Breaking News

Senin, 28 Desember 2015

Interviu: Tips Menulis oleh Bernard Batubara



Oleh: Fuad Akbar Adi

Artikel hasil interviu ini merupakan artikel kedua saya yang berhasil mewawancarai sastrawan berkaliber nasional setelah sebelumnya saya pernah menginterviu Eko Tunas, penyair kawakan Indonesia, kini pada artikel ini saya akan menyajikan mengenai hasil interviu saya terhadap novelis muda yang namanya tengah ngehits. Bagi yang belum mengenal sosok Bernard Batubara, berikut saya lampirkan kutipan profil yang ada pada web pribadinya. 



          “Bernard Batubara adalah penulis penuh-waktu. Lahir 9 Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat; tinggal di Yogyakarta. Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak medio 2007. Buku-bukunya yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM (2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth (2013), dan Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014). Radio Galau FM dan Kata Hati telah diadaptasi ke layar lebar.Surat untuk Ruth sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar oleh Screenplay Productions, direncanakan tayang 2016. Novelnya yang terbaru telah terbit bulan Oktober 2015: JIKA AKU MILIKMU (GagasMedia).”

Bang Benz, biasa ia dipanggil merupakan salah satu penulis muda yang akhir-akhir ini namanya mulai melejit di kalangan penikmat karya sastra. Ia terkenal sebagai penulis yang aktif di jejaring sosial sehingga banyak yang beranggapan kalau Bang Benz ini termasuk penulis dengan genre Teenlit. Padahal kalau menurut saya, Bang Benz ini meskipun tema yang diusung dalam setiap karyanya selalu mengenai hal yang berbau cinta namun kemasannya sangat berkualitas dengan ornamen-ornamen sastra yang sangat kental. 

Saya termasuk berutung dapat menginterviu Bang Benz yang notabene merupakan penulis berkaliber nasional. Hal ini kebetulan terjadi ketika saya mendapat amanat menjadi ketua panitia seminar nasional yang pada waktu itu salah satu pembicaranya adalah Bang Benz ini. Tak mau menyi-nyiakan kesempatan, sebelum Bang Benz bercuap-cuap di depan panggung, saya terlebih dahulu mencuri kesempatan mewawancarainya secara sembunyi-sembunyi di ruang transit pembicara. 

Namun ketika saya hendak melontarkan pertanyaan yang sudah berjubel di otak, mendadak masuk seorang teman saya (seksi konsumsi) yang niat awalnya baik ingin memberikan jatah konsumsi pembicara, akan tetapi menjadi berubah pikiran ketika melihat sosok Bernard Batubara di depan pelupuk matanya.

“Mas Bernar-Mas Bernard. Saya mau curhat dung. Dan blablablabla (Untuk mengekfektifkan waktu mohon maaf dialognya harus saya skip). Pokoknya inti pertanyaan dari sang seksi konsumsi adalah sebagai berikut: “Saya suka baca tapi kok saya nggak pinter nulis ya? Padahal katanya kalau pengen bisa nulis harus rajin membaca? Itu bagaimana Mas Bernard?”

Yap, itu pertanyaan klise. Pertanyaan yang bisa jadi termasuk ke dalam nominasi pertanyaan terfavorit yang dilayangkan oleh para penulis pemula. Saya juga merasakan seperti itu. Lalu, inilah jawaban dari Bang Benz:

“Itu karena menulis dan membaca adalah dua hal yang berbeda. Sebenarnya sederhana. Ketika kamu ingin pandai menulis, yang harus kamu lakukan adalah menulis. Belajar menulis. Menulis lagi. Orang tidak bisa hanya dengan suka membaca maka secara otomatis akan pandai menulis, sama sekali tidak mungkin. Memang saling berkaitan, namun membaca hanya sebagai bekal saja untuk menulis. Dengan banyak membaca akan ada banyak referensi yang dapat kita olah menajadi materi tulisan kita. Namun itu sifatnya hanya membantu. Kalau kita tidak melatih keterampilan menulis kita, sebanyak apa pun referensi yang kita punya nantinya kita akan kesulitan menuangkan atau mendeskripsikan pikiran, gagasan, konsep atau apa pun yang ada di otak kita ke dalam tulisan.” 

Mendengar jawaban itu, spontan saya langsung menimpali dengan sebuah pertanyaan yang memang benar-benar muncul dari lubuk hati saya yang suci. 

“Tapi Bang, saya sudah sering melatih tulisan saya. Sudah saya paksakan mati-matian. Tapi terkadang saya tidak pede dengan tulisan saya. Baru satu paragraf sudah dihapus ganti lagi. Bikin lagi hapus lagi. Dan akhirnya tulisan saya nggak kelar-kelar Bang. Itu gimana?”

“Nah, itulah yang terkadang merupakan kesalahan yang sering dilakukan oleh penulis pemula. Karena kita melakukan dua hal sekaligus: Menulis dan Menyunting. Maksudnya, ketika menulis kita tulis saja. Lurus ke depan. Hajar. Jangan dipikirkan nanti tulisan kita akan jadi bagus atau jelek yang terpenting selesaikan dulu tulisanmu. Perkara nanti bagus atau tidaknya di sinilah kita baru melakukan sentuhan akhir. Finishing. Istilah bakunya menyunting. Jangan melakukan keduanya sekaligus secara bersamaan akan jadi berat nanti. Bakal ngerusak konsen kita dengan alur tulisan kita. Dan jadinya seprti itu kan, tulisan kita malah gak bakal selesai-selai.

Jawaban tersebut sangat menyentuh. Betul juga. Ketika saya menulis, terutama cerpen dan artikel saya selalu dibikin pusing dengan diksi. Saya selalu ingin membalut tulisan saya dengan deksi yang cetar dalam sekali proses. Itulah yang malah membuat kita hilang fokus pada alur konsep kita. Dalam menulis, yan terpenting tuangkan dulu alur konsep kita, mengenai kemasan (dalam hal ini berupa diksi dan gaya bahasa) itu dilakukan pada sentuhan akhir seperti yang dikatakan Bang Benz tadi, finishing atau menyunting.

Lanjut sesi pertanyaan ke tiga. “Bang! Bang Benz kan sudah bikin banyak tulisan. Bahkan pada tahun ini sudah nerbitin tiga novel. Nah itu gmn Bang menjaga konsistensi dalam menulis? Tentunya kan dalam kehidupan kita sehair-hari banyak kegiatan yang menyita waktu kita. Nah itu gimana Bang?

Pertanyaan yang juga klise. Namun, kali ini sebelum menjawab Bang Benz sejenak menatap kami berdua dengan senyuman ambigu sarat makna. Mungkin dia geli kali ya dengan pertanyaan kami yang teramat mengindikasikan kami adalah penulis yang begitu pemula dan amatiran buangetzzzz. 

Gitu ya? Sebenarnya tulisan saya nggak banyak-banyak juga kok. Masih banyak penulis-penulis lain karyanya sangat banyak dan berkualitas. Kalau bandingannya dengan kalian sih ya emang keliatan banyak. Huahahahaha.” Kurang ajar! Sifat aslinya akhirnya muncul juga. “Jadi gini dek, ada quotes dari Ernest Hemingway yang bunyinya kayak gini:” 

                 “Menulis itu bukan kita duduk di depan komputer lalu mengetik, melainkan kita duduk di depan computer kemudian berdarah-darah” –Ernest Hemingway

“Sekarang aku tanya ke kalian deh. Rasanya berdarah itu gimana sih? Sakit kan pastinya. Lalu kenapa menulis dianalogikan seperti itu? Berdarah-darah? Ya karena untuk menciptakan sebuah tulisan yang bagus yang hebat kita perlu mencurahkan segala kemampuan kita, segala energi, pikiran, hati,jiwa, panca indera yang lain. Kita harus benar-benar peka terhadap sudut pandang. Dan semua itu bukanlah hal yang mudah dan mengenakan. Ada kalanya kita akan mengalami sekarat seperti tubuh kita dipenuhi dengan luka yang menganga. Itulah yang nantinya akan membedakan penulis hebat, bahwa penulis hebatlah yang mampu bertahan terhadap rasa sakit itu. Ketika menulis kita tidak punya teman dan kita memang tidak butuh teman. Yang kita punya hanyalah kesepian dan kesunyian. Boleh kita mengikuti acara pelatihan menulis, membaca tips-tips menulis dari penulis-penulis hebat. Membaca sebanyaknya karya sastra, akan tetapi pertarungan kita sebenarnya adalah di saat kita berada di kesepian.”



SEKIAN
Read more ...

Minggu, 27 September 2015

Embrio Atlantis

Oleh: Fuad Akbar Adi

Mentari masih asyik menyengat bumi cendrawasih ketika mobil mini bus yang aku tumpangi mulai bergerak memasuki kawasan Desa Manakuli, Kabupaten Fakfak. Lamunanku yang sedari tadi terus menderu saat perjalanan, akhirnya mulai tergoyahkan seiring meningkatnya intensitas difusi cahaya matahari yang berpendar bagai sinar laser yang dipancarkan jauh dari luar angkasa, menembus lapisan atsmosfer dan celah-celah awan, lalu membias masuk jendela mobil.

Ini adalah keputusan paling berisiko yang pernah kuambil. Merupakan loncatan besar dalam sejarah hidupku. Pascalulus sarjana dan dua tahun menjadi pengangguran elite ibu kota, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti seleksi (CPNS) guru yang ditempatkan di kawasan terluar, terdepan, dan tertinggal di negeri ini. Banyak yang beranggapan program ini lebih mudah untuk lolos mengingat peminatnya yang masih sedikit. Antusiasme minim ini terjadi tentu saja dengan alasan ditempatkan di daerah terpencil membuat ogah para pelamar CPNS. 

Asumsi tersebut ternyata ada benarnya juga, setelah dua kali gagal lolos seleksi CPNS reguler, akhirnya aku lolos program ini. Perasaan campur aduk terus berkelebat dalam benakku. Di satu sisi aku senang karena menjadi PNS, di sisi lain ada keraguan karena aku harus hijrah, jauh meninggalkan tempat peraduan yang nyaman ini untuk tinggal dengan entah apa yang akan aku jumpai di tempat baru nanti. 

Dan, sekarang di sinilah aku saat ini. Sorak-sorai auditoris yang asing di telingaku mulai sayup-sayup terdengar ketika mobil mini bus merapat ke gapura desa. Kubuka jendela mobil lantas mendongakkan kepala keluar. Ramai sekali! Batinku berseru. Nampak belasan pemuda papua menari-nari dengan hentakan-hentakan kaki yang mantap khas tarian papua. Suara nyanyian mereka terdengar nyaring, melengking di udara bercampur dengan alunan instrumen musik tradisional. Aku tak menyangka akan seapresiatif ini mereka menyambut kedatanganku. Sungguh aku tersentuh, belum juga aku menginjakkan kakiku di tanah asing ini namun perasaan betah sudah membuncah. 

Setelah turun dari mobil, aku langsung disambut jabat tangan Bapak Theodore, sang kepala desa. Dengan senyum ramahnya, ia menuntunku masuk desa sekaligus secara implisit mengajakku merasakan atmosfer kemeriahan penyambutanku ini. 

“Pak Theo, apakah ini tidak berlebihan? Sungguh saya merasa tersanjung.” Protesku sopan.

“Oh, ayolah Dek Guru. Sebuah kehormatan bagi kami memberikan penyambutan terbaik untuk calon pengajar anak-anak kami. Tak perlu sungkan. Semua ini berhak Dek Guru dapatkan,” jawab Pak Theo masih dengan senyumannya. Kemudian dengan sedikit isyarat darinya, seorang gadis asli papua yang membawa kalung terbuat dari rangkaian bunga mendekat. “Silahkan. Terimalah persembahan dari kami. Semoga Dek Guru betah mengajar di sini.” Tanpa perlu mengkonfirmasi persetujuan dariku, Pak Theo langsung saja mengalungkan rangkaian bunga itu ke leherku. Aku tersenyum. Bahagia. Hari ini aku langsung beristirahat di kontrakan yang sudah disediakan. Besok aku akan berkeliling kampung sekaligus beradaptasi dengan lingkungan baru. Esok lusa aku sudah mulai mengajar di SD Inpres 3. Menjalani hari-hariku sebagai seorang pendidik dan pengajar.

***

Senyum mentari tersungging anggun menggantung di bibir langit. Ini hari pertamaku mengajar. Sekolah tempatku mengajar ternyata tak separah apa yang pernah terlintas dalam benakku. Sebelumnya aku membayangkan akan mengajar di suatu tempat terpencil dan terasing. Dengan bangunan sekolah yang terbuat dari kayu-kayu keropos yang siap roboh. Baralaskan tanah dan beratapkan genting-genting bocor. Hanya berbekal fasilitas seperangkat papan tulis berlumut beserta satu dus kecil kapur dan ketika kapur itu habis harus membeli ketempat yang jaraknya berkilo-kilometer melewati hutan rimba dan hadangan buaya ganas seperti di novelnya Bang Andrea hirata, Laskar pelangi. 

Untungnya imaginasi paranoid itu tak menjadi kenyataan. Faktanya gedung sekolah nampak berdiri gagah. Meskipun tetap masih terbuat dari kayu, tapi aku tahu ini kayu yang kokoh dan berkualitas. Bangku-bangku kelas berjajar rapi di atas ubin berwarna coklat kekuning-kuningan. Atapnya pun juga sudah cukup lumayan untuk ukuran standar keamananku.

Setelah acara seremoni perkenalan kepada seluruh warga sekolah, aku langsung ditugaskan kepala sekolah untuk mengajar kelas 5 melingkupi seluruh bidang studi umum kecuali pendidikan agama. Ada tujuh guru di sekolah ini termasuk kepala sekolah. Semuanya berasal dari luar Papua kecuali Pak Matheius, sang guru agama. Setiap guru memegangi satu kelas kecuali Pak Matheius yang khusus mengajar agama untuk semua kelas dan Bu Ratna yang merangkap memegangi kelas 1 dan 2. 

Prolog hidup baruku telah selesai dibacakan. Sekarang aku berada di ambang inti cerita, satu langkah kakiku mulai menjamah dimensi lain. Tinggal mensejajarkan yang satunya lagi. Kukuatkan tekad sambil berdoa. Lalu melangkah mantap memasuki kelas untuk pertama kalinya. 

Begitu masuk aku langsung disambut tatapan-tatapan penuh tanda tanya yang membuatku kikuk dan canggung. Kucoba mencairkan suasana dengan menyapu tatapan mereka sambil tersenyum lebar, namun belakangan aku sadari itu malah terlihat aneh. Susah payah kucoba mengendalikan keadaan dengan kembali memperkenalkan diri. Kemudian aku menyuruh setiap siswa untuk memperkenalkan dirinya masing-masing kepadaku. Ada satu siswa yang mencolok. Dia bernama Viktor. Tubuhnya yang paling tinggi dan besar dari anak-anak yang lain. Belakangan aku ketahui dari guru-guru yang lain bahwa Viktor sudah dua kali tidak naik kelas. Akan tetapi bukan kemencolokan fisik yang kumaksud, melainkan cara ia berbicara. Cara bicaranya berbeda dengan anak-anak lainya. Ia nampak kesulitan entah karena apa. Seperti seakan kebingungan dalam mengeja setiap kata. Namun, untuk saat ini hal itu belum aku hiraukan, masih ada banyak waktu nanti untuk mengurusinya. Fokusku saat ini tentu memberikan kesan pertama yang baik kepada anak-anak didikku. 

Hari pertama mengajar terasa begitu cepat. Mungkin karena aku terlalu bersemangat. Siswa-siswi pun mulai menyambutku hangat setelah perkenalan. Esok dan seterusnya hari-hariku akan berjalan seperti ini. Namun tentunya dengan situasi dan keadaan yang lebih kompleks lagi. Semoga aku siap. 



***

Hening membasuh pekatnya malam desa Manakuli. Tak ada riuh rendah suara keramaian atau sekadar terang benderang cahaya lelampuan seperti di kota tempatku tinggal dulu. Hanya bintik-bintik bintang yang menjuntai di langit saling berkonstelasi membentuk garis-garis geometris abstrak yang terlihat indah dari balik jendela bambu kamarku. Ditemani secangkir kopi hitam tradisional khas Papua, aku masih melalang buana dalam lamunan sambil sesekali mengeceki tugas-tugas yang telah dikerjakan para siswa. 

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuyarkan deru lamunanku. Langkah-langkah cepatku bergegas merespon, menghampiri pintu dan membukanya. Ternyata yang bediri di balik pintu adalah Viktor. Sebuah senyum merekah lebar dari bibir tebalnya. 

“Ma…Malam Bapak Reza. Sa pu punya pala lagi pe…pening ini Bapak. Sa mo minta tolong Bapak pa bo…boleh kah?” kalang kabut Viktor mencoba berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik. 

“Oh, pusing kenapa, Vik? Silahkan tanya saja.”

“Ini Bapak. Sa kemaren dapat bu…buku sejarah dari sodara di kota. Kata de orang ini bu buku bagus. Tapi sa mo baca susah. Apa boleh sa minta Bapak bacakan?” Viktor menatapku dengan raut muka penuh harap.

“Oh, tentu saja boleh, Viktor. Dengan senang hati. Kamu selalu tertarik dengan sejarah ya. Mari silahkan masuk.” 

Sebenarnya malam ini aku sedang sibuk mengoreksi tugas yang kemarin kuberikan kepada anak-anak. Akan tetapi, demi membalas raut muka penuh harap itu, akhirnya aku iyakan keinginannya. Di kelas Viktor memang sangat suka mata pelajaran IPS, terutama yang menyangkut sejarah. Ini sudah yang kesekian kalinya ia bertamu ke rumahku hanya untuk meminta dibacakan buku baru yang ia dapat. Ia tak bisa membaca. Lebih tepatnya kesulitan mengeja setiap kata. Viktor menderita disleksia. Semacam kelainan karena ganguan dari susunan saraf pusat sehingga menyebabkan penderita sulit untuk dapat membaca dan berbicara. Itu diagnosisku sementara, setelah selama ini mengamatinya lalu mengumpulkan beberapa sumber yang koheren dengan apa yang dia alami. Ditambah pengalaman empiris terhadap temanku yang mengidap disleksia dan memiliki ciri-ciri yang sama dengan Viktor membuatku semakin yakin.

Dulu ketika awal mengajar, aku menganggap Viktor siswa yang bodoh karena paling susah membaca. Namun lambat laun kuketahui dia tidak bodoh. Malah menurutku Viktorlah yang memiliki wawasan pengetahuan paling luas di antara siswa yang lain. Aku menyukai muridku yang satu ini. Dia memiliki semangat belajar dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi serta paling aktif dalam bertanya di kelas. Sayangnya sampai saat ini aku belum bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan penyakit disleksianya, mengingat fasilitas medis di sini sangat terbatas.

“Vik, dari mana kamu dapatkan buku ini? Ini buku berat, Vik. Saya rasa kamu masih terlalu dini untuk membaca buku seperti ini.” Aku terkejut ketika melihat sampul buku yang di bawa Viktor. Buku sejarah yang isinya menguak bukti-bukti bahwa Negeri Atlantis yang diceritakan oleh Plato, filsuf termasyur di dunia, adalah Indonesia. 

“Sa dapat dari so…sodara jauh di kota Bapak. Minggu lalu de orang maen ke rumah. De ka kasih ini buku ke. Memangnya bu…buku ini ke kenapa Bapak? Sa malah jadi penasaran ini. Ayolah Bapak sa pengen sa punya buku dibacakan.”

Dasar Viktor. Sudah kuduga kalimat sedikit tercengangku tadi pasti akan membuatnya makin penasaran. Buku yang dibawa Viktor terlalu rumit dan tebal untuk dibacakan secara lisan. Dulu aku pernah membaca buku sejenis ini yang berjudul “ATLANTIS : The Lost Continent Finally Found” karya Prof. Arysio Santos asal Brazil. Akhirnya dengan sedikit negosiasi aku menunda membacakan buku milik Viktor dan beralih menceritakan bukunya Prof. Santos yang sudah aku kuasai.

Atlantis adalah negeri tropis berlimpah mineral dan kekayaan hayati. Namun kemudian, segala kemewahan itu lenyap, tersapu bencana mahabesar yang memisahkan Jawa dari Sumatra, menenggelamkan lebih dari separuh wilayah Nusantara. Gunung Berapi Krakatau menjadi sumber bencana global tersebut (diperkirakan terjadi 11.600 tahun yang lalu). Ia meletus, menimbulkan rentetan gempa dan tsunami mahadahsyat, seratus kali lebih besar dari bencana Aceh 2004, yang pada puncaknya mengakhiri Zaman Es. Beberapa kitab suci menyebut bencana itu sebagai Banjir Semesta. 

Prof. Santos juga mengungkap fakta bahwa Atlantis adalah tempat ilmu dan penemuan besar manusia muncul kali pertama (budaya bercocok tanam, bahasa, metalurgi, astronomi, seni.). Peradaban-peradaban sesudahnya (Yunani, Mesir, Maya, Aztec, Inca.) sesungguhnya dibangun oleh bangsa Indonesia, yang mengungsi dari bencana, dan mewariskan pengetahuannya ke negeri baru mereka; sehingga ada banyak persamaan budaya dan arsitektur di setiap peradaban (teori difusi budaya).

Itulah sedikit cuplikan dari buku Prof. Santos yang aku ceritakan kepada Viktor. Sedari tadi ia begitu takzim menyimak ceritaku. Sesekali kepalanya bergeleng-gelang sporadis, mengekspresikan kekagumannya. “Be…berarti Indonesia nenek moyang dari segala bangsa di dunia ya? Wow keren!” ucap Viktor menyimpulkan. Aku tutup cerita malam ini dengan menasehatinya untuk rajin belajar. Menjelang pukul sebelas malam, ia baru beranjak pulang.

***

Hujan deras mengiringi suasana pagi hariku. Gara-gara Viktor aku jadi bangun kesiangan. Tadi malam aku baru bisa tidur pukul satu dini hari karena harus ngebut mengoreksi tugas para siswa yang tertunda gara-gara kedatangannya. Setelah semua peralatan mengajar tuntas kumasukkan ke dalam tas, aku bergegas menuju sekolah. Aku harus menempuh jalur setapak sepanjang hampir 700 meter dengan jalan kaki agar bisa sampai ke sekolah. Hawa dingin pun mulai menyeruak menghujami tubuhku sampai menyentuh tulang. Sambil tetap berpayung, aku terus melangkah sampai akhirnya tiba.

Sesampainya di sekolah aku sama sekali tak mendapati satu siswa yang menampakkan dirinya. Sepi, senyap, dan sunyi. Guru-guru pun hanya segelintir yang hadir. Apa yang terjadi? Kulihat Pak kepala sekolah berjalan menghampiriku. Sekilas raut mukanya nampak merasa bersalah.

“Sebelumnya saya minta maaf Pak Reza karena belum sempat memberitahukan Pak Reza mengenai ini.” Ia memulai percakapan.

“Mengenai ini? Maksudnya apa ya pak?”

“Begini, hal ini memang sering terjadi di sekolah kami Pak Reza. Tentu Anda sendiri paham betapa masih rendahnya kesadaran masyarakat di sini tentang pentingnya pendidikan. Ini pertama kalinya turun hujan deras semenjak kedatangan Pak Reza di desa ini. Ketika hujan deras datang siswa-siswa di sini selalu tak pernah ada yang hadir. Mereka lebih memilih tetap di rumah dari pada harus bersusah payah menerjang hujan demi sekolah dan belajar. Padahal kami sudah berusaha membagikan payung kepada setiap keluarga yang anaknya bersekolah di sini namun sepertinya tetap tidak sesuai harapapan.” 

Aku tak langsung merespon ucapan Kepala sekolah yang telah selesai beberapa detik yang lalu. Hanya diam sambil mencoba memahami kondisi yang terjadi. “Baik Pak. Karena tidak ada siswa yang masuk…..Eee…..kalau begitu saya pamit pulang." Tanpa perlu menunggu persetujuan, aku langsung balik kanan dan meninggalkan kepala sekolah. Tak memperdulikan reaksinya.

Aku tak tahu kenapa diriku sekesal ini. Perasaan kecewa tiba-tiba saja dengan cepatnya menggelayuti batinku. Hah! Aku tak habis pikir, kukira penduduk di sini memiliki semangat belajar yang sama tingginya ketika mereka menyambut kedatanganku dulu. Ternyata tidak sama sekali.

Sebelum benar-benar keluar dari gerbang sekolah, kulihat Viktor baru saja sampai dengan napas terengah-engah. Sebagian bajunya nampak basah karena ia tak memakai payung. 

“Ma…maaf Bapak Reza sa terlambat he. Sa tak ada payung jadi sa tunggu hujan reda baru ke sekolah. Ke…ke mana Bapak Reza mau pergi?”

“Teman-temanmu tidak ada yang masuk, Vik. Kalau kau mau, ayo kita belajar di rumah Bapak saja.” Jawabku dengan muka yang masih masam.

Viktor langsung menurut. Mungkin dia tahu perasaanku sedang tidak baik. Atau mungkin dia malah lebih suka belajar privat denganku dari pada bersama teman-temannya di kelas. Dalam perjalanan mendadak hujan kembali turun deras. Viktor tak membawa payung. Sedang payung yang kubawa hanya muat dipakai untuk satu orang. Akhirnya aku mengalah dan memberikan payungku kepadanya. Tak apa. Lebih baik aku yang kehujanan dari pada dia, setidaknya ketika sampai rumah aku bisa langsung mengganti bajuku yang basah. Sesampainya di rumah aku melanjutkan ceritaku tentang negeri Atlantis. Viktor menyimak antusias sekali. 

***

Mendung masih membumbung di awang-awang. Gemercik gerimis masih terdengar lemah lembut ketika bersentuhan dengan genting. Hawa remang mengambang melebur bersama sepoi angin yang menggantung di udara. Menciptakan sensasi dingin yang membuat bulu-bulu halus di kulit merinding ketika tersentuhnya. Komposisi itu semua, menciptakan sebuah hibrida klasik yang bernama “kenangan”.

Tak terasa, ternyata sudah delapan bulan lebih aku menjalani romantika kehidupan baruku sebagai pengajar di desa ini. Perasaan jemu dan jenuh mulai menggelayuti hati. Rasa rindu kepada mamah yang kutinggal sendirian di rumah menyeruak begitu kuat, membanjiri pikiranku. Ditambah para siswaku yang tak kunjung paham pada materi yang sudah berulang kali kuajarkan membuatku frustrasi. Kemampuan akademik siswa-siswa di sini memang tergolong lemah jika dibandingkan dengan daerah seperti Jawa atau Sumatera. Rata-rata siswa di sini malas untuk belajar bidang studi yang mengharuskan mengeksplorasi otak berlebih, seperti matematika dan IPA. 

Sering kali aku berkeluh kesah kepada sesama guru di sekolah, tapi bukanya memberikan semangat dan motivasi malah mereka balik membalas dengan keluh kesah yang lebih menyedihkan.

Semua itu membuatku lelah. Puncaknya terjadi hari ini ketika sudah susah payah semalaman aku ngelembur mengoreksi tugas dan paginya menerjang hujan untuk menuju sekolah, malah ketika sudah sampai aku sama sekali tak mendapati siswaku yang hadir kecuali Viktor. Itu benar-benar membuatku kesal. 

Mendadak aku kembali teringat tujuan awalku datang ke sini. Bukankah tujuan utamaku hanya untuk mendapatkan gelar PNS? Sudah itu saja. Bukankan aku tak benar-benar berniat mengajar di sini? Jalan ini adalah opsi terakhir yang terpaksa harus kupilih. Seharusnya aku tak perlu kesal dengan sikap siswa-siswaku. Biarkanlah mereka bertindak semaunya. Bukan urusanku. Peduli setan mereka mau belajar atau tidak, yang penting mereka tidak mengganggu kepentinganku dan aku masih tetap mendapat gaji. 

Malam ini kurasakan dingin yang begitu menyengat. Tubuhku menggigil dan gigiku bergemeretak. Mungkin karena efek kehujanan tadi pagi membuatku sakit. Kini aku terkapar di kasur. Lemah tak berdaya. Menahan dingin bercampur dengan rasa jenuh dan frustrasi yang telah mencapai titik kulminasinya. Aku mulai tak mampu menahan kelopak mataku untuk tidak terpejam. Kurasakan pudar dalam kegelapan. Dan aku mulai berhalusinasi. Mendadak kurasakan dunia seakan menjadi medan ambuguitas. Aku dibuat bingun dengan segala yang telah terjadi di sini. “Untuk apa aku berada di sini?” menjadi pertanyaan paling sulit yang tak dapat kutemukan jawabannya. 

Barang kali, ini menyangkut rasa kemanusiaan dalam lubuk hati atau bisa jadi hanya sebatas kepentingan pribadi. Aku terjebak dalam dimensi tak berujung yang mempermainkan kontruksi batinku. Ah, segalanya terasa begitu menyedihkan malam ini. 

***

Hari ini kuputuskan tidak berangkat sekolah. Tubuhku sungguh tak bisa diajak kompromi. Untung hari ini tidak turun hujan. Setidaknya suasana pagi ini tak sedingin tadi malam. Di sekitar dedaunan masih basah oleh embun yang belum menguap. Susunan rangkum bunga anggrek biru khas papua nampak indah di ujung mata. Perlahan-lahan kembali memekarkan diri bersamaan dengan terbitnya mentari.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu yang khas. Itu pasti Viktor. Aku agak gontai beringsut perlahan menghampiri pintu dan membukanya. Intuisiku sungguh jitu. Mahluk yang berdiri di balik pintu tepat sesuai dugaanku. Viktor.

“Hai, Vik. Selamat pagi. Ada apa? tumben kamu ke sini pagi-pagi?” Kusapa dia dengan mata layu sambil menahan dingin akibat hembusan angin yang menerpa setelah pintu terbuka. 

“Eee… ini Bapak sa cuma mengantar ti…tipan mamah buat Bapak Reza. Katanya se…sebagai ucapan makasi kemaren mengantar sa pulang pakai payung. Ba…bapak Reza sedang sakit kah? Bapak punya wajah pucat sekali. Pa…pasti ini efek kehujana kemarin. Apa Bapak mau sa anter ke puskesmas?”

“Ehm ehm. Oh, tak usah ,Vik. Nanti diizinkan ya saya tidak bisa ke sekolah hari ini sedang tidak enak badan. Bapak ke puskesmas sendiri aja. Kamu belajar saja yang rajin ya. Biar jadi orang pandai.”

“Eee…baiklah kalo gitu Bapak. Sa pamit dulu. Semoga cepet sembuh ya.”

Seusai menyalimi tanganku, Viktor langsung melangkahkan kaki menuju sekolah. Namun, baru beberapa langkah ia berhenti dan menoleh ke arahku yang masih berdiri di depan pintu. Sambil tersenyum ia berkata:

“Bapak Reza, makasi sudah membacakan buku tentang Negeri Atlantis. Sa tahu memang pulau Papua bukan termasuk wilayah Atlantis ketika 11.600 tahun yang lalu karena masih menyatu dengan lempeng Indo-Australi. Tapi sekarang Papua sudah menyatu dengan Indonesia. Indonesia adalah Atlantis. Berarti Papua sekarang termasuk bagian dari Atlantis. Meskipun Atlantis sudah hancur tapi sa yakin Atlantis akan bangkit lagi karena ada pulau Papua. Papua adalah embrio yang kelak akan lahir menjadi Atlantis baru yang bernama Indonesia. 

Sa akan belajar giat Bapak. Sa mau jadi professor. Dan sa berjanji akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia seperti yang terjadi pada 11.600 tahun yang lalu.” Viktor tersenyum beberapa detik setelah menuntaskan kalimat-kalimatnya tadi. Lalu berlalu meninggalkanku dengan langkah mantap. 

Aku terkesan mendengar ucapan Viktor yang begitu bergelora. Dari mana dia mendapatkan kata-kata seperti itu yang membuatku merinding? Sama sekali tak terpikirkan dalam benakku kelak dia akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Tatapannya begitu tajam dan serius, seolah-olah ia begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan. Seolah-olah ucapannya merupakan sebuah takdir yang pasti terjadi. Bahkan cukup lama aku baru sadari kalau dia berbicara dengan lancar tak seperti biasanya. 

***

Daun-daun yang berguguran di tanah menjadi alas berpijak untuk langkah-langkahku yang baru selesai berobat di puskesmas. Embrio Atlantis? Viktor memang mahluk yang istimewa. Aku tak paham dengan cara berpikirnya hingga sampai membuat hipotesis seperti itu. Sejujurnya aku malu dengan diriku yang masih terlalu mengedepankan ego sendiri. Hanya gara-gara masalah kemarin siswa tidak ada yang hadir, aku langsung kesal. Ucapannya tadi membuatku tersadar. 

Di sinilah titik baliknya untuk diriku. Aku lupa, sebagai seorang kaum terpelajar aku terlalu sibuk membicarakan soal kesuksesan dan tercapainya impian yang diharapkan. Pengabdian seolah hanya tugas bagi para veteran. Sudah menjadi sebuah keharusan bagiku. Mendidik adalah tanggungjawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di negeri ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki negeri ini pula. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan. 

Di sini, di negeri cendrawasih ini, banyak sekali anugerah yang telah Tuhan berikan. Viktor benar, Papua memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk menjadikannya embrio Atlantis. Bahkan benar-benar menjadi Atlantis. Mahluk-mahluk seperti Viktor tidak boleh di sia-siakan. Merekalah penduduk asli Papua yang kelak akan mewujudkan mimpi itu. Melahirkan kembali Atlantis. Aku harus bertahan di sini. Dengan segala hal yang merintangi jalanku, aku harus tetap bertahan di sini. Untuk Viktor, untuk Papua, dan untuk Indonesia. 



Fuad Akbar Adi

~Fu~





























Read more ...

Jumat, 31 Juli 2015

Pentalogi Puisi Shinta

Oleh: Fuad Akbar Adi












Mengeja Paras Sinta (1)

Semerbak aroma lembayun membungkus

altar jingga dalam siluet perangaimu.

Barang kali, sebelum epilog drama semalam

selesai dibacakan, Dewa Agung telah menukar likat malam dengan parasmu.



Wahai Sinta, dewi yang memangku sembilu.

Aku ingin mengajakmu ke negeri senja

Di mana tajam bias surya bersua bayang remang

dan angin enggan meninggalkan jejak kecuali isak.



Sinta yang melempar lalang ke bulan, berhentilah

menanak nasi untuk kesatriamu yang ragu.

atau menanti panen padi dan mengurus

sapi yang tak jua melahirkan lembu.



Di negeri senja kau tak perlu berpijak pada tanah yang menistakan telapakmu

yang mengandung zarah surga

atau mengecap getir biji majapahit



Wahai Sinta, dewi yang menari di atas bukit syahdu

aku rindu parasmu yang ayu

yang merona kembali sebelum tirai pekat drama semalam terkatup.



Wahai Sinta, dewi yang menjaga bulan mati, jika kau tak mau ikut

dan bersikukuh

maka kesetiaan adalah nyala api bagimu.

semoga kelak anakmu

lahir dari jantung panah yang abu.

sebelum aku katam mengeja parasmu





Menghitung Hari, Sinta Mati (2)

Kegelapan congkak berkuasa di angkasa

Bertahta pada puncak kulminasi kepekatannya

Kau, Sinta, Dewi yang dulu peniup simfoni

harmoni pelangi. Kini terkulai

terbenam sekat mahoni

Aromamu yang dulu wangi, tergusur

bau tanah



Nista sudah kau dicabik-cabik sunyi

Menunggui kesatriamu

Yang barang kali tak bernisan lagi



Salah sendiri kau mabuk sama hati

Angkuh kau Dewi bersikukuh

Sekarang coba lihat, ingin berteriak

tapi lidahmu kelu

ingin beranjak tapi sendimu kaku



Tinggal menghitung hari pasti mati

Kau, Sinta, Dewi . Jika kau bersikukuh

mengandung pertiwi menantang senyap sepi



Kesucian Sinta (3)

Terik menghujam . . .

Menyirnakan halimun memusnahkan embun

Wahai Sinta, dewi berkerling pelangi

Kau lihat di balik gapura itu?

Laskar samber nyowo mulai bergemuruh.

Nampak gagah dewi, lengkap dengan panji-panji

dan trisula berlapis perak. Kesatriamu!

Itu Kesatriamu! Ia menunggang kuda, menengadah nanar.



Wahai Sinta, dewi penyulam lengkung langit

Masihkah kau bergeming?

Barangkali kau terlahir dari benih tanpa berahi

Inilah cara untuk menyudahi, mencegah pertumpahan darah dewi

Lihatlah tanganku mulai bergetar

sukmaku mulai membuncah membanjiri setiap sekat nadi

Kau tak perlu renjana untuk bercinta Sinta, dewi bergerai temaram

Cukup terpejam saja



Tanpa perih

Sebelum tajam bias surya bersua bayang remang petang ini

Kesucian telah berpaling darimu



Terpejam di Pangkuanmu, Sinta (4)

Ah . . . sirna sudah

Surya beranjak tenggelam, terbenam oleh kelam

Gagak-gaka hitam mulai berdeham

Perlahan, hati-hati menelan ludah

Aroma anyir merangsang gejolak

pada pembuluh darah, bergairah.

Wahai Sinta, dewi berselandang aurora

Lihatlah ke sini . . .

Aku sekarat, ajalku kian dekat



Kesatriamu mengacau . . .

Menggores kanvas putih ini dengan bara

yang menjadikannya abu.

Ia menikam pekat dengan kilat

Menghabisi remang yang menjalar



Wahai Sinta, dewi berusuk cakrawala

Ke sinilah, biarkan aku terpejam di pangkuanmu

Biar aku sejajar dengan bulan, mahluk beruntung yang pernah

engkau pangku. Biar sejenak semesta iri.

Biar bagaimana pun aku juga kesatria

meski terlahir dari arang yang meradang.



Ah kau ini Sinta . . .

Bersamamu membuatku putus asa

dan mencinta pada saat yang sama.



Bunga Terakhir untuk Sinta (5)

Jingga bersemi di tepi ufuk

menghampar semburat terindah yang

pernah kusaksikan. Inilah negeri Senja yang kuimpikan,

Sinta, dewi berlesung nirwana.

Kita duduk bersama, mengukir siluet dalam

bias sorot disufi cahaya.

Berpendar memahat lengkung langit.



Sayangnya hanya sebatas alur ilusi.

Kenyataannya aku telah lelah menapak

jejak langkahmu. Api makin berkobar angkuh

menyibakkan lidah menghanguskan segala

yang merintangi. Segalanya telah luluh, segalanya

hangus untuk cintaku yang mengekor di ujung

helai rambutmu. Aku bergumam pelan di detik terakhir.

Berbisik menguntai sajak sendu.



Wahai Sinta, dewi

bernapaskan asiri, rengkuh tubuhku.

Sejenak saja. Biarkan ragaku berpagut denganmu.

Biarkan aku meleleh sebelum membeku kembali.

Lihatlah ini sekuntum bunga yang indah bukan?

Terimalah sebelum layu tersengat api.



Wahai, Sinta kaulah zarah ketunggalan sebelum

munculnya percabangan cinta. Bunga terakhir ini,

kuberikan kepadamu.



Kutulis kata, untuk kisah terakhir.



~Fu~
Read more ...

Kamis, 07 Mei 2015

Pahlawan tanpa Mata Berbinar

Oleh: Fuad Akbar Adi

Belitung, Desember 1998

Mendung menggantung di bibir langit.Gumpalan pekat kelabu membumbung angker di awang-awang. Deru air yang menghujami bumi mulai bergemuruh riuh. Hujan deras pun akhirnya tumpah. Sudah beberapa hari ini matahari tampak buram dari balik celah-celah mendung, seperti terpantul pada permukaan kolam yang keruh. Tiupan angin menghempas liar seperti hendak mengeyahkan apa pun yang mencoba menantangnya. Semua komposisi ini, bagai metafora yang muskil dipahami oleh orang awam kala itu. Iya, kala itu.

Diantara hujan deras yang merintangi jarak pandang dan dingin yang telah mencapai kulminasinya, nampak sepasang suami istri muda tergopoh-gopoh mencoba bangkit berdiri. Raut muka mereka sudah membiru, mengekspresikan dingin yang menjalar pada tubuh. Membuat pucat kulit kuning langsat yang eksotis itu.

“Mas, jangan mas! Jangan! Mas, ampuni kami! Salah kami apa? kami sudah menutup pintu dan jendela menggunakan tirai hitam, jadi ndak bakalan kelihatan. Ini usaha kami satu-satunya, kalau kami ndak buka kedai ini, kami ndak bisa cari uang.” Sang istri beranjak bangkit sambil memegangi tangan salah satu pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih lengkap dengan serban dan panji-panji kebesaran. Sang istri mendesih parau memohon belaskasihan.

“Heh dasar cina gila! Minggat sana, jangan pegang-pegang! Najis! Dasar kaum minoritas tak bertoleransi, sudah tahu ini bulan puasa masih aja buka kedai siang-siang! Iya tahu saya sudah ditutupi pakek tirai hitam. Tapi bau masakannya masih menyengat tau! Mengganggu kekhusukan kami beribadah!” Sentak sang pemuda dengan tatapan nanar sambil menepis keras tangan sang istri itu. Tak peduli, ia bersama kawannya yang lain terus mengumandangkan lafal-lafal suci sambil kesetanan mengobrak-abrik kedai malang itu. Sungguh absurd memang jika dinalar, dua hal yang esensinya jauh berbeda itu dapat dilakukan secara bersimultan.Ya-ya, dunia pasti tertawa geli menyaksikan itu semua.

Setengah jam berlalu begitu cepat. Padahal hujan mulai reda, namun isak tangis sang istri tak mereda sedikit pun. Bajunya basah kuyup bersimbah air hujan sekaligus air mata. Sang suami hanya bisa pasrah dan sesekali menenangkan sang istri, ia tak mau ambil resiko babak belur karena mengikuti aksi istrinya pasang badan. Mengingat orang-orang berserban itu lebih sentimen terhadap laki-laki. Mengingat sedikit saja konfrontasi bisa memicu kemungkinan yang lebih buruk. Mereka sudah kesetanan, tidak bisa diajak kompormi! Padahal mereka pernah bilang, ketika bulan puasa setan-setan di dunia dibelenggu tubuhnya. Lalu, mengapa mereka bisa kesetanan? Nampaknya setan-setan telah berevolusi sedemikian hebatnya kala itu.

“Hei apa yang kalian lakukan? Stop-stop! Berhenti kataku!” seorang Kakek berpeci hitam tiba-tiba menyeruak di tengah kerumunan orang-orang berserban. Awal kemunculannya luput dari perhatian. Ada empat pria bertubuh mantap dan proporsional merentangkan tangan lebar-lebar mengelilingi Kakek itu, saling berkonstelasi melindungi si Kakek yang nampak rapuh.

“Gus hati-hati Gus.Awas nanti jatuh Gus. Biar kami yang urus orang-orang ini. Sampeyan ndak perlu ikut turun,” Salah satu dari empat pria bertubuh proporsional itu mencoba menasihati si Kakek yang dipangilnya Gus. Ternyata mereka adalah ajudan si Kakek. “Sudah ndak papa. Mereka ini perlu disadarkan!” Jawab si kakek dengan santainya.

“Hei, kalian ini apa-apa’an? Astagfirullah!” Si kakek berseru lebih lantang. Semua orang mendadak membisu, seolah si Kakek menyihir mereka menjadi batu. Sejenak suasana berubah sunyi, seolah bumi berhenti berotasi. “Apa maksud dari ini semua? Siapa dalangnya? Siapa? Silahkan menghadap ke saya dan jelaskan semuanya!” Untuk kesekian kalinya si Kakek kembali berseru, melelehkan situasi yang sempat membeku. Namun sampai saat ini tak seorang pun yang berani menanggapi atau sekadar merespon seruan si Kakek. Orang-orang berserban yang sedari tadi bergelagat sangar malah tertunduk lesu. Kakek berpeci hitam ini nampaknya memiliki aura raja. Setiap seruannya memancarkan jutaan partikel mikroskopis magis yang dengan mudah menundukkan setiap orang yang mendengarnya.

Tetap tidak ada tanggapan. Si Kakek mulai merasa dirinya diacuhkan.“Tidak ada? Sungguh tidak ada yang berani mempertanggungjawabkan segala perbuatan ini?” Si Kakek mulai memperlambat intonasinya.

“Saya Gus.” Akhirnya ada yang berani bicara. Seorang pemuda berserban putih dengan motif hijau-hijau melangkah segan menghadap si Kakek. “Maafkan kami, Gus. Sungguh ini tak sesuai rencana. Awalnya kami hanya berniat merazia kedai-kedai makan yang buka siang hari, kemudian menghimbau pemilik kedai untuk menutup kedainya sementara sampai malam tiba. Namun di tengah lapangan emosi teman-teman tak terkendali dan akhirnya semua hal ini terjadi. Sekali lagi kami minta maaf, Gus.”

“Hmmm, jadi itu tho alasannya. Kalian menganggap dua saudara kalian yang berjualan mencari rezeki ini tidak bertoleransi?” Suara si Kakek makin melembut.

“Tentu saja, Gus! Bagaimana tidak? Muslim merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Saat ini kami sedang beribadah, menjalankan puasa. Tapi mereka, kaum minoritas, cina-cina tak tahu diri ini tak menghormati kami sedikit pun. Mereka pantas mendapatkan ini semua. Benar tidak kawan-kawan?” Ucap seorang pria paruh baya yang berdiri di balik kerumunan orang-orang berserban. Kembali memprovokasi masa. Sorak sorai orang-orang berserban pun kembali bergemuruh menyambut kalimat pembelaan yang membenarkan dosa mereka. 

“Haha. Maaf sebelumnya, tapi saya kok geli mendengar omongan Anda itu. Anda ini kok kayak anak TK. Lha kok terdengar begitu egois ya? Malah jadi merendahkan agama sendiri. Gini ya, dari sudut pandang akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi daripada penganut agama lain. Namun, sekali lagi saya tekankan, Indonesia bukanlah negara Islam! Kita ini hidup di negara yang terdiri dari beribu pulau dengan berbagai kemajemukan di dalamnya. Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan! Tidak boleh lagi ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan serta ideologi. Jika kita merasa muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa. ”Si Kakek tetap tenang merespon kalimat frontal berlatar etnosentrisme tersebut. Kalimat terakhirnya itu, jelas merupakan paradoks terhadap persepsi umum muslim Indonesia.

“Halah kok malah kita yang disuruh menghormati mereka, Gus?” ujar orang lain—yang masih di antara kerumunan orang-orang berserban—tak terima. “Mereka itu kafir! Kita harus bersikap keras kepada mereka bukannya malah melunak. Apa Anda tidak tahu, Gus? Di antara mereka itu sering menghina, melecehkan, dan menjelekkan agama kita. Jangan menafikan hal itu, Gus! Jangan menjadi mahluk hipokrit di balik pakaian Anda sebagai tokoh ulama terkemuka! Melunak sama saja menjatuhkan kedaulatan agama kita, Gus.”Yang satu ini jelas provokator utamanya.

Si Kakek sejenak menghela napas panjang sambil memainkan tongkat kayu yang menopang badannya. Ia masih nampak tenang. Semakin ia ditentang dan dicerca pendapatnya, semakin cerah senyum yang tersimpul pada bibirnya. 

“Bukankah masalah ketuhanan memang rumit? Mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak. Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya. Selalu begitu! Jadi kalau sekarang ini ada yang menjelekkan nama Islam, kita didik agar membawa nama Islam yang damai. Jangan seperti ini! Tindakan represif hanya makin memperkeruh keadaan. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah! Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya, dalam hal ini adalah agama Islam. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya. Sebagai penganutnya kita harus pahami itu! Semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri.”

Kali ini tidak ada yang langsung mendebat pernyataan si Kakek. Kerumunan orang-orang berserban kembali membisu. Beberapa saling bertukar pandang, beberapa hanya manggut-manggut, sedang yang lainnya mendongakkan wajah ke atas mencoba berpikir keras. Mengekspresikan simpulan yang merekapahami dari pernyataan si Kakek dengan gayamasing-masing. Sang provokator pun hanya termangu, kemudian melangkah mundur bersembunyi di balik kerumunan kawan-kawannya. Ia tak berani memperlihatkan batang hidungnya lagi kepada si Kakek. Meskipun ia tahu si Kakek tak dapat melihat dengan jelas.

“Apa yang dikatakan Gus benar, kawan-kawan. Perbuatan kita ini salah! Ini sudah termasuk radikalisme. Islam tidak pernah mengajarkan radikalisme. Nabi kita pun tak pernah mengajarkan radikalisme. Apa kalian lupa? Di dalam Alquran dijelaskan, bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Itu artinya setiap orang di dunia berhak beragama menurut kepercayaan masing-masing. Sadarlah kawan! Filosofi negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Indonesia diciptakan berbeda untuk bersatu dan saling memahami, bukan untuk berpecah dan saling memusuhi,” ucap pemuda yang tadi pertama kali bersuara dan menghadap si Kakek. Nampaknya pemuda ini yang paling waras diantara orang-orang berserban. Tetap belum ada suara yang terdengar dari kubu provokator, kali ini malah yang manggut-manggut lebih banyak dari pada yang saling bertukar pandang atau mendongakkan wajah ke atas. Menandakan sebagian besar sependapat dengan ucapan pemuda tadi. “Maafkan kami Gus. Kami berjanji akan mempertanggungjawabkan perbuatan kami. Kami akan mengganti dan memperbaiki segala kerusakan ini.”

“Haha, tak perlu meminta maaf kepada saya. Saya ini apa? minta maaflah kepada Tuhan yang ajarannya telah kalian salah pahami dan minta maaflah kepada dua saudara kalian ini yang haknya telah kalian langgar. Semoga apa yang terjadi saat ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua. 

“Dari dulu, sebelum merdeka sampai sudah merdeka seperti ini, Indonesia adalah negara yang selalu bertikai.Tak pernah ada habisnya. Itu semua terjadi sebab orang-orang tak memahami konsep perdamaian dalam keberagaman. Kalian semua masih muda, kalian adalah penerus bangsa ini. Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali. Mari kita sama-sama ubah cara pikir kita, bahwa keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya.”Untuk kali ini wejangan si Kakek langsung disusuli oleh serempak anggukan dari orang-orang berserban.Sang provokator termasuk salah satunya. Nampaknya ia mulai sadar. Kerumunan orang-orang berserban akhirnya bubar jalan. Dengan sebelumnya meminta maaf dan berjanji akan mengganti segala kerugian kepada pasangan suami istri muda tadi. 

Mentari kembali tersenyum. Sinar cahayanya yang kekuningan merapat bagai sinar laser yang ditembakkan jauh dari luar angkasa. Berhasil menembus celah-celah awan dan menyirnakan mendung. Balutan fisik si Kakek memang biasa saja, namun harus diakui kharismanya sungguh luar biasa. Orang lain belum tentu mampu menyadarkan orang-orang berserban yang sudah terlanjur kesetanan itu. Matanya sungguh tak berbinar, ia melihat dunia bukan menggunakan mata dengan retika maupun kornea. Ia melihat dunia menggunakan mata dengan hati. 

Pasangan suami istri muda tadi langsung mencium tangan si Kakek dengan khidmat begitu orang-orang berserban telah berlalu. “Terimakasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Anda, Gus. Saya tak akan melupakan kebaikan Anda. Saya akan membalasnya kelak.”

“Haha, sama-sama. Apa yang saya lakukan bukanlah apa-apa. Anda tak perlu repot membalas kebaikan saya. Kalau mau membalas, lebih baik Anda membalas kebaikan negeri ini. Negeri yang dengan sedih atau senang, selalu mencintai kita, penghuninya. Siapa nama Anda? Saya melihat aura pemimpin jujur dalam diri Anda. Saya yakin kelak Anda akan menjadi pemimpindi jantung negeri ini.”

“Haha, haduh Gus-gus. Anda kalau bercanda bisa saja. Saya tidak mungkinlah menjadi pemimpin negeri ini. Saya kan keturunan etnis cina, saya juga bukan muslim, Gus.” Ucap sang suami muda mengira si Kakek bercanda.

“Percayalah, tidak penting apa pun agama atau suku Anda. Kalau Anda bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agama Anda. Anda belum menjawab pertanyaan saya, siapa nama Anda?”

“Pur, Gus”

***

Jombang, November 2014

Semerbak wangi aroma bunga kamboja masih menggelora. Pria paruh baya itu masih duduk termangu, menatap lekat-lekat batu nisan dari sebuah makam tokoh termasyur negeri ini. Beliau yang wafat di makam ini adalah pahlawan baginya. Seorang tokoh yang sangat egaliter, yang dulu pernah meramalnya. Kini ramalan itu menjadi kenyataan.

Pria paruh baya itu datang untuk kembali berjanji pada beliau yang wafat di makam ini. Pria paruh baya itu berjanji untuk meneruskan cita-cita beliau. Sebuah cita-cita yang teramat sederhana. Sebuah cita-cita yang berharap, keberagaman dan negeri ini damai bersalaman.

“Maaf Pak, ini sudah pukul 11.30, setengah jam lagi pesawat lepas landas. Anda harus segera kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan protokoler pelantikan Bapak besok.”

“Oh, iya terimakasih. Tunggu sebentar lagi ya.”
Read more ...

Kamis, 09 April 2015

Filosofi Bintang Orion

Oleh: Fuad Akbar Adi
 
Senyumku tersungging dengan sendirinya ketika kutelah menapakkan kakiku di Universitas Gajahmada. Kuhirup dalam-dalam oksigen segar yang bersumber dari pepohonan yang berbaris rapi di gerbang utama Universitas. Kepalaku kembali terasa ringan setelah sedari tadi mengalami kepeningan akibat riuh rendah ramainya kota Jogja.

Setelah hampir 18 tahun penuntut ilmu di pesantren dengan suasana keagamaan yang kental, kini orangtuaku mengijinkan aku untuk melanjutkan studi di UGM. Aku diterima di Jurusan Sastra Arab, sesuai dengan cita-cita abah yang menginginkan aku menjadi seorang dosen bahasa arab atau penerjemah bahasa arab. Meskipun sebenarnya aku tak terlalu suka mengingat itu bertolak belakang dengan pandanganku yang meskipun aku anak pesantren namun aku berpikir dengan gaya industrialis layaknya kaum liberalis.

“Hei, kamu yang pakek peci putih. Mau tanyak Fakultas Geografi ke arah mana ya?” Aku tercengang mendengar suara cempreng yang telah membuyarkan deru lamunanku. Tiba-tiba saja di sampingku berdiri sosok perempuan yang bertanya kepadaku dengan kedua tanganya masih memegangi sebuah kamera DSLR yang sesekali ia jebretkan ke arah gerbang Universitas. Untuk etika seorang yang sedang bertanya, sikapnya itu sungguh tidak sopan.

“Ha? Kamu tanyak sama aku?” responku sedikit kikuk dengan nada polos pura-pura tidak tahu.

Perempuan itu tiba-tiba menatapku lekat-lekat kemudian sebuah senyuman manis tersimpul dari bibir pink-nya yang tipis. “Pakek nanyak nih orang? Ya jelas kamulah. Di sini yang pakek peci putih kan cuman kamu.” Kedua tangannya kompak bertengger dipinggangnya yang ramping.

“Hehe iya ya. Emmm, Fakultas Geografi? Maaf aku kurang paham, soalnya aku saja baru beberapa menit menginjakkan kaki di sini.” Ucapku dengan tangan kananku tak henti-hentinya menggaruki rambut bagian belakang.

“Oh, jadi kamu Maba juga ya. Yaudah kalo gitu, sori ya kalo ucapanku agak gak enak didenger. Daerah Jogja-Jawa tengahan kan orangnya ngomongnya pada sopan-sopan,” sambil memasukkan kamera DLSR ke dalam tas. “Oh, iya namamu siapa? Perkenalkan namaku Mutiara Sagala. Biasa di panggil Tia. Keturunan Batak tapi udah lama tinggal di Jakarta.”

“Oh, santai aja aku juga bukan asli Jogja. Namaku Muhammad Ridho dari Jombang.”

Tak di sangka memang, orang pertama yang kukenal di sini ternyata perempuan seperti itu. Memang kelakuannya sedikit cross dengan tipe perempuan idamanku. Namun entah mengapa hatiku berkata lain. Percik-percik asmara dengan mudahnya memancar di hatiku, mengingat aku belum pernah sama sekali merasakan namanya cinta.

Sebelum Tia pergi, kami sempat bertukar nomer HP. Dalam beberapa minggu kami sudah akrab dan sering berhubungan lewat sms. Mengapa bisa begitu aku juga tidak tahu. Namun kali ini mendadak Tia meneleponku. Ia mengajakku untuk menemaninya ke Pantai Parangkritis. Malam-malam! Sebenarnya, apa yang ia rencanakan?

***

Aku benar-benar tak habis pikir dengan logikaku. Bagaimana mungkin aku mau-maunya diajak Tia malam-malam seperti ini jalan-jalan berduaan menyusuri pantai. Sungguh ini pertama kalinya aku jalan berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimku. Andai abah tahu peristiwa ini, mungkin leherku sudah dipenggal menggunakan golok tajamnya. Sudah berulang kali kutanyakan maksud dan tujuan Tia mengajakku. Namun ia hanya tersenyum centil sambil berkata “Udah deh diem napa. Ini Surprise. Ntar kamu juga bakal tau. Akan indah pada waktunya.” Kalimat terakhir sedikit diperlambat intonasinya menyiratkan sebuah penekanan. Aku hanya bisa pasrah. Ia menyiksaku dengan rasa penasaran tak bermuara, ditambah benda panjang yang sedari tadi ia panggul di punggungnya yang awalnya kuidentifikasi sebagai gabungan antara kamera DSLR-nya dengan peralon membuat makin berat beban siksaan penasaran yang aku tanggung.

Kami berhenti di sebuah tebing dekat pantai kemudian menaikinya. Semerbak kegelapan langsung menyeruak menyelimuti penglihatanku kala kami tiba di atas tebing. Mataku berkedip-kedip adaptif menyesuaikan hawa temaram, mencoba menikam pekat yang menjalar. Tia menyalakan senter lalu berjalan mencari bidang yang cukup datar. Dengan sigap ia mengeluarkan benda panjang yang sedari tadi ia panggul dan dalam sekejap merakitnya. Ternyata benda panjang yang sedari tadi ia bawa adalah sebuah teropong.

“Taraaaaa. Nih pegangin senternya. Kamu tau nggak Ridho kalau akhir-akhir tahun kayak gini paling ideal untuk menyaksikan rasi bintang. Bintang-bintang di langit sana akan saling berkonstelasi menciptakan bentuk-bentuk simbolis yang dapat diidentifikasi oleh manusia. Nih, kamu mau lihat nggak?” ucapnya dengan mata berbinar sambil sesekali masih mengotak-atik teropong panjangnya itu. Pencahayaan di tempat ini memang sangat minim, namun aku dapat merasakan terang benderang yang begitu menyilaukan mata ketika melihat rona wajah Tia yang berseri.

Dalam beberapa detik aku hanya termangu. Mencoba perlahan-lahan memahami situasi yang sedang kualami. Tak kusangka di balik sikapnya yang cuek dan frontal, ternyata Tia merupakan perempuan yang estetis juga. Hati dapat berdenting membentuk harmoni mayor sempurna yang manis tanpa perlu bersuara atau memetik gitar. Kita memang tak pernah tahu apa itu cinta sampai cinta itu tiba dengan sendirinya di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang dan waktu. Namun kini kutahu, mahluk yang berada di depan pelupuk mataku ini adalah cinta. Dan situasi yang sedang kualami ini adalah harmoni mayor sempurna yang manis itu sendiri, berkat keberadaan cinta. Aku telah jatuh cinta, untuk pertama kalinya!
“Ridho? Woy, kamu kenapa? Ditanyak malah melongo? Ntar kesambet Nyi Blorong tahu rasa deh! Nih tak tunjukin yang namanya rasi bintang Orion.” seru Tia heran sambil mengerutkan dahinya.

“Oh, e a iya-iya sori. Tadi aku ngerasa kayak dejafu aja. Hehe.” Kuputar cerita fiktif sebagai alasan.

Panjang lebar Tia menjelaskan mengenai apa itu rasi bintang. Ia menyebutkan banyak sekali nama rasi bintang beserta artinya beserta kapan waktu kemunculanya yang hanya 10% yang sempat kuingat meskipun aku cukup antusias menyimaknya. Namun untuk kali ini hanya rasi bintang bernama Orion, Taurus, Canis Mayor, dan Auriga yang dapat terlihat. Rasi bintang Orion menjadi favoritnya. Tak perlu bertanya mengapa, aku sudah tahu alasannya mengingat secara fisik memang Orion-lah yang menurutku paling indah.

Intuisiku sungguh jitu. Aku sudah menduga kali ini Tia pasti akan kembali menjelaskan panjang lebar mengenai rasi bintang Orion itu. Telingaku sudah sangat siap untuk mendengar celotehnya.

Dalam mitologi Yunani Orion berarti ‘‘Sang Pemburu’’. Dikisahkan meski ia mengalami kebutaan karena ulah Oenopion, Orion tetap bisa menjadi pemburu nan gagah di kereta pada saat perjalanannya ke timur agar bisa melihat kembali dan membawa pulang. Akan tetapi dalam perjalanan ia terbunuh akibat tersengat racun Scorpion. Kemudian untuk menghormati keberaniannya, Zeus mengangkat Orion ke langit dan menjadi rasi bintang.

“Kamu tahu gak Dho? Dari dulu aku mendambakan seorang kekasih yang seperti Orion. Seorang yang tangguh dan tak pantang menyerah demi mempertahankan jiwa sejatinya. Bukan seperti mantan kekasihku dulu, yang tiba-tiba saja pergi meninggalkanku hanya karena orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Seharusnya ia bertahan dan melakukan sesuatu untuk menyakinkan orangtuaku. Aku benar-benar kecewa dengannya.” Ucap Tia dengan kepala tertunduk. Mendadak suasanya berubah drastis. Arus waktu terasa berhenti mengalir namun bumi tetap konstan berputar pada porosnya. Ucapanmu itu, apakah sebuah curhat biasa atau ada makna implisit di dalamnya, Tia?
“Cie curhat ya?” sumpah aku tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya aku terjun dalam situasi seperti ini. Ambigu!

“Ridho? Apakah kamu setangguh Orion?”

Sinar bulan pucat yang masih bertengger di bibir langit menembus pohon dan dedaunan, menciptakan siluet abstrak keperakan. Kumatikan senter yang sedari tadi menyala. Kemudian memejamkan kedua mata untuk mencoba melebur dalam remang. Engkaulah mahluk pertama yang telah melelehkan benda padat dalam tubuhku ini yang kusebut “hati”. Engkaulah mahluk pertama yang memperkenalkan sesuatu yang disebut “cinta” kepadanya. Pertanyaanmu itu tak perlu kujawab lewat artikulasi maupun intonasi. Hanya dengan satu senyuman tulus, aku berjanji akan menjadi Orion, Sang Pemburu, Tia.



Pekalongan, 28 Januari 2015 Ketika hujan tersenyum saat kutatap.






Read more ...

Selasa, 03 Februari 2015

Chocolatos Signora



Oleh: Fuad Akbar Adi

Desir angin berhembus memecah deru lamunanku yang sedari tadi melalang buana tak tentu arah, bersimultan dengan guncangan kecil pesawat sesaat sebelum landing. Tak lama lagi aku sampai juga di kota Turin, orang Italia menyebutnya Torino. Kota yang pernah menjadi ibukota pertama Italia. Kota tempat bermarkasnya tim sepak bola legendaries Italia, Juventus.

Setelah turun dari pesawat, hal pertama yang aku rasakan adalah dingin yang menyeruak menembus pori-pori kulit bahkan sampai merengkuh lembut tulang-tulangku. Tak kusangka akan sedingin ini Italia. Bergegas pandanganku langsung menyapu ke penjuru bandara, mencari seseorang yang membawa papan bertuliskan namanya sendiri, Dominico Palacio. Ia telah berjanji akan menjemputku tepat ketika aku turun dari pesawat. Namun sampai tubuhku menggigil dan hampir membeku, orang itu belum juga nampak batang hidungnya. Aku mulai frustasi dan panik, kuambil ponsel yang yang sedari tadi non aktif di dalam pesawat, berinisiatif meneleponnya. Namun sebelum kupencet-pencet tombol pada ponselku, terdengar langkah-langkah cepat dari arah belakang menghampiriku. Itu pasti dia.

Intuisiku tepat. Ketika kubalikkan badan kulihat seorang pria berlari sambil mengangkat papan bertuliskan nama “Dominico Palacio” tinggi-tinggi. Posturnya sungguh proporsional, tinggi menjulang dengan lekuk tubuh tegap dan mantap. Matanya begitu bulat dan jernih. Sambil tersenyum ramah ia menyodorkan jaket kulit tebal dengan bulu-bulu halus yang sepertinya memang digunakan khusus untuk Winter Season seperti ini. 

“Hei, Kamu pasti Kusuma Larasati. Well come to Italia, country of The Godfather and well come to Torino, city of Juventini.” Ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Thanks. Panggil saja saya, Laras. Bagaimana kamu bisa tahu saya, bertemu saja belum pernah?” 

Uh, forza Laras. Panggil saja saya Dominic. Mengenai itu, fotomu terpajang pada dinding toko and so . . . yeah I know you.” Jawabnya tenang.

Kami berdua lalu berjabat tangan. Meskipun udara begitu dingin menyelimuti kota Turin, namun tangan besarnya terasa hangat ketika berpanggut dengan tangan mungilku. Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, ia langsung mengantarku menuju ke sebuah tempat di mana semestinya aku berada.

Ayahku yang merupakan pria Italia tulen menikahi ibuku, dara cantik asli Jogjakarta. Dan akulah hasil dari buah cinta mereka. Tiga bulan yang lalu Ayahku meninggal dunia. Sebelum meninggal, ia sempat menuliskan beberapa wasiat kepadaku dan salah satunya adalah . . . Sebuah toko cokelat bernama Chocolatos Signora.

***

Sesampainya di toko aku langsung disambut oleh keluarga Dominic. Ada paman Paulo yang seumuran dengan Ayahku dan bibi Conie, istri paman Paulo. Dan di balik tubuh mereka berdua bersembunyi dengan malu-malu seorang anak kecil, Marco, adik Dominic. Keluarga Palacio langsung menjamuku dengan berbagai hidangan olahan cokelat. Aku sangat kagum dengan kecintaan mereka yang mendalam terhadap cokelat.

Di meja bundar berdiameter satu setengah meter itu kami duduk melingkar dan menyantap hidangan bersama-sama. Dominic menyodorkan Baci, sejenis cokelat berbentuk kerang dengan isian Hazelnut di dalamnya kepadaku. Sambil menyantap hidangan, panjang lebar paman Paulo bercerita mengenai sejarah dari toko Chocolatos Signora ini. Dulu paman Paulo dan ayahku merupakan koki dari salah satu toko cokelat yang melegenda di Italia. Setelah akhirnya berkat inisiatif dari ayahku, mereka berdua memutuskan untuk keluar dan membangun toko cokelat sendiri. Nama Chocolatos Signora sendiri yang artinya “Nyonya Cokelat” terinspirasi dari julukan tim sepakbola Juventus yaitu “Nyonya Tua”. Asam garam sudah paman Paulo cicipi dalam menemani ayahku membangun toko cokelat ini. Hingga kini Chocolatos Signora telah tumbuh menjadi toko cokelat terkenal di Italia. 

“Meski Chocolatos Signora sukses, ayahmu tak pernah mau membuka cabang. He do it to keep originaly us chocolate ,” ucap paman Paulo bangga sambil terbahak, “Namun semenjak ayahmu meninggal toko ini agak terbengkalai. Mengingat hanya tinggal saya saja ditambah usia saya yang sudah tua seperti ini tidak mampu berbuat banyak lagi.” Tiba-tiba ekspresinya berubah drastis.

“Oleh sebab itu ayah mewariskan toko ini kepada saya?” 

“Yak, tepat sekali.” Sergah paman Paulo sambil memasukkan roti tawar ke dalam mulutnya.

Emmm, I’m so sorry uncle. Namun saya ragu bisa mengembalikan kejayaan toko ini seperti saat dipegang oleh ayah. Mengingat saya sama sekali buta dengan cokelat.” Mukaku tertunduk lesu. Belum apa-apa aku sudah bersikap pemimistis seperti ini. 

“Hahaha, duh anak sekarang memang loyo-loyo ya. Tidak ada semangatnya. Laras, hear uncle said. Kamu tidak usah khawatir kamu buta dengan cokelat. Chocolatos Signora tak butuh itu. Koki-koki di sini sangat kompeten dalam masalah mengolah cokelat. Yang dibutuhkan di sini adalah seorang leader yang mampu memimpin kami semua. And it there in yourself, you know. Paman tahu kamu punya jiwa pemimpin seperti ayahmu. I believe it, Laras.” Tatapan paman Paulo berubah tajam penuh dengan keyakinan. Aku hanya bisa menghela napas pasrah sambil terus berpikir. Memutar rencana. Mencari inspirasi. Membuat ide. Merancang inovasi. Dan mengatur strategi. Untuk toko ini. 

***

Aku termangu bersama lamunan-lamunan liar dalam pikiranku. Menatap suasana kota Turin dari balik tirai jendela. Salju turun lebih lebat dari biasanya. Lampu temaram di sepanjang trotoar menghiasi suasana sepi jalan kota ini. Sudah seminggu aku mengambil alih menegerial toko Chocolatos Signora ini. Dominic menjadi asistenku, banyak sekali kebijakan dan keputusan yang aku ambil berkat masukan dan rekomendasi darinya. Aku benar-benar kagum dengan para pekerja di toko ini. Ucapan paman Paulo memang benar, para pekerja di sini memang sangat kompeten dalam bidangnya. Makin mempermudah pekerjaanku. Bahkan sempat terpikir dalam benakku, dengan para pekerja seperti ini tanpa aku pun toko ini bisa berjalan. 

“Hei Laras. Ngalamun saja. Sedang memikirkan apa? Kamu bekerja terlalu semangat hari ini. Sudah makan? ” tiba-tiba Dominic sudah berada di sampingku sambil membawa dua buah Semisweet Chocolate. Dan menawarkan satu untukku.

“Oh, thanks Dom. Saya hanya tidak menyangka saja perjalanan hidup saya akan seperti ini. I never think it this. I never thing will be stay in Itali and must leave my country, Indonesia. Hidup ini memang lucu, tidak bisa ditebak.” Aku bergumam agak parau.

“Hahaha. Yah aku setuju denganmu. Life is like chocolate” Aku tak tahu maksud dari ucapan Dominic. Sambil terbahak ia menyapu pandang ke luar jendela dengan lelehan Semisweet Chocolate yang menodai bibir tebalnya. 

“Life is like chocolate? Hei, what do you mean?” seketika kulempar pertanyaan kepadanya dengan ekspresi penuh tanda tanya.

“Uh, you know Laras? Ketika sebatang cokelat disuguhkan kepada kita tanpa brand atau merk, hanya berbungkus kertas aluminium, kita tidak bisa menebak bagaimana rasanya sebelum mencicipnya. Is that dark chocolate, cooking chocolate, white chocolate and more. Karena kemasan dalamnya selalu sama. That’s life. Layaknya kehidupan, cokelat ibarat takdir. Tapi belum tentu semua takdir seseorang “pahit”. Bergantung bagaimana kita mengolah atau memilihnya. Mengolah sesuai dengan keinginan kita. Mau kita apakan hidup ini agar lebih menarik dan bercita rasa. Ada orang yang lebih memilih cokelat asli yang awalnya cenderung pahit tanpa glukosa. Ada pula manusia yang lebih suka kejutan dengan memilih cokelat (hidupnya) dengan penuh sensasi. Namun tak jarang orang yang memilih cokelat yang dilengkapi dengan ornamen seru seperti kacang-kacangan atau buah-buahan. Kita bebas memilih, merencanakan, dan bagaimana menikmati cokelat atau kehidupan tersebut sesuai selera. Malah bisa di kombinasikan dengan disajikan panas atau dingin (khusus untuk minuman). Dalam makanan olahan pun kita bisa menakar kandungannya sesukanya. That’s life.” Ujar Dom si maniak cokelat. Sepertinya selain menjadi makanan favorit dan sumber rezekinya, cokelat juga menjadi filosofi hidupnya.

“Wow, it’s amazing, Dom. Cukup relevan juga bila hidup yang tidak bisa ditebak ini dianalogikan dengan cokelat.”

“But remember, Laras. Dalam setiap kemasan cokelat selalu disertai dengan petunjuk berupa ingredients. Sebuah petunjuk yang persis di berikan lewat firasat, intuisi, kepekaan, dan doa yang kita panjatkan setiap hari. Ingredients itulah yang akan memberi tahu kita, cokelat jenis dan seperti apa yang akan kita konsumsi. And, ketika sampai langkah ini kita masih belum mampu menebak cokelat macam apa yang kita konsumsi, bayangkan saja ... Uh, mungkin kita telah mati rasa. Tidak punya gairah atau passion dalam mencicipi kehidupan.’’ Kembali panjang lebar Dominic memaparkan tentang filosofi cokelatnya sambil melirik diriku yang masih termangu.

“Heiii, lirikkanmu menyiratkan itu sebuah sindiran untuk saya!” Ucapku kesal ketika melihat lirikkan ambigu Dominic. 

“Haha, relax. Relax. Just Kidding, Laras. Tapi… apa kamu merasa begitu?” 

Ya, aku merasa begitu, Dom. Namun berkat ucapanmu yang panjang lebar itu, aku tak percaya kini kumulai tersadar. Ucapanmu ada benarnya. Hidup ini memang sulit ditebak, namun Tuhan telah memberikan petunjuk untuk kita. Tinggal seberapa peka kita dapat memahami petunjuk yang telah Tuhan berikan. Kini aku mulai terkesan denganmu, Dom. Aku terkesan dengan filosofi cokelat yang kau tanamkan dalam hidupmu. Apakah itu berlaku juga terhadap cinta? Apakah kamu petunjuk yang Tuhan berikan kepadaku (dalam hal cinta)? 

***

Menjelang petang, aku masih termangu di pinggir jendela. Sambil menyeruput secangkir cokelat hangat dan menikmati lanskap klasik kota Turin. Bangunan-bangunan tua yang masih terawat dan tertata rapi. Dari balik jendela kudapat menatap dua gereja yang bersebelahan, San Carlo dan Santa Christina yang begitu indah. Dari sini keduanya begitu terlihat mirip, bahkan nampak seperti bangunan kembar. Namun, kata Dominic dekorasi bagian depan dan interiornya sangat berbeda. 

Sudah hampir setahun kumenetap di Turin bersama keluarga baruku, Palacio Family dan keluarga baru non biologisku, Chocolatos Signora. Suka dan duka bercampur aduk bagai gado-gado yang setia menemaniku dalam menjalani romantika kehidupan sebagai seorang Leadership sebuah toko cokelat warisan ayah. Minggu depan lebaran, mamah sudah gembar-gembor menyuruhku pulang ke Indonesia. Sebenarnya aku pun telah berencana demikian. Rumah memang selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang. Aku sudah membicarakan hal ini dengan paman Paulo, bahkan aku sudah memesan tiket untuk keberangkatanku besok pagi. 

“Kudengar besok pagi kamu akan pulang ke Indonesia ya? kenapa tidak cerita kepada saya?” seperti biasa, Dominic selalu tiba-tiba sudah berada di sampingku kala aku termangu di pinggir jendela. 

“Oh, maaf. Saya sudah berencana untuk cerita, namun belum sempat saja.”

“Kamu pasti kembali kan?”

“Hei, ucapanmu terdengar seperti saya bukanlah pemilik toko Chocolatos Signora, melainkan hanya seorang pengunjung dari luar kota yang numpang istirahat sambil ingin menikmati cokelat. Semua yang ada di sini adalah keluarga saya, hidup baru saya. Tentu saya akan kembali, Dom.” Ucapku mantap setelah meneguk habis secangkir cokelat hangat. 

“Emmm, tapi sebelum kamu pulang, aku punya sesuatu untukmu. Ini terimalah.” Dominic menyodorkan sebungkus cokelat batangan merk Cadbury yang telah dibingkai dengan pita-pita berwarna merah muda kepadaku.”

“Cadbury, Dom? Why? Ini kan buatan Inggris sedangkan di toko ini melimpah ruah cokelat Italia.” Aku agak bingung dengan maksud, Dom. Pertanyaanku memang cukup esensial untuk dilontarkan. 

“Uh… Ini semacam Unspoken Love, Laras.

“What? Are you resious, Dom?”

“Ya, kata papa cokelat Italia memang tidak kalah lezat dengan cokelat buatan Inggris atau Swiss. Namun, jika kamu ingin mengungkapkan perasaan cinta lewat cokelat, percayalah Cadbury merupakan cokelat yang paling tepat.” Dominic sedikit kikuk, kulihat butir-butir peluh dingin mulai muncul membasahi wajahnya. 

“Oh… Kalau begitu, berarti kamu sedang menyatakan cinta kepada saya?”

“Emmm, hei jika kamu menyuruh saya untuk mengatakannya, lalu buat apa cokelat ini? Harusnya kamu paham sendiri.” Ucap Dominic agak kesal. Sepertinya ia mulai salah tingkah.

Oke, right. Jika caramu seperti ini, tunggu saya memberi Cadbury balasan untuk kamu” 



Read more ...
Designed By