Breaking News

Minggu, 27 September 2015

Embrio Atlantis

Oleh: Fuad Akbar Adi

Mentari masih asyik menyengat bumi cendrawasih ketika mobil mini bus yang aku tumpangi mulai bergerak memasuki kawasan Desa Manakuli, Kabupaten Fakfak. Lamunanku yang sedari tadi terus menderu saat perjalanan, akhirnya mulai tergoyahkan seiring meningkatnya intensitas difusi cahaya matahari yang berpendar bagai sinar laser yang dipancarkan jauh dari luar angkasa, menembus lapisan atsmosfer dan celah-celah awan, lalu membias masuk jendela mobil.

Ini adalah keputusan paling berisiko yang pernah kuambil. Merupakan loncatan besar dalam sejarah hidupku. Pascalulus sarjana dan dua tahun menjadi pengangguran elite ibu kota, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti seleksi (CPNS) guru yang ditempatkan di kawasan terluar, terdepan, dan tertinggal di negeri ini. Banyak yang beranggapan program ini lebih mudah untuk lolos mengingat peminatnya yang masih sedikit. Antusiasme minim ini terjadi tentu saja dengan alasan ditempatkan di daerah terpencil membuat ogah para pelamar CPNS. 

Asumsi tersebut ternyata ada benarnya juga, setelah dua kali gagal lolos seleksi CPNS reguler, akhirnya aku lolos program ini. Perasaan campur aduk terus berkelebat dalam benakku. Di satu sisi aku senang karena menjadi PNS, di sisi lain ada keraguan karena aku harus hijrah, jauh meninggalkan tempat peraduan yang nyaman ini untuk tinggal dengan entah apa yang akan aku jumpai di tempat baru nanti. 

Dan, sekarang di sinilah aku saat ini. Sorak-sorai auditoris yang asing di telingaku mulai sayup-sayup terdengar ketika mobil mini bus merapat ke gapura desa. Kubuka jendela mobil lantas mendongakkan kepala keluar. Ramai sekali! Batinku berseru. Nampak belasan pemuda papua menari-nari dengan hentakan-hentakan kaki yang mantap khas tarian papua. Suara nyanyian mereka terdengar nyaring, melengking di udara bercampur dengan alunan instrumen musik tradisional. Aku tak menyangka akan seapresiatif ini mereka menyambut kedatanganku. Sungguh aku tersentuh, belum juga aku menginjakkan kakiku di tanah asing ini namun perasaan betah sudah membuncah. 

Setelah turun dari mobil, aku langsung disambut jabat tangan Bapak Theodore, sang kepala desa. Dengan senyum ramahnya, ia menuntunku masuk desa sekaligus secara implisit mengajakku merasakan atmosfer kemeriahan penyambutanku ini. 

“Pak Theo, apakah ini tidak berlebihan? Sungguh saya merasa tersanjung.” Protesku sopan.

“Oh, ayolah Dek Guru. Sebuah kehormatan bagi kami memberikan penyambutan terbaik untuk calon pengajar anak-anak kami. Tak perlu sungkan. Semua ini berhak Dek Guru dapatkan,” jawab Pak Theo masih dengan senyumannya. Kemudian dengan sedikit isyarat darinya, seorang gadis asli papua yang membawa kalung terbuat dari rangkaian bunga mendekat. “Silahkan. Terimalah persembahan dari kami. Semoga Dek Guru betah mengajar di sini.” Tanpa perlu mengkonfirmasi persetujuan dariku, Pak Theo langsung saja mengalungkan rangkaian bunga itu ke leherku. Aku tersenyum. Bahagia. Hari ini aku langsung beristirahat di kontrakan yang sudah disediakan. Besok aku akan berkeliling kampung sekaligus beradaptasi dengan lingkungan baru. Esok lusa aku sudah mulai mengajar di SD Inpres 3. Menjalani hari-hariku sebagai seorang pendidik dan pengajar.

***

Senyum mentari tersungging anggun menggantung di bibir langit. Ini hari pertamaku mengajar. Sekolah tempatku mengajar ternyata tak separah apa yang pernah terlintas dalam benakku. Sebelumnya aku membayangkan akan mengajar di suatu tempat terpencil dan terasing. Dengan bangunan sekolah yang terbuat dari kayu-kayu keropos yang siap roboh. Baralaskan tanah dan beratapkan genting-genting bocor. Hanya berbekal fasilitas seperangkat papan tulis berlumut beserta satu dus kecil kapur dan ketika kapur itu habis harus membeli ketempat yang jaraknya berkilo-kilometer melewati hutan rimba dan hadangan buaya ganas seperti di novelnya Bang Andrea hirata, Laskar pelangi. 

Untungnya imaginasi paranoid itu tak menjadi kenyataan. Faktanya gedung sekolah nampak berdiri gagah. Meskipun tetap masih terbuat dari kayu, tapi aku tahu ini kayu yang kokoh dan berkualitas. Bangku-bangku kelas berjajar rapi di atas ubin berwarna coklat kekuning-kuningan. Atapnya pun juga sudah cukup lumayan untuk ukuran standar keamananku.

Setelah acara seremoni perkenalan kepada seluruh warga sekolah, aku langsung ditugaskan kepala sekolah untuk mengajar kelas 5 melingkupi seluruh bidang studi umum kecuali pendidikan agama. Ada tujuh guru di sekolah ini termasuk kepala sekolah. Semuanya berasal dari luar Papua kecuali Pak Matheius, sang guru agama. Setiap guru memegangi satu kelas kecuali Pak Matheius yang khusus mengajar agama untuk semua kelas dan Bu Ratna yang merangkap memegangi kelas 1 dan 2. 

Prolog hidup baruku telah selesai dibacakan. Sekarang aku berada di ambang inti cerita, satu langkah kakiku mulai menjamah dimensi lain. Tinggal mensejajarkan yang satunya lagi. Kukuatkan tekad sambil berdoa. Lalu melangkah mantap memasuki kelas untuk pertama kalinya. 

Begitu masuk aku langsung disambut tatapan-tatapan penuh tanda tanya yang membuatku kikuk dan canggung. Kucoba mencairkan suasana dengan menyapu tatapan mereka sambil tersenyum lebar, namun belakangan aku sadari itu malah terlihat aneh. Susah payah kucoba mengendalikan keadaan dengan kembali memperkenalkan diri. Kemudian aku menyuruh setiap siswa untuk memperkenalkan dirinya masing-masing kepadaku. Ada satu siswa yang mencolok. Dia bernama Viktor. Tubuhnya yang paling tinggi dan besar dari anak-anak yang lain. Belakangan aku ketahui dari guru-guru yang lain bahwa Viktor sudah dua kali tidak naik kelas. Akan tetapi bukan kemencolokan fisik yang kumaksud, melainkan cara ia berbicara. Cara bicaranya berbeda dengan anak-anak lainya. Ia nampak kesulitan entah karena apa. Seperti seakan kebingungan dalam mengeja setiap kata. Namun, untuk saat ini hal itu belum aku hiraukan, masih ada banyak waktu nanti untuk mengurusinya. Fokusku saat ini tentu memberikan kesan pertama yang baik kepada anak-anak didikku. 

Hari pertama mengajar terasa begitu cepat. Mungkin karena aku terlalu bersemangat. Siswa-siswi pun mulai menyambutku hangat setelah perkenalan. Esok dan seterusnya hari-hariku akan berjalan seperti ini. Namun tentunya dengan situasi dan keadaan yang lebih kompleks lagi. Semoga aku siap. 



***

Hening membasuh pekatnya malam desa Manakuli. Tak ada riuh rendah suara keramaian atau sekadar terang benderang cahaya lelampuan seperti di kota tempatku tinggal dulu. Hanya bintik-bintik bintang yang menjuntai di langit saling berkonstelasi membentuk garis-garis geometris abstrak yang terlihat indah dari balik jendela bambu kamarku. Ditemani secangkir kopi hitam tradisional khas Papua, aku masih melalang buana dalam lamunan sambil sesekali mengeceki tugas-tugas yang telah dikerjakan para siswa. 

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuyarkan deru lamunanku. Langkah-langkah cepatku bergegas merespon, menghampiri pintu dan membukanya. Ternyata yang bediri di balik pintu adalah Viktor. Sebuah senyum merekah lebar dari bibir tebalnya. 

“Ma…Malam Bapak Reza. Sa pu punya pala lagi pe…pening ini Bapak. Sa mo minta tolong Bapak pa bo…boleh kah?” kalang kabut Viktor mencoba berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik. 

“Oh, pusing kenapa, Vik? Silahkan tanya saja.”

“Ini Bapak. Sa kemaren dapat bu…buku sejarah dari sodara di kota. Kata de orang ini bu buku bagus. Tapi sa mo baca susah. Apa boleh sa minta Bapak bacakan?” Viktor menatapku dengan raut muka penuh harap.

“Oh, tentu saja boleh, Viktor. Dengan senang hati. Kamu selalu tertarik dengan sejarah ya. Mari silahkan masuk.” 

Sebenarnya malam ini aku sedang sibuk mengoreksi tugas yang kemarin kuberikan kepada anak-anak. Akan tetapi, demi membalas raut muka penuh harap itu, akhirnya aku iyakan keinginannya. Di kelas Viktor memang sangat suka mata pelajaran IPS, terutama yang menyangkut sejarah. Ini sudah yang kesekian kalinya ia bertamu ke rumahku hanya untuk meminta dibacakan buku baru yang ia dapat. Ia tak bisa membaca. Lebih tepatnya kesulitan mengeja setiap kata. Viktor menderita disleksia. Semacam kelainan karena ganguan dari susunan saraf pusat sehingga menyebabkan penderita sulit untuk dapat membaca dan berbicara. Itu diagnosisku sementara, setelah selama ini mengamatinya lalu mengumpulkan beberapa sumber yang koheren dengan apa yang dia alami. Ditambah pengalaman empiris terhadap temanku yang mengidap disleksia dan memiliki ciri-ciri yang sama dengan Viktor membuatku semakin yakin.

Dulu ketika awal mengajar, aku menganggap Viktor siswa yang bodoh karena paling susah membaca. Namun lambat laun kuketahui dia tidak bodoh. Malah menurutku Viktorlah yang memiliki wawasan pengetahuan paling luas di antara siswa yang lain. Aku menyukai muridku yang satu ini. Dia memiliki semangat belajar dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi serta paling aktif dalam bertanya di kelas. Sayangnya sampai saat ini aku belum bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan penyakit disleksianya, mengingat fasilitas medis di sini sangat terbatas.

“Vik, dari mana kamu dapatkan buku ini? Ini buku berat, Vik. Saya rasa kamu masih terlalu dini untuk membaca buku seperti ini.” Aku terkejut ketika melihat sampul buku yang di bawa Viktor. Buku sejarah yang isinya menguak bukti-bukti bahwa Negeri Atlantis yang diceritakan oleh Plato, filsuf termasyur di dunia, adalah Indonesia. 

“Sa dapat dari so…sodara jauh di kota Bapak. Minggu lalu de orang maen ke rumah. De ka kasih ini buku ke. Memangnya bu…buku ini ke kenapa Bapak? Sa malah jadi penasaran ini. Ayolah Bapak sa pengen sa punya buku dibacakan.”

Dasar Viktor. Sudah kuduga kalimat sedikit tercengangku tadi pasti akan membuatnya makin penasaran. Buku yang dibawa Viktor terlalu rumit dan tebal untuk dibacakan secara lisan. Dulu aku pernah membaca buku sejenis ini yang berjudul “ATLANTIS : The Lost Continent Finally Found” karya Prof. Arysio Santos asal Brazil. Akhirnya dengan sedikit negosiasi aku menunda membacakan buku milik Viktor dan beralih menceritakan bukunya Prof. Santos yang sudah aku kuasai.

Atlantis adalah negeri tropis berlimpah mineral dan kekayaan hayati. Namun kemudian, segala kemewahan itu lenyap, tersapu bencana mahabesar yang memisahkan Jawa dari Sumatra, menenggelamkan lebih dari separuh wilayah Nusantara. Gunung Berapi Krakatau menjadi sumber bencana global tersebut (diperkirakan terjadi 11.600 tahun yang lalu). Ia meletus, menimbulkan rentetan gempa dan tsunami mahadahsyat, seratus kali lebih besar dari bencana Aceh 2004, yang pada puncaknya mengakhiri Zaman Es. Beberapa kitab suci menyebut bencana itu sebagai Banjir Semesta. 

Prof. Santos juga mengungkap fakta bahwa Atlantis adalah tempat ilmu dan penemuan besar manusia muncul kali pertama (budaya bercocok tanam, bahasa, metalurgi, astronomi, seni.). Peradaban-peradaban sesudahnya (Yunani, Mesir, Maya, Aztec, Inca.) sesungguhnya dibangun oleh bangsa Indonesia, yang mengungsi dari bencana, dan mewariskan pengetahuannya ke negeri baru mereka; sehingga ada banyak persamaan budaya dan arsitektur di setiap peradaban (teori difusi budaya).

Itulah sedikit cuplikan dari buku Prof. Santos yang aku ceritakan kepada Viktor. Sedari tadi ia begitu takzim menyimak ceritaku. Sesekali kepalanya bergeleng-gelang sporadis, mengekspresikan kekagumannya. “Be…berarti Indonesia nenek moyang dari segala bangsa di dunia ya? Wow keren!” ucap Viktor menyimpulkan. Aku tutup cerita malam ini dengan menasehatinya untuk rajin belajar. Menjelang pukul sebelas malam, ia baru beranjak pulang.

***

Hujan deras mengiringi suasana pagi hariku. Gara-gara Viktor aku jadi bangun kesiangan. Tadi malam aku baru bisa tidur pukul satu dini hari karena harus ngebut mengoreksi tugas para siswa yang tertunda gara-gara kedatangannya. Setelah semua peralatan mengajar tuntas kumasukkan ke dalam tas, aku bergegas menuju sekolah. Aku harus menempuh jalur setapak sepanjang hampir 700 meter dengan jalan kaki agar bisa sampai ke sekolah. Hawa dingin pun mulai menyeruak menghujami tubuhku sampai menyentuh tulang. Sambil tetap berpayung, aku terus melangkah sampai akhirnya tiba.

Sesampainya di sekolah aku sama sekali tak mendapati satu siswa yang menampakkan dirinya. Sepi, senyap, dan sunyi. Guru-guru pun hanya segelintir yang hadir. Apa yang terjadi? Kulihat Pak kepala sekolah berjalan menghampiriku. Sekilas raut mukanya nampak merasa bersalah.

“Sebelumnya saya minta maaf Pak Reza karena belum sempat memberitahukan Pak Reza mengenai ini.” Ia memulai percakapan.

“Mengenai ini? Maksudnya apa ya pak?”

“Begini, hal ini memang sering terjadi di sekolah kami Pak Reza. Tentu Anda sendiri paham betapa masih rendahnya kesadaran masyarakat di sini tentang pentingnya pendidikan. Ini pertama kalinya turun hujan deras semenjak kedatangan Pak Reza di desa ini. Ketika hujan deras datang siswa-siswa di sini selalu tak pernah ada yang hadir. Mereka lebih memilih tetap di rumah dari pada harus bersusah payah menerjang hujan demi sekolah dan belajar. Padahal kami sudah berusaha membagikan payung kepada setiap keluarga yang anaknya bersekolah di sini namun sepertinya tetap tidak sesuai harapapan.” 

Aku tak langsung merespon ucapan Kepala sekolah yang telah selesai beberapa detik yang lalu. Hanya diam sambil mencoba memahami kondisi yang terjadi. “Baik Pak. Karena tidak ada siswa yang masuk…..Eee…..kalau begitu saya pamit pulang." Tanpa perlu menunggu persetujuan, aku langsung balik kanan dan meninggalkan kepala sekolah. Tak memperdulikan reaksinya.

Aku tak tahu kenapa diriku sekesal ini. Perasaan kecewa tiba-tiba saja dengan cepatnya menggelayuti batinku. Hah! Aku tak habis pikir, kukira penduduk di sini memiliki semangat belajar yang sama tingginya ketika mereka menyambut kedatanganku dulu. Ternyata tidak sama sekali.

Sebelum benar-benar keluar dari gerbang sekolah, kulihat Viktor baru saja sampai dengan napas terengah-engah. Sebagian bajunya nampak basah karena ia tak memakai payung. 

“Ma…maaf Bapak Reza sa terlambat he. Sa tak ada payung jadi sa tunggu hujan reda baru ke sekolah. Ke…ke mana Bapak Reza mau pergi?”

“Teman-temanmu tidak ada yang masuk, Vik. Kalau kau mau, ayo kita belajar di rumah Bapak saja.” Jawabku dengan muka yang masih masam.

Viktor langsung menurut. Mungkin dia tahu perasaanku sedang tidak baik. Atau mungkin dia malah lebih suka belajar privat denganku dari pada bersama teman-temannya di kelas. Dalam perjalanan mendadak hujan kembali turun deras. Viktor tak membawa payung. Sedang payung yang kubawa hanya muat dipakai untuk satu orang. Akhirnya aku mengalah dan memberikan payungku kepadanya. Tak apa. Lebih baik aku yang kehujanan dari pada dia, setidaknya ketika sampai rumah aku bisa langsung mengganti bajuku yang basah. Sesampainya di rumah aku melanjutkan ceritaku tentang negeri Atlantis. Viktor menyimak antusias sekali. 

***

Mendung masih membumbung di awang-awang. Gemercik gerimis masih terdengar lemah lembut ketika bersentuhan dengan genting. Hawa remang mengambang melebur bersama sepoi angin yang menggantung di udara. Menciptakan sensasi dingin yang membuat bulu-bulu halus di kulit merinding ketika tersentuhnya. Komposisi itu semua, menciptakan sebuah hibrida klasik yang bernama “kenangan”.

Tak terasa, ternyata sudah delapan bulan lebih aku menjalani romantika kehidupan baruku sebagai pengajar di desa ini. Perasaan jemu dan jenuh mulai menggelayuti hati. Rasa rindu kepada mamah yang kutinggal sendirian di rumah menyeruak begitu kuat, membanjiri pikiranku. Ditambah para siswaku yang tak kunjung paham pada materi yang sudah berulang kali kuajarkan membuatku frustrasi. Kemampuan akademik siswa-siswa di sini memang tergolong lemah jika dibandingkan dengan daerah seperti Jawa atau Sumatera. Rata-rata siswa di sini malas untuk belajar bidang studi yang mengharuskan mengeksplorasi otak berlebih, seperti matematika dan IPA. 

Sering kali aku berkeluh kesah kepada sesama guru di sekolah, tapi bukanya memberikan semangat dan motivasi malah mereka balik membalas dengan keluh kesah yang lebih menyedihkan.

Semua itu membuatku lelah. Puncaknya terjadi hari ini ketika sudah susah payah semalaman aku ngelembur mengoreksi tugas dan paginya menerjang hujan untuk menuju sekolah, malah ketika sudah sampai aku sama sekali tak mendapati siswaku yang hadir kecuali Viktor. Itu benar-benar membuatku kesal. 

Mendadak aku kembali teringat tujuan awalku datang ke sini. Bukankah tujuan utamaku hanya untuk mendapatkan gelar PNS? Sudah itu saja. Bukankan aku tak benar-benar berniat mengajar di sini? Jalan ini adalah opsi terakhir yang terpaksa harus kupilih. Seharusnya aku tak perlu kesal dengan sikap siswa-siswaku. Biarkanlah mereka bertindak semaunya. Bukan urusanku. Peduli setan mereka mau belajar atau tidak, yang penting mereka tidak mengganggu kepentinganku dan aku masih tetap mendapat gaji. 

Malam ini kurasakan dingin yang begitu menyengat. Tubuhku menggigil dan gigiku bergemeretak. Mungkin karena efek kehujanan tadi pagi membuatku sakit. Kini aku terkapar di kasur. Lemah tak berdaya. Menahan dingin bercampur dengan rasa jenuh dan frustrasi yang telah mencapai titik kulminasinya. Aku mulai tak mampu menahan kelopak mataku untuk tidak terpejam. Kurasakan pudar dalam kegelapan. Dan aku mulai berhalusinasi. Mendadak kurasakan dunia seakan menjadi medan ambuguitas. Aku dibuat bingun dengan segala yang telah terjadi di sini. “Untuk apa aku berada di sini?” menjadi pertanyaan paling sulit yang tak dapat kutemukan jawabannya. 

Barang kali, ini menyangkut rasa kemanusiaan dalam lubuk hati atau bisa jadi hanya sebatas kepentingan pribadi. Aku terjebak dalam dimensi tak berujung yang mempermainkan kontruksi batinku. Ah, segalanya terasa begitu menyedihkan malam ini. 

***

Hari ini kuputuskan tidak berangkat sekolah. Tubuhku sungguh tak bisa diajak kompromi. Untung hari ini tidak turun hujan. Setidaknya suasana pagi ini tak sedingin tadi malam. Di sekitar dedaunan masih basah oleh embun yang belum menguap. Susunan rangkum bunga anggrek biru khas papua nampak indah di ujung mata. Perlahan-lahan kembali memekarkan diri bersamaan dengan terbitnya mentari.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu yang khas. Itu pasti Viktor. Aku agak gontai beringsut perlahan menghampiri pintu dan membukanya. Intuisiku sungguh jitu. Mahluk yang berdiri di balik pintu tepat sesuai dugaanku. Viktor.

“Hai, Vik. Selamat pagi. Ada apa? tumben kamu ke sini pagi-pagi?” Kusapa dia dengan mata layu sambil menahan dingin akibat hembusan angin yang menerpa setelah pintu terbuka. 

“Eee… ini Bapak sa cuma mengantar ti…tipan mamah buat Bapak Reza. Katanya se…sebagai ucapan makasi kemaren mengantar sa pulang pakai payung. Ba…bapak Reza sedang sakit kah? Bapak punya wajah pucat sekali. Pa…pasti ini efek kehujana kemarin. Apa Bapak mau sa anter ke puskesmas?”

“Ehm ehm. Oh, tak usah ,Vik. Nanti diizinkan ya saya tidak bisa ke sekolah hari ini sedang tidak enak badan. Bapak ke puskesmas sendiri aja. Kamu belajar saja yang rajin ya. Biar jadi orang pandai.”

“Eee…baiklah kalo gitu Bapak. Sa pamit dulu. Semoga cepet sembuh ya.”

Seusai menyalimi tanganku, Viktor langsung melangkahkan kaki menuju sekolah. Namun, baru beberapa langkah ia berhenti dan menoleh ke arahku yang masih berdiri di depan pintu. Sambil tersenyum ia berkata:

“Bapak Reza, makasi sudah membacakan buku tentang Negeri Atlantis. Sa tahu memang pulau Papua bukan termasuk wilayah Atlantis ketika 11.600 tahun yang lalu karena masih menyatu dengan lempeng Indo-Australi. Tapi sekarang Papua sudah menyatu dengan Indonesia. Indonesia adalah Atlantis. Berarti Papua sekarang termasuk bagian dari Atlantis. Meskipun Atlantis sudah hancur tapi sa yakin Atlantis akan bangkit lagi karena ada pulau Papua. Papua adalah embrio yang kelak akan lahir menjadi Atlantis baru yang bernama Indonesia. 

Sa akan belajar giat Bapak. Sa mau jadi professor. Dan sa berjanji akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia seperti yang terjadi pada 11.600 tahun yang lalu.” Viktor tersenyum beberapa detik setelah menuntaskan kalimat-kalimatnya tadi. Lalu berlalu meninggalkanku dengan langkah mantap. 

Aku terkesan mendengar ucapan Viktor yang begitu bergelora. Dari mana dia mendapatkan kata-kata seperti itu yang membuatku merinding? Sama sekali tak terpikirkan dalam benakku kelak dia akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Tatapannya begitu tajam dan serius, seolah-olah ia begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan. Seolah-olah ucapannya merupakan sebuah takdir yang pasti terjadi. Bahkan cukup lama aku baru sadari kalau dia berbicara dengan lancar tak seperti biasanya. 

***

Daun-daun yang berguguran di tanah menjadi alas berpijak untuk langkah-langkahku yang baru selesai berobat di puskesmas. Embrio Atlantis? Viktor memang mahluk yang istimewa. Aku tak paham dengan cara berpikirnya hingga sampai membuat hipotesis seperti itu. Sejujurnya aku malu dengan diriku yang masih terlalu mengedepankan ego sendiri. Hanya gara-gara masalah kemarin siswa tidak ada yang hadir, aku langsung kesal. Ucapannya tadi membuatku tersadar. 

Di sinilah titik baliknya untuk diriku. Aku lupa, sebagai seorang kaum terpelajar aku terlalu sibuk membicarakan soal kesuksesan dan tercapainya impian yang diharapkan. Pengabdian seolah hanya tugas bagi para veteran. Sudah menjadi sebuah keharusan bagiku. Mendidik adalah tanggungjawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di negeri ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki negeri ini pula. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan. 

Di sini, di negeri cendrawasih ini, banyak sekali anugerah yang telah Tuhan berikan. Viktor benar, Papua memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk menjadikannya embrio Atlantis. Bahkan benar-benar menjadi Atlantis. Mahluk-mahluk seperti Viktor tidak boleh di sia-siakan. Merekalah penduduk asli Papua yang kelak akan mewujudkan mimpi itu. Melahirkan kembali Atlantis. Aku harus bertahan di sini. Dengan segala hal yang merintangi jalanku, aku harus tetap bertahan di sini. Untuk Viktor, untuk Papua, dan untuk Indonesia. 



Fuad Akbar Adi

~Fu~





























Read more ...
Designed By