Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

Belenggu Dilema Hati 2

Oleh: Fuad Akbar Adi

Sang surya kini hanya senyisakan setengah wujudnya. Menciptakan warna jingga kemarah-merahan yang menyelubungi pantai. Aku masih menatap tajam matahari itu tanpa sekalipun berkedip. Menanti detik-detik lenyapnya dari pandanganku. Sungguh indah sunsite sore ini. Mengingatkanku dengan kampungku. Kampung tempatku tinggal bersama kedua sahabatku. Kini, aku sendiri di sini dan merindukan mereka.

Sudah setahun aku di Australia dan aku belum pernah sekalipun pulang ke tanah air. Minggu depan untuk pertama kalinya aku akan pulang. Tak sabar hati ini ingin berkumpul lagi dengan sanak family. Terutama dengan kedua sahabatku. Semoga ada berita baik yang akan kudengar di sana.

Seminggu kemudian aku telah sampai di Bandara Adi Sucipto. Nampak kedua orang tuaku telah berdiri dengan senyumanya di hadapanku. Kupeluk mereka erat, disertai tetesan air mata dari mamah yang membasahi bahuku. Setelah lama aku dan orang tua bercengkrama datang Zaky dan Wulang. Kedua sahabatku dari SD sampai SMA.

“Cie, ada bule item dari Australi” goda wulang dengan mengerutkan jidatnya.

“Malah cengar-cengir aja kamu. Mana oleh-olehnya! Jangan harap kamu akan aman di sini tanpa membawa oleh-oleh” sambung Zaky dengan intonasi pemalakan.

“Hiahhh, baru aja nyampek udah dipalak. Nih ada daging kangguru di tas. Ambil aja.” Ejekku kepada mereka.

Setelah itu, tawa keras kami bertiga pun pecah diantara keramaian bandara. Aku langsung memeluk kedua sahabatku itu. Kami sudah menyiapkan rencana, nanti sore ke pantai Parangkritis. Menikmat indahnya sunsite bersama-sama setelah sekian lama tak kami lakukan. Serta membicarakan tentang suatu hal yang telah kami sepakati untuk dibicarakan nanti.

Sore pun tiba. Kami bertiga sudah berada di pantai. Tak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu. Seperti biasa kami ngobrol apa saja sembari menanti tenggelamnya matahari.

“Waduh, kok kayaknya mendung ya. Gimana nih?”

“Yah, benar juga Lan. Langitnya mulai gelap. Gimana Bim? Masih mau di sini terus?”

“Duh, gimana ya? Aku juga bingung. Gimana kalau kita makan jagung bakar dulu aja. Cuaca gak mendukung banget”

“Oke. Suka” jawab mereka berdua kompak.

Kami makan jagung bakar di warung dekat pantai. Dengan duduk lesehan memutar kami menggasak habis jagung bakar dengan secepat kilat. Setelah selesai makan, aku memulai percakapan.

“Emmm, lan. Ada yang ingin aku bicarakan ke kamu”

“Ha? Apa’an Bim?”

“Emmm, gini. Zaky udah ngomong ke kamu belum?”

“Ngomong? Emang kamu ngomong apa’an Zak?

“Huhhh, itu lho” jawab Zaky pasrah.

Wulan sepertinya sudah tahu apa yang Zaky maksud. Berarti Zaky memang benar telah menyampaikan pesanku ke Wulan. Namun, Wulan tak langsung menjawab. Terlihat wajah Wulan memucat dan bibirnya gematar. Kulihat ke sebelahku, Zaky juga memasang wajah harap-harap cemas. Aku mulai bingung menyaksikan tingkah laku mereka berdua.

“Kalian kenapa? Kok wajahnya pada pucat gitu?” Tanyaku pada mereka berdua.

Masih seperti tadi. Mereka berdua hanya diam saja dan sesekali saling curi pandang. Sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Hal ini, lama-lama membuatku geram. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba berpikir jenih. Kemudian dengan intonasi yang lebih rendah aku kembali bertanya kepada mereka.

“Kalian ini sebenarnya kenapa? Ayo jawablah. Jangan membuatku bingung seperti ini”

“Emmm, gi gi gini Bim”

“Jangan! Biar aku saja yang menjelaskan kepada Bimo Zak” tiba-tiba Wulan memotong pembicaraan Zaky.

Sekarang sudah jelas. Ada sesuatu diantara mereka yang tak aku ketahui. Aku jadi semakin penasaran. Kupandangi wajah Wulan penuh tanya. Terlihat genangan air mata mulai membanjiri wajah cantik wulan. Kini, Wulan menangis di hadapanku.

“Bim, Aku sudah tau dari Zaky tentang perasaanmu kepadaku”

“Iya Lan. Maafkan aku sebelumnya karena dengan ini aku sama saja merusak hubungan persahabatan kita. Memang terkesan sangat egois. Tapi aku tak bisa menahan perasaan ini. Aku mencintaimu Lan. Aku sayang kamu. Aku pun sebelumnya telah membicarakan ini dengan Zaky. Zaky pun sepertinya tak masalah. Iya kan Zak?”

“Ha? A a a akuuu” Zaky Nampak terkejut.

Setelah itu Zaky hanya diam mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Sepertinya dia belum benar-benar setuju dengan keinginanku. Namun, saat perhatianku berubah focus ke Zaky, tiba-tiba Wulan memanggilku.

“Bim, maafkan aku. Aku gak bisa mencintai kamu. A a aku ini”

“Kenapa Lan. Kamu takut merusak hubungan persahabatan ini? Tapi kan Zaky sudah merestui hubungan kita. Kita tetap bisa bersahabat dengan Zaky”

“Huhhh, bukan itu Bim. Bukan itu masalahnya”

“Lalu apa?”

“Aku gak bisa karena aku telah mencintai seseorang”

“Apa? Kamuuuu”

“Maaf, namun sama sepertimu. Perasaanku tak dapat kupendam lagi. Aku telah mencintai seseorang, dan orang itu adalah Zaky Bim. Kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih sebulan sesudah kau pergi saat Zaky menyampaikan pesanmu. Tapi ini bukan salah Zaky. Sebenarnya Zaky juga telah lama mencintaiku, namun dia rela mengorbankan cintanya demi kamu Bim. Dia telah mengatakan semua pesanmu sebelum kau pergi apa adanya. Akan tetapi, sekali lagi maafkan aku. Aku gak bisa seperti Zaky yang dapat mengorbankan cintanya. Aku permpuan. Perasaan permpuan tak bisa diganggu gugat. Maafkan aku”

Mendengar kalimat-kalimat panjang dari Wulan membuat kupingku panas. Aku tak tahan dengan ini. Aku sangat kaget dengan apa yang terjadi. Mataku mulai terasa berat bahkan untuk berkedip pun susah. Kucoba menahan agar tak ada air yang menetes dari mata ini. Dengan berat aku berdiri dan berlalu begitu saja. Zaky dan Wulan telah berusaha mencegahku, namun sekuat tenaga aku berlari meninggalkan mereka, lantas pulang ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamar. Terlihat mamah menyapaku namun aku acuhkan. Kubanting tubuhku di kasur, hentakan yang saking kerasnya bahkan terdengar seperti suara deburan ombak Parangkritis. Tak kusangka semua hal ini akan terjadi kepadaku. Aku merasa dikhianati oleh sahabatku sendiri dan disakiti oleh seseorang yang sangat aku cintai. Lalu apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah mengiklaskan mereka berdua bahagia sedang aku menanggung sakit hati seperti ini? Aku benar-benar menderita sekarang. Terdengar hapeku berdering untuk sekian kalinya dan tak kuangkat. Aku tahu, itu pasti telepon dari Zaky atau Wulan. Saat ini, aku tak mau mengingat mereka lagi. Kucoba pejamkan mata sekuat tenaga untuk sejenak melupakan mereka supaya aku bisa berpikir tenang. Sebuah hari yang panajang dan menyakitkan. Semoga saat kutidur, semua itu tak akan ku bawa dalam mimpi dan malam semoga cepat berakhir.

Esoknya aku bangun pagi sekali. Aku telah membuat keputusan, besok aku akan kembali ke Australia. Fokus kuliah dan menggapai cita-cita menjadi targetku. Akan tetapi yang terpenting, aku ingin melupakan mereka berdua. Selamanya.

Mamahku awalnya kaget mendengar hal itu. Karena yang dia tahu, aku masih akan di sini setidaknya sampai dua minggu ke depan. Namun, nampaknya mamah percaya dan mendukung setiap keputusanku walaupun mamah tidak tahu alasan sebenarnya aku ingin cepat-cepat kembali ke Australia. Mamah kini membantuku menyiapkan barang-barang bawaan. Karena besok pagi-pagi sekali aku akan langsung Take Off ke Australi.

Akan tetapi tak kusangka, besoknya menjelang keberangkatanku ke Australi, Zaky dan Wulan mengetahui hal itu dan mereka kini juga ada di bandara. Aku kaget melihat mereka berdua, aku langsung memalingkan muka dan pura-pura tak melihat mereka. Namun, Wulan yang juga melihatku langsung memanggilku. Untuk kali ini, sepertinya tubuhku tak mampu lagi berlari meninggalkan mereka untuk yang kedua kalinya. Mereka menyapaku dengan senyum hangat dan aku membalasnya dengan senyum kecut.

“Bim, maafkan kami. Mungkin ini memang menyakitkan bagimu, tapi aku tahu kamu kuat. Semoga kamu paham dan bisa mengerti.” Wulan mengawali pembicaraan dengan kepala tertunduk.

Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Walaupun dalam hati aku telah mengiklaskan hubungan mereka namun sulit untuk mengatakanya. Apalagi aku tak pandai dalam berkata-kata.

“Bim, jangan diam saja. Apakah kau begitu marahnya? Apakah kami memang tak terampuni?” Tanya Zaky dengan muka memelas.

“Haha, kau ini berkata apa? Kalian tidak salah apa-apa. Malah aku yang seharusnya meminta maaf. Aku terlalu egois dan memaksakan kehendak. Semoga kalian bahagia. Selamat tinggal” jawabku sambil bergegas meninggalkan mereka.

Aku sengaja mempercepat percakapan karena aku tak mau lama-lama larut dalam kesedihan. Kini aku sudah berada di dalam pesawat. Meninggalkan mereka berdua untuk selamanya. Kemudian mencoba peruntunan baru.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By