Breaking News

Sabtu, 13 Desember 2014

Bunga Mawar di Tepi Gaza

Oleh: Fuad Akbar Adi

Malam yang dingin dan hening, suatu yang sangat langka sekali di sini semenjak agresi militer yang dilakukan Israel lebih dari sebulan yang lalu. Aku rindu suasana malam saat di kampung, betapa sunyinya di sana. Damai, tanpa adanya teriakan dan tangisan dari anak-anak dan para wanita akibat suara dentuman keras rudal-rudal Israel yang menghantam pemukiman warga palestina. Aku masih terjaga dari tidurku padahal sekarang jam di dinding sudah menunjukan pukul 02.30, bukanya aku sengaja begadang, melainkan memang tak bisa tidur. Aku tahu persis, di saat-saat seperti inilah waktu yang paling di sukai Israel untuk membombardir gaza, dengan alasan ingin menyerang dan membalas perbuatan Hamas. Selalu itu alasanya, alasan yang mengada-ada, alasan yang selalu membuatku tersenyum geli dan sinis saat mendengarnya. Kebanyakan teman-temanku juga belum tidur, mereka semua menanti. Menanti dan bersiap untuk beraksi dalam sebuah pertunjukan paling dramatis di dunia ini.

Wow, sudah pukul 04.45, sebentar lagi subuh. Sungguh sebuah keajaiban untuk hari ini, tidak ada suara teriakan-teriakan dan tentunya dentuman keras rudal Israel. Aku tersenyum dan menghela nafas lega. Kami semua akhirnya diintruksikan oleh kepala staff rumahsakit untuk menunaikan salat subuh. “Sepertinya hari ini Israel lagi gak mood mainan rudal” ucap kepala staff dengan senyum ke arah kami.

Namun, sepertinya ucapan kepala staff kami salah, Isarel bukanya sedang tidak mood bermain rudal melainkan mereka bangun kesiangan karena bagadang nonton bola mungkin. Saat kami hendak berwudu, terdengar suara dentuman keras dari arah timur rumahsakit Indonesia ini. Teriakan dan tangisanpun terdengar menyusul tak lama kemudian. Kami langsung berpaling dan berhamburan mempersiapkan segalanya.

“Cepat-cepat kembali ke posisi. Ambulan! Ambulan! Siapkan sepuluh ambulan, ayo cepat bergagas ke TKP sebelum terlambat!” kepala staff berteriak kepada para anak buahnya.

Suasana di rumahsakit bertambah kacau satu jam kemudian. Ambulan-ambulan telah berdatangan. Para korban dikeluarkan dan langsung dibawa masuk ke rumahsakit. Kebanyakan memang para korban adalah anak-anak dan wanita, namun diantara itu ada seorang pria dewasa dengan badan kekar yang terluka parah sambil menggenggam bendera Palestina, ia dikeluarkan dari ambulan dan kebetulan aku yang harus merawatnya. Kubaringkan dia secara perlahan ke kasur.

“Novi, cepat! Mana obat penahan rasa sakitnya?” aku teriak memanggil asistenku.

Secepat kilat Novi berlari menghampiriku, kemudian memberikan obat penahan rasa sakit itu tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Aku kaget saat kulihat dia hanya membawa sedikit obat penahan rasa sakit yang berbentuk cairan itu.

“Hey, obat segini mana cukup? Lukanya terlalu parah dan di sekujur tubuh, kalau hanya segini tak dapat mengurangi rasa sakitnya sama sekali. Cepat ambil lagi!” Perintahku lagi ke pada Novi.

“Maaf bu, persediaan obatnya sudah habis, korban kali ini terlalu banyak. Stok obat rumahsakit tidak cukup” jawabnya dengan keringat yang terus menetes dari wajahnya.

Sialan. Apa yang harus kulakukan? Disaat seperti ini aku tidak boleh panik. Akhirnya dengan terpaksa, kusuntikan obat penahan rasa sakit itu kepada korban yang aku tangani walaupun aku tahu ini tak akan membantu banyak. Setelah selesai menyuntikan obat penahan rasa sakit, kubersihkan semua lukanya dan kuperban bagian yang masih mengelurakan darah. Saat ini hanya itu saja yang dapat aku lakukan. Aku tak tega melihat korban-korban yang terus saja menangis kesakitan. Hal ini membuat hatiku makin pilu, tak tersadar olehku air mata keluar membanjiri kedua pipiku. Namun, tiba-tiba pasien di sampingku ini menyentuh tanganku.

“Jangan menangis. Aku tidak apa-apa. Aku masih kuat menahan rasa sakit ini. Terimakasih banyak. Siapa namanu?” ucapnya perlahan menggunakan bahasa arab yang sedikit kuketahui, karena aku memang sudah lama bekerja di tempat ini.

“Ohhh, Mawar, panggil saya aku Mawar. Kamu kuat, siapa namamu?” tanyaku spontan.

“Mawar? Nama yang bagus, tapi apa artinya?” dia malah balik nanya.

“Hmm, Mawar adalah nama bunga di Indonesia yang berwarna merah. Berduri namun sangat indah dan harum baunya. Hey, tapi kamu belum menjawab pertanyaanku, siapa namamu?”

“Haha, namaku Ali. Aku belum pernah melihat keindahan dan mencium harumnya bau bunga Mawar. Suatu saat, aku ingin melakukan hal itu. Maukah kau menemaniku?” dengan mengerutkan jidat, Ali tersenyum ke padaku.

“Tentu saja Ali, sesudah perang ini berakhir tapi. Haha ayolah, kau masih muda umurmu masih panjang.” sambil mengambil perban, kubalas senyumnya.

Usut punya usut, ternyata Ali adalah pejuan Palestina. Dia tidak bergabung dengan Hamas, namun dia sangat benci dengan Israel. Israel telah menghancurkan segalanya. Rumah, kampung halaman, dan tentunya keluarganya. Dia satu-satunya yang tersisa, orangtua dan kedua adiknya meninggal saat serangan Israel dua minggu yang lalu. Kini ia bersama pemuda-pemuda lain berjuang mempertahankan tanah kelahiranya, bahkan lebih baik dia mati dari pada harus meninggalkan tanah kelahiranya ini.

***

Sudah lebih dari tiga hari Ali dirawat di sini. Sebenarnya dari hari pertama dia masuk ke rumah sakit ini, Ali sudah ingin pergi, untuk kembali berperang tentunya. Walau sebenarnya kondisinya masih belum 100% sembuh, tapi apa boleh buat aku tak bisa menahan tekadnya. Ditambah para korban baru yang berdatangan setiap harinya, membuat rumahsakit menjadi makin penuh sesak.

“Jadi, kamu akan kembali berperang lagi?” tanyaku saat Ali telah bersiap untuk pergi.

“Iya, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Kami akan vakum empat hari mempersiapkan rencana dan strategi. Setelah itu kami akan bertempur habis-habisan” jawab Ali dengan mata tajamnya mengarah ke padaku.

Jawaban itu membuatku tercengang. Aku terdiam sesaat sambil menelan ludah dalam-dalam. Apakah hari ini adalah terakhir kalinya aku bertemu denganya? Walaupun baru sebentar kami saling mengenal, aku sudah sangat suka berteman dengan Ali. Dia masih muda 25 tahun, lebih tua satu tahun dibanding denganku. Dia baik dan ramah. Terkadang dia sering menggodaku dengan rayuan romantis ala palestina yang tak semuanya aku mengerti. Dia adalah orang yang pemberani dan patriotisme.

“Bertempur habis-habisan katamu?”

“Yah mungkin, aku juga tak tahu apakah akan selamat dari pertempuran ini. Sebenarnya aku benar-benar ingin melihat bunga Mawar yang kau katakan itu, tapi sepertinya aku belum bisa melihatnya di dunia ini, mungkin di surga kali ya” ungkapan Ali yang benar-benar menyentuh hatiku.

“A Ali, jangan bilang seperti itu. Kau telah membuatku sedih” dengan mata yang berkaca-kaca aku pandang Ali tanpa berkedip.

“Jangan bersedih, aku yakin kelak kita akan bertemu lagi, walaupun jika tidak di dunia ini, bisa kan kalau kita bertemu lagi di surga nanti?” balas Ali sambil menunjukan wajah tegarnya.

Aku tak kuasa menahan tangis. Aku menunduk sambil menutupi mulutku agar tangisanku tak terdengar oleh Ali. Namun, sudah pasti dia tahu dengan mimik mukaku yang seperti ini. Sejenak dia kembali tersenyum kepadaku. Kemudian dia memelukku sangat erat. Kubalas pelukanya spontan. Dia telah membuatku jatuh cinta. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya. Bahwa aku tak mau kehilanganya, namun aku tak berani. Aku juga harus menjaga imageku sebagai seorang perempuan. Namun ternyata . . .

“Mawar, sebenarnya . . . “ Ali masih memelukku.

“Sebenarnya apa Al?”

“Sebenarnya aku ini suka denganmu. Kau sangat mirip dengan ibuku. Saat kulihat matamu, aku seperti melihat mata ibuku. Kau selalu mengingatkanku denganya. Aku ingin sekali kelak punya istri yang mirip dengan ibuku dan itu kau, Mawar” Ali makin mempererat pelukanya.

“Kau menyukaiku? Benarkah kau menyukaiku?” aku masih ragu.

“Jika aku bisa kembali lagi ke sini, maukah kau kupinang dan menjadi istriku?

Tak kusangka, Ali akan mengatakanya secepat ini. Begitulah adat di Palestina. Tidak ada kata pacaran. Sebentar berkenalan kalau sudah cocok sang pria akan langsung melamar tanpa basa-basi. Aku masih terkejut aku tak tahu harus menjawab apa. Rasa malu pun masih belum sirna walau kami tetap berpelukan erat. Aku hanya bisa menganis sambil memeluknya lebih erat sebagai tanda terimaku untuk dia pinang.

“Terimakasih Mawar. Aku berjanji aku akan kembali. Terimaksih atas segalanya. Jaga dirimu baik-baik” dengan senyuman lebarnya, Ali pergi meninggalkanku dengan meninggalkan janji yang akan selalu kusimpan dalam lubuk hatiku.

****************

Sekarang sudah lima hari, semenjak Ali pergi dari Rumah Sakit Indonesia(RSI). Rumahsakit yang didirikan oleh para donator-donatur Indonesia dan rata-rata para pegawainya adalah orang Indonesia. Berati hari ini adalah hari pertempuran itu. Jangtungku berdegup sangat keras saat kuingat hal itu. Aku khawatir sekali dengan apa yang akan terjadi kepada Ali. Aku hanya bisa terus mendoakanya, semoga dia diberi keselamatan oleh Allah S.W.T.

Hari ini aku tidak melakukan aktifitas seperti biasanya. Aku lebih suka terpaku di jendela lantai tiga rumahsakit. Agar aku bisa lebih jelas menyaksikan apa yang terjadi di luar sana. Kulihat gerumunan orang yang sepertinya kukira itu para pejuan Palestina berkumpul di bawah sebuah gedung yang hampir roboh. Aku tak melihat Ali. Kucoba sipitkan mataku agar lebih fokus ke satu titik, namun tetap aku tak melihatnya. Terlalu sulit dengan jarak sejauh itu aku dapat melihat Ali. Kembali tubuhku menjadi lemas dan hanya bisa berdoa lagi.

Setengah jam lamanya aku masih fokus menyaksikan para pejuan Palestina yang sedang mempersiapkan diri. Kini jumlah kerumunan itu makin banyak. Ditambah senjata-senjata seperti senapan dan roket-roket yang siap diluncurkan, membuatku tak mampu bergeming dari tempatku berada sekarang.

Tak lama kemudian terdengar teriakan ALLAHU AKBAR!!! ALLAHU AKBAR!!!ALLAHU AKBAR!!!. Gerumunan yang tadi jumlahnya sekitar 500 orang kini berpencar ke segala arah. Mungkin ini strategi yang mereka terapkan. Suara tembakan dan ledakan kini mulai terdengar menyeruak membuat sakit gendang telingaku. Nafasku berhembus makin cepat. Bola mataku membelalak hampir keluar dari kelopak mata.

Suara tembakan dan ledakan makin lama makin sering terdengar dn bertambah keras, ditambah suara jeritan yang membuatku miris. Hatiku tersayat-sayat saat mendengarnya. Apakah itu jeritan Ali? Membayangkanya membuatku tak sanggup lagi menyaksikan drama perang-perangan terdasyat di dunia tahun ini. Kuberpaling dari jendela. Membelakanginya, dengan kedua tangan saling memnggenggam dan mulutku pun tak hentinya berkomat-kamit membaca doa untuk keselamatan Ali. Kucoba melihat jam dinding rumahsakit, sudah menunjukan pukul 11.15 berarti pertempuran ini sudah berlangsung hampir tiga jam. Sebenarnya aku cukup lega, karena sepertinya yang kulihat nampak Israel kualahan menghadapi serangan yang dilancarkan oleh para pejuang Pelestina. Hingga sedikit senyum simpul tersetak di bibirku.

Aku membayangkan seandainya Ali dapat selamat dari pertempuran ini, kemudian dia kembali dan melamarku. Setelah kami menikah dan perdamaian terjadi antara Israel dan Pelestina. Lalu akan kubawa Ali ke Indonesia untuk kutunjukan padanya indah dan harumnya bunga mawar. Hahhhh, indah sekali aku membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Sekarng senyumku malah semakin lebar di saat-saat kritis seperti ini. Kini aku memberanikan diri untuk kembali menghadap ke jendela, aku kaget ternyata suara-suara horror tadi sudah tak terdegar lagi. Apa yang terjadi? Apakah sudah selesai?

“Huhhh, leganya sepertinya pertempuran sudah selesai ya buk?” ucap Novi asistenku yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku.

“Hey, sejak kapan kau di sini?” aku hampir jatuh karena saking kagetnya melihat Novi.

“Ha? Perasaan aku sudah ada di sini dari tadi buk. Bu Mawar saja yang terlalu serius memperhatiakan pertempuran itu sehingga tak memperdulikan sekitar ibu”

“Oh, begitu ya. Maaf Nov. Tapi apakah pertempuran benar sudah berakhir?”

“Emmm, nampaknya gitu. Soalnya sudah tidak terdengar suara tembakan apapun lebih dari setengah jam bu”

Mungkin gara-gara lamunan tadi, membuatku tak sadar bahwa sudah tidak ada lagi tembakan yang terdengar lebih dari setengah jam. Kulihat jam dinding lagi. Benar, sekarang sudah jam 12 tepat, aku juga mulai mendengar kumandang adzan dari mushola rumahsakit pertanda waktu salat duhur. Akan tetapi tiba-tiba . . .

Duarrrhhhh!!! Terdengar suara ledakan keras sekali. Bukan-bukan, suara ledakan ini biasa saja sama seperti ledakan yang lain, Cuma, jaraknya yang terlalu dekat. Apa yang terjadi? Kini kudengar suara teriakan orang-orang yang terdengar sangat jelas. Ini memperjelas identifikasiku, bahwa ledakan tadi berada tidak jauh dari rumahsakit atau malah memang berasal dari rumahsakit sendiri. Ledakan demi ledakan terus terdengar olehku. Ada empat ledakan mungkin. Aku berlari tak tahu kemana. Kudapat melihat ada kobaran api yang membuat nafasku sesak. Terdengar Novi berteriak memanggilku. Dia sudah berada di pintu darurat dan menyuruhku ikut denganya. Aku berlari menuju ke arah Novi, namun tiba-tiba sebuah benda yang terbakar jatuh di depanku. Aku terjebak, aku tak dapat ke mana-mana lagi. Tangisku pun akhirnya pecah. Aku panik dan bingung, namun tiba-tiba sebuah tangan menggenggamku.

“Ikut denganku” sebuah suara yang terdengar berat namun tak asing di telingaku.

“Ali? Kau selamat? Ali kau kembali? Benarkah kau kembali?”

“Aku tak mau mati dengan masih menyisakan rasa penasaranku akan bunga Mawar” senyum lebar Ali menghiasi wajahnya.

Aku sangat senang sekali. Tak kusangka Ali akan selamat. Kini dia disampingku dan menyelamatkanku. Kami pun terus berlari menyusuri lorong-lorong gedung yang penuh dengan kobaran api. Ali sangat cekatan memanduku keluar dari gedung. Dia sangat pandai membaca situasi, hingga aku merasa aman berlari disampingnya.

Sekarang kami sudah berada di lantai dua rumahsakit dan siap turun ke lantai satu. Ali lebih dulu menginjak-injak tangga, memastikan tangga itu aman untuk aku dan dia lalui. Sedikit wajah merona menghiasi wajahnya saat dia memandangku.

“Aman. Kita bisa lewat tangga ini. Ayo cepat” sabil masih menginjak-injak bagian tangga yang lain.

Ali berjalan lebih dulu sambil tetap memegang tanganku erat. Berjalan pelan dan hati-hati. Namun, tiba-tiba tangga yang aku pijaki ini bergerak miring. Sepertinya mau roboh. Aku terpeleset dan jatuh tersungkur, namun Ali masih memegang tanganku. Sekuat tenaga dia membangunkanku. Akan tetapi hal ini membuat keseimbanganya goyah, ditambah sebuah puing tembok besar akan jatuh tetap mengenaiku. Ali berteriak kepadaku.

“Mawar! Awas! Di atasmu!” teriak Ali terkejut.

Sebelum aku sempat mendongakan wajahku ke atas, tiba-tiba Ali menerjangku dan membuatku terlempar jatuh dari tangga. Aku jatuh dari tangga dengan posisi tengkurap, badanku terasa sangat sakit, sedikit luka juga nampak pada kedua sikutku. Namun aku selamat. Tangga itu tidak terlalu tinggi, ditambah aku jatuh saat sudah melewati lebih dari separuh badan jalan tangga. Aku baik-baik saja. Aku mampu berdiri dan selamat dari kejatuhan puingan tembok. Namun, bagaimana dengan Ali? Di mana dia? Setelah dia menerjangku, dia tidak menampakkan dirinya lagi. Kucari dia dia balik reruntuhan puing bangunan tadi. Betapa kagetnya aku saat melihat Ali tertindih sebuah puing bangunan yang cukup besar. Hampir setengah badanya tertindih oleh puing itu. Dia terluka parah dengan terlihat sebuah luka menganga di kening sebelah kananya yang terus mengeluarkan darah. Aku panik, instingku mengarahkanku untuk mengangkat puing yang menindih Ali. Tapi apa daya, puingnya terlalu berat. Aku tak dapat melakukan apa-apa selain menangis dan sesekali meminta tolong kepada siapapun. Namun tak ada yang dapat menolong, bahkan seorang temanku yang memiliki badang kekar tak mampu mengangkat puing yang besar itu. Aku frustasi dan kembali menangis, di saat seperti itu para temanku malah memintaku untuk segera keluar dari rumahsakit. “Gedung ini akan segera roboh. Cepat keluar selamatkan dirimu!” Aku tak peduli dengan ucapan mereka, aku masih bergeming di samping Ali yang terkapar dengan raut wajah pasrah. Aku lebih memilih tetap di sini dan mati bersama Ali dari pada aku harus meninggalkanya yang notabene adalah orang yang aku cintai dan telah menyelamatkan nyamaku.

“Aku tak akan pergi Al. Aku kan tetap di sini bersamamu. Aku lebih memilih kita mati bersama dari pada harus meninggalkanmu” kuyakinkan Ali.

“Hhhhh, jangan bodoh. Jangan sia-siakan nyawamu begitu saja. Warga Palestina masih sangat membutuh jasamu. Bantulah mereka. Perjuanganku datang ke sisi akan sia-sia jika kamu tetap tidak selamat. Ayolah Mawar, pergilah. Aku kan selalu di sisimu walau tidak dengan ragaku”

“Tapi Al aku . . .”

“Dengarkan aku! Cepat pergi dan selamatkan dirimu jika kau benar mencintaiku. Ingat ini bukan akhir dari segalanya, kita masih bisa bertemu lagi di surga kan? Dan saat itu kau akan menunjukan kepadaku keindahan dan keharuman bunga mawar yang pernah kau ceritakan” suara Ali terdengar semakin berat.

Mengdengar ucapan itu, membuatku makin sedih. Aku menangis sejadinya, namun sebelum aku selesaikan tangisanku, kedua lenganku dicengkram oleh tangan-tangan kekar teman-temanku. Mereka memaksaku pergi dari tempat ini berkat kode yang telah Ali berikan kepada mereka. Aku meronta sekuat tenaga namun tak berguna mereka terlalu kuat untuk seukuranku.

“Lepaskan aku! Lepaskan!” jeritku dengan masih meronta-ronta.

“Sudahlah Mawar. Iklaskan dia. Perjuanganya tidak akan sia-sia. Dia akan meninggal dengan keadaan sahid dan sudah jelas akan masuk surga” seorang temanku mencoba menenangkanku.

Batinku benar-benar kacau saat itu. Aku tumpah dalam kesedihan yang teramat dalam. Seorang yang aku cintai akan mati setelah dia menolongku dan aku tak dapat melakukan apa-apa selain menangis dan menagis.

Kini sudah hampir setengah jam dan aku masih memanndang sisa-sisa puing yang berserekan. Aku terus berdoa dan berharap semoga Ali masih hidup sambil menanti datangnya bantuan. Setelah lebih dari dua jam aku menunggu, bantuan baru datang. Sudah sangat terlambat menurutku. Namun aku tetap senang karena setidaknya masih ada harapan kalau Ali bisa selamat. Aku terus mengikuti para petugas mengevakuasi orang-orang yang masih terperangkap di gedung rumahsakit. Kulihat beberapa diangkut dengan tandu mayat yang berarti menandangan bahwa orang yang dievakuasi telah meninggal. Namun ada juga yang selamat meski dengan luka parah. Hal ini membuatku masih menyisakan harapan akan keselamatan Ali.

Akan tetapi sepertinya tuhan berkehandak lain. Ali ditemukan telah tewas karena kehabisan darah akibat luka di bagian kanang keningnya. Aku tak kuasa lagi menahan sedih. Tangisku kembali pecah namun tak sekeras tangisanku sebelumnya. Mungkin karena tenagaku sudah habis karena hampir lebih dari tiga jam aku hanya menagis saja. Kulihat wajah Ali yang telah tewas menyimpulkan senyum lebar seperti biasa. Sejenak aku tersenyum melihatnya. Ali tewas dengan sebuah senyuman tergores di wajahnya. Aku sangat sedih, namun aku kembali ingat dengan pesan-pesan terakhir Ali. Bahwa kami masih bisa bertemu lagi di surga nanti dan saat itu akan kutunjukan kepadanya keindahan dan keharuman bungan Mawar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By