaring dikasur hanya bisa terdiam sambil tersenyum tegar walau terlihat di sekitar matanya tetesan air yang turun saat Bita memeluknya. ”Aku gak mau kehilangan kamu lagi ad! Aku ingin selalu bersama kamu. Kamu mau janji kan akan terus bersamaku lagi seperti yang dulu pernah kita jalanin?“. Adi belum bisa berkata banyak, sebenarnya dia ingin bicara banyak kepada Bita namun saat ini dia belum bisa melakukanya karena kondisi tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya, Adi hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada Bita. kemudian Bita kembali berkata kepada Adi ”Aku tadi sudah bicara sama mamahku bahwa aku benar-benar sayang sama kamu terus aku minta restu supaya kita bisa bersama lagi dan akhirnya mamah ku menyetujui kalau kita pacaran lagi”. Perasaan Adi ketika itu tidak dapat dijelaskan menggunakan kata-kata dia sangat senang sekali serasa terbang ke bulan dan dia melihat rumah sakit nampak berubah menjadi taman yang penuh dengan bunga mungkin itu kata-kata yang sedikit bisa manggambarkan perasaanya yang sangat senang sekali. Memang saat mamah Bita mengetahui bahwa Adi kecelakaan karena ingin menemui Bita untuk memberikan lukisan foto mereka berdua, mamah Bita kini mulai melunak hatinya karena ketulusan hati Adi.

Sebulan kemudian dokter telah menyatakan bahwa Adi sudah sembuh dan diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Walau Adi masih belum bisa berjalan lincah seperti biasanya namun hal ini sudah membuat Adi sangat bersyukur karena telah selamat dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Kini Adi dan Bita bisa bersama-sama lagi tanpa ada lagi penghalang karena kini hubungan mereka telah direstui oleh orang tua Bita. Mereka kini sangat bahagia menjalani sisa hidup mereka yang masih sangat panjang dan penuh dengan tantangan dan badai yang bisa kapan saja menghampiri mereka. Semoga dengan terus bersama-sama dan saling mendukung satu sama lain mereka dapat menghadapi tantangan dan badai dengan mantap dan penuh percaya diri.

Waktu terus berlalu hingga kini mereka telah resmi dinyatakan wisuda dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Saat momen wisuda ini menjadi momen yang sangat mengharukan bagi keduanya karena mereka harus meninggalkan Universitas yang mereka cintai dan mereka banggakan, juga mereka akan meninggalkan sejuta kenangan. Benar, sejuta kenangan memang telah mereka ukir bersama-sama disini saat pertama kali bertemu, saat jalan-jalan ke simpanglima, saat Adi menyatakan cintanya kepada Bita, saat Bita menerima Cinta Adi dengan satu syarat, saat Adi bisa berhenti merokok, Saat hubungan mereka harus berakhir ditengah jalan dan kini dipersatukan lagi. Kenangan yang penuh tangis dan tawa di sini memang telah berakhir namun kisah cinta mereka akan terus berlanjut karena itulah fase yang akan terus mereka jalani hingga mereka sampai pada titik darah panghabisan dan semoga hanya maut saja yang dapat memisahkan cinta sejati mereka.

Memang tak seorangpun yang tahu kapan cinta sejati itu datang ,dimana datangnya dan siapa yang akan membawa cinta sejati itu. Namun semua sudah jelas bagi Adi. Kini dia telah tahu cintanya bermula pada tanggal 1 November 2013 di Universitas kebanggaanya dan Sang pambawa cinta sejati itu adalah gadis manis dengan wajah yang amat polos dengan nama panggilanya “Bita”.
Read more ...
Designed By