Breaking News

Minggu, 08 Mei 2016

Ulasan Novel Rahvanaya Aku Lala Padamu Karya Sujiwo Tejo

Oleh: Fuad Akbar Adi

Pertama kali melihat sampul dan judul buku ini, sebenarnya saya sudah menduga kalau ini semacam antitesis terhadap perspektif umum yang berlaku tentang epos klasik Ramayana dengan melakukan pemberontakan cerita, mengubah tokoh antagonis, Rahwana menjadi sosok yang memiliki karakter-karakter khas tokoh protagonis. Beberapa sastrawan saya ketahui sudah terlebih dahulu melakukan hal semacam itu, sebut saja sajak-sajak Sita dari Eyang Sapardi Djoko Darmono dan karangan-karangan Seno Gumira Ajidarma. Namun tetap saja buku ini begitu unik dan menarik bagi saya, selain karena bentuknya berupa novel roman yang manis nan romantis, juga jelas sang penulis yang notabene seorang dalang terkemuka pasti mempunyai sudut pandang yang lebih dalam soal cerita pewayangan serta personifikasi dari tokoh wayang ke dalam kehidupan masa kini sungguh bagi saya itu antimainstream. 

Novel Rahvanaya merupakan cerita perjalanan Rahwana dalam bentuk surat-surat yang ditulis dengan sangat mesra untuk Sinta. Gaya semacam ini sebelumnya pernah saya temui dalam novelnya Fadh Pahdepie yang berjudul “Jodoh”. Dalam novel Fadh tersebut penggunaan sudut pandang “Aku” dan penyebutan tokoh pembantu—dalam konteks ini adalah tokoh wanita yang sangat mempengaruhi jalan cerita tokoh utama—dengan “Kamu” bertujuan untuk memberi kesan khusus bahwa cerita ini dari “Aku” untuk “Kamu”. Bagi pembaca awam—cie sok ahli—, saya yakin pasti akan kebingungan dengan penggunaan sudut pandang “Aku” dalam novel Rahvanaya yang terkesan ambigu karena tidak jelas apakah tokoh “Aku” ini seorang Rahwana atau tokoh lain, mengingat Sujiwo Tejo seakan sengaja membiaskan tokoh utama tersebut dengan ketidakkonsistenan narasi dan tak mengeksplisitkan identitas asli tokoh “Aku”. Asumsi saya, Mbah Jiwo memang sengaja menciptakan kebingungan tersebut dengan tujuan yang persisnya belum saya ketahui. 

Bagi saya novel ini memiliki nilai estetika yang tinggi dengan sedikit kerumitan di dalamnya. Meskipun novel ini terbilang tipis untuk ukuran saya, namun cukup lama juga saya menyelesaikannya. Alasannya? Yah, meskipun sekadar mengikuti insting, novel ini tidak ramah dibaca dalam berbagai situasi dan kondisi karena butuh konsentrasi berlebih dan penghayatan ala-ala ahli tafsir gitu. Beberapa kali saya membaca novel ini di kampus dan harus saya ulang lagi karena semuanya buyar, baru setelah dibaca ketika larut malam dengan situasi yang hening saya bisa menemukan esensi yang terkandung di dalamnya. 

Novel Rahvayana, surat-surat kangen Rahwana kepada Sinta, menyelipkan cerita lakon di mana-mana—seperti lakon Renuka dengan Indradi dan lakon Lubdaka dengan suku Nisada—yang terpaksa membuat saya malam-malam pukul 23 keluar kos hanya untuk nagkring di kampus, wifian nonton Karmapala, drama kolosal berseries zaman dulu waktu SD—kalau tidak salah—yang mainnya di Indosiar. Saya penasaran dengan ungkapan dalam novel ini yang mengatakan bahwa Rama mengalahkan Resi Subali, guru Rahwana, dengan cara yang curang. Namun ya karena dalam Karmapala masih mengggunakan perspektif umum, maka tokoh Rama memang terlihat sangat ksatria dan tidak terdapat kejanggalan dalam pertarungannya melawan Subali. 

Selain lakon-lakon itu memperkaya wawasan, saya kira terlalu banyak nama-nama—manusia, tempat, lagu, dll.—yang menyulitkan penyimpanan memori bagi para pembaca berwawasan rada dangkal seperti saya, sehingga novel Rahvayana punya potensi bikin jenuh karena seakan pembaca hanya dipameri pengetahuan penulisnya yang luas. Apalagi dengan temponya yang lompat-lompat, latar cerita yang membabat habis batas dimensi ruang dan waktu, kadang latar bertempat di Dubai, mendadak ada di Bali, loncat lagi ke Singapore dll, serta waktunya yang jungkir balik bisa ada ada zaman dewa-dewi perwayangan, zaman Cleopatra, zaman Yunani vs Troya, zaman Tristan dan Isolde, zaman Romeo dan Juliat dll juga. 

Namun, terlepas dari itu semua, novel ini sangat rekomended bagi kalian konsumen Sense of Art. Menurut saya, point of view dari novel ini tersirat pada makna Sastrajendra Hanyuningrat Pangruwating Diyu, bahwa kegelapan melindungi seluruh warna. Kegelapan: Salah. Warna: Benar. Begitu saja barangkali. Dan, di ending, Mbah Jiwo mengakhiri novel ini dengan sangat manis melalui puisi dari Rahwana—terlampir di bawah—atas responnya terhadap ungkapan Adiknya, Sarpakenaka. Ah, betapa saya sangat terinspirasi pada sosok Rahwana dalam novel ini. So sweet pokoknya.

“O, Kakanda… Kakanda… Tahukah engkau bahwa lelaki yang lemah lembut itu ternyata lebih unggul daripada guru tertangguhmu sekalipun, Resi Subali? Tak ada yang kuasa mengalahkan guru Aji Pancasonya-mu itu sebelumnya. Kini lelaki itu telah membunuhnya. Kini seluruh bekas rakyat Subali telah menyembahnya. Jiwamu boleh tetap tak tertantang walau tubuhmu berair mata karena sejatinya lelaki itulah cinta Sinta. Tapi, O, Kakanda, masih tak bertantangkah jiwamu bila lelaki itu kini telah didukung oleh jutaan pasukan Gua Kiskenda bekas rakyat Subali? Kabar baiknya, mereka telah membangun perkemahan di Gunung Maliawan. Sekejap lagi akan berduyun-duyun pasukan kera menyeberangi samudera mendaki Gunung Suwela di Alengka dan menantang kesaktianmu yang kondang, menantang keringat kelelakianmu yang berbau lembap tanah humus rimba raya…”

Hmmm…

Sinta, 

Bau tubuhku bau lembap tanah humus rimba raya yang senantiasa siap bertanding? Tapi, inilah jawabanku ke Sarpakenaka:

Adindaku, Gairahku

Belum tahukan engkau bahwa Sinta bukan cuma tentang lelaki

Yang akan merebutnya dariku dengan pedang perisai

Dengan bidang dadanya


Sarpakenaka, Adindaku

Ketahuilah

Sinta adalah ceritaku tentang teratai

Kembang yang tetap elok walau sudah berlumur lumpur

Sinta itu tentang tangis perempuan

Tangisan yang membuat seorang lelaki

Lupa tangis sendiri


Sarpakenaka, Adindaku


Sinta adalah hikayat cintaku tentang teratai
Read more ...

Rabu, 04 Mei 2016

Upaya Konservasi Budaya dan Lingkungan Melalui Kesenia Tradisional Wayang Sampah


Oleh: Fuad Akbar Adi


Semarang—Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang menyelenggarakan acara pagelaran kesenian tradisional dengan tajuk “Festival Seni Tradisi 2016”, Kamis (28/4). Acara yang diselenggarakan di Lapangan Dekanat Fakultas Bahasa dan Seni ini berlangsung meriah dengan dihadiri oleh pejabat-pejabat Unnes, tamu undangan serta para mahasiswa yang nampak memperlihatkan antusiasmenya dalam mengapresiasi kesenian tradisional. 

Festival Seni Tradisi 2016 merupakan kegiatan yang termasuk dalam serangkaian acara Dies Natalies Unnes ke-51 yang telah dibuka beberapa hari yang lalu. “Acara ini memang merupakan serangkaian acara Dies Natalies Unnes kemarin. Panitianya dari berbagai pihak termasuk dosen dan mahasiswa juga.”, ungkap Muhammad Arbi, ketua Hima Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus panitia pelaksana Festival Seni Tradisi 2016.

Acara Festival Seni Tradisi 2016 ini dimulai pukul 09.30 WIB dengan menampilkan berbagai pertunjukan kesenian dari daerah-daerah di Indonesia. Pementasan “Wayang Sampah Bocah Angon” yang dibawakan oleh SMA Negeri PGRI 2 Kayen, Pati dengan pembina Aziz Wisanggeni sekaligus sebagai dalang menjadi penampil pembuka dalam acara tersebut. Dalang Aziz Wisanggeni mengusung tema epos klasik Ramayana dengan lakon “Shinta Nggrampas”. Pementasan “Wayang Sampah Bocah Angon” menarik perhatian banyak penonton karena keunikannya mengadaptasi cerita Ramayana dengan gaya kesenian kontemporer yang memasukan nilai-nilai moral dan fenomena sosial termutakhir sehingga menjadi relevan dan dapat diterima oleh para penonton yang mayoritas merupakan mahasiswa. Hal ini dapat terlihat dengan membeludaknya penonton yang memadati seluruh penjuru lapangan Dekanat FBS. 

Hal unik lainnya dari pementasan “Wayang Sampah Bocah Angon” terletak pada upaya pelestarian lingkungan dengan mendaur ulang sampah dan barang-barang bekas penjadi properti yang digunakan untuk pementasan. “Wayang-wayang dan beberapa properti kami ini terbuat dari sampah, makanya nama wayangnya wayang sampah. Hal ini adalah salah satu cara kami mencintai alam dengan memanfaatkan sampah menjadi suatu media seni.” Ungkap Dalang Aziz yang saat ini mempunyai anggota komunitas lebih dari 60 orang. 

“Kalau begitu bagus ya. Selain melestarikan budaya juga melestarikan lingkungan. Konservasi budaya sama konservasi lingkungan, nyambung banget sama visi Unnes. Apalagi subtansi ceritanya, saya selalu suka bentuk kritik sosial lewat sebuah kesenian.” Tutur Khamdanah, salah satu penonton acara Fastival Seni Tradisi 2016. 

Pada akhir acara, pementasan yang berdurasi lebih dari satu jam ini mendapat penghargaan dari Unnes selaku pihak penyelenggara sebagai Tim Terinspiratif. Terlihat ekspresi kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan dalang Aziz beserta para anggota komunitas “Wayang Sampah Bocah Angon” saat menerima penghargaan tersebut.
           
           


Read more ...

Kamis, 18 Februari 2016

Review Buku "Slilit Sang Kiai" Karya Emha Ainun Najib

Oleh: Fuad Akbar Adi

Siapa yang tidak kenal dengan Emha Ainun Najib atau tenar dengan panggilan Cak Nun? Seorang cendekiawan muslim yang terkenal “nakal” dengan pemikirannya yang kritis sekaligus unik. Cak Nun ini termasuk tokoh NU favorit saya setelah pendiri NU, Hasyim Asyari, Gus Dur, dan penyair Mustafa Bisri.

Saya salah menduga ketika pertama kali melihat buku “Slilit Sang Kiai” yang saya kira semacam novel atau kumcer mengingat sosok Cak Nun sendiri yang juga terkenal sebagai budayawan dan penyair. Ternyata setelah saya baca kata pengantarnya, buku ini merupakan kumpulan kolom atau esai namun sifatnya tidak terlalu formal dan konvensional yang biasanya sering menyajikan argumen yang dibangun secara ketat dengan dukungan empirik yang akurat. Gagasan yang dikemukakan Cak Nun lebih berupa obrolan yang ringkas, namun cerdas dan memikat. Meskipun terkadang bagi saya cukup berat. 

Kalau tidak salah hitung, ada 69 judul esai pada buku ini yang dibagi dalam tiga bagian. Membacanya pun tidak harus urut dari awal hingga akhir karena setiap esainya berdiri sendiri dengan topik yang berbeda-beda. Namun secara umum, konten yang terdapat pada buku ini membahas tentang persoalan hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. 

Yang mengagumkan sekaligus membuat saya terhenyak ketika membaca buku ini adalah waktu pembuatan esai-esainya yang berkisar antara tahun 1980 sampai 1990, namun hal-hal yang disampaikan masih sangat relevan dengan kehidupan manusia era saat ini. Saya pun jadi punya dua asumsi sebagai berikut: pertama, karena memang saking pandainya Cak Nun membahas persoalan yang mungkin ia prediksi akan menjadi persoalan yang abadi atau asumsi kedua, karena persoalan negara ini memang itu-itu saja. Wallahualam.

“Slilit Sang Kiai” merupakan buku kumpulan esai pertama yang saya baca, dan syukurlah, meskipun buku ini benar-benar memperlambat kecepatan membaca saya sekaligus membuat saya mondar-mandir membuka KBBI online,---alasannya karena subtansi pada buku ini yang cukup berat bagi saya dan juga banyak penggunaan istilah-istilah yang belum saya mengerti---akhirnya saya menuntaskannya. Berbagai macam kritik sosial disampaikan khas jurnalis, yah, karena Cak Nun sendiri juga seorang wartawan. Lugas, transparan, dan humor serta satirenya menohok liar di mana-mana. Amazing pokoknya. 

Dari sekian banyak judul esai yang terangkum dalam buku ini, ada beberapa yang menjadi favorit saya, antara lain: Slilit Sang Kiai, Empat Kapasitas, Makan-Minum Dak Tentu, Maha Satpam, Wawancara, 17.000 Kartu Nama, dan Mahasiswa Baru. Untuk Slilit Sang Kaia sendiri mengisahkan Gara-gara slilit (baca: istilah Jawa untuk serabut kecil sisa daging yang menyelip di antara gigi), seorang Kiai terancam gagal masuk surga karena ia pernah membersihkan slilitnya dengan potongan kayu yang diambilnya dari pagar orang lain tanpa ijin. Tulisan ini punya muatan pesan yang amat dalam. Betapa slilit yang remeh itu telah merepotkan seorang Kiai yang selalu dipersepsikan mudah menggapai surga. Betapa hal kecil yang amat remeh pun ternyata dapat menghalangi kita dari jalan kebaikan bila diperoleh dengan cara yang tidak benar. Bayangkan saja bagaimana runyamnya para koruptor dan para maling duit rakyat ketika menghadapi hari penghisaban.

Kedua, esai berjudul Empat Kapasitas. Sebenarnya saya masih ragu-ragu menulis reviu untuk esai ini mengingat muatannya yang begitu berat sehingga takut jadi salah persepsi. Intinya, esai ini mengisahkan dua orang guru bernama Danar dan Amrul yang sedang berdialog tentang ujian dan perintah. Hingga dialog tersebut melebar sampai kemana-mana lalu terciptalah sebuah rumusan tentang tataran empat kapasitas manusia. Pertama, kapasitas tengelam: ini jatah mayoritas. Kedua, kapasitas perumus: jatah kaum “intelektual” yang begitu cekatan menggambarkan tulang-belulang keadaan. Ketiga, kapasitas kebal: yang tidak tengelam, bisa merumuskan, tapi sekadar mampu bertahan. Dan keempat, kapasitas pengubah: antisipatif, bahkan melawan, tidak sekadar untuk dirinya sendiri. 

Lanjut ke esai berjudul Makan-Minum Dak Tentu. Esai ini dipenuhi dengan guyonan yang sangat renyah karena mengangkat budaya masyarakat Madura tentang ucapan “Dak tentu”. Di mana pesan moral yang terkandung dalam esai ini adalah semua yang ada di dunia ini hanyalah perkara relativitas. Tak ada kebenaran mutlak dari suatu hal yang tertangkap oleh sudut pandang manusia. Makanya, kaum perempuan jangan menganggap diri sendiri paling benar ya J.

Maha Satpam dan Mahasiswa Baru hampir setipe meskipun bisa dibilang sangat berbeda. Maksudnya setipe adalah kedua esai ini mengkritik kaum intelektual muda di Indonesia yang membuat saya malu sendiri sebagai akademisi karena saya merasa “aku banget” dengan suatu yang disindir pada kedua esai ini. . Sedang 17.000 Kartu Nama berisi tentang sisi lain terhadap dunia prostitusi Indonesia yang tak kunjung usai permasalahannya sampai saat ini. 

Demikian reviu yang dapat saya sampaikan. Buku “Slilit Sang Kiai” karya Emha Ainun Najib merupakan buku yang rekomended sekali untuk dibaca terutama bagi kalian kaum muda yang melulu hanya membaca buku-buku fiksi. Inspiratif dan menggerakkan! 



Read more ...

Minggu, 14 Februari 2016

LGBT Mendistorsi Seni Memasukkan "Sesuatu"

Oleh: Fuad Akbar Adi

Terkait makin riuh-rendahnya kontroversi LGBT, belakangan tulisan-tulisan mengenai LGBT pun makin marak. Baik itu sifatnya yang pro, kontra, atau pun netral. Tak mau ketinggalan ngehits, pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit menggelitik persoalan LGBT lewat sudut pandang saya sendiri yang saya harap tidak mainstream-mainstrem amat. 

Saya sempat bertanya-tanya, kecenderungan menjadi LGBT itu lebih besar menimpa laki-laki atau perempuan? Ternyata setelah coba searching di google, probabilitas perempuan lebih besar ketimbang laki-laki---penjelasan ilmiahnya bisa cek sendiri ya. Waduh, semoga saja mantan-mantan saya tidak move on jadi LGBT pascakandasnya hubungan kita. Ya sebenarnya tidak apa-apa juga, terserah mereka to, yang penting ketika di sidang malaikat jangan bawa-bawa nama saya saja. Hehe. 

Oke, jadi begini, saya akan mencoba bermain analogi. Hubungan seksual dan bermain sepak bola itu sebenarnya memiliki kesamaan yang bersifat filosofis. Seksualitas dan sepak bola itu hanyalah perkara seni memasukkan “sesuatu”. Keindahan dari keduanya terletak saat proses memasukkan itu terjadi. Itu sudah KODRAT Pak, tidak bisa diganggu gugat. Selain itu, kesamaan lainnya adalah keduanya memiliki sebuah tujuan atau GOAl. Goal bagi sepak bola adalah angka yang tercantum pada papan skor sedang goal bagi hubungan seksual tentunya dengan lahirnya mahluk imut-imut yang tangisannya begitu menggemaskan. Fungsinya? Sudah barang tentu, bagi sepak bola goal akan menghadirkan kemenangan dan bagi hubungan seksual goal akan menghadirkan keturunan sebagai penerus eksistensi manusia di dunia ini.

Jika hubungan seksual dianalogikan dengan permainan sepak bola, maka akan seperti ini: Bola sama dengan alat reproduksi laki-laki dan gawang sama dengan alat reproduksi perempuan. Sebelumnya perlu digaris bawahi, GAWANG di sini tentunya komplit dengan tiang dan jaring-jaringnya. Maka, pertanyaan pertama untuk kaum pada huruf pertama LGBT, apa menariknya permainnan sepak bola yang di dalamnya hanya ada gawang tanpa bola? Yang mau ditonton apanya? Tidak ada proses keindahannya sama sekali. Apalagi bila disangkutpautkan dengan goal? MUSTAHIL KUADRAT. 

Lanjut ke G. Ini lebih unik lagi. Pertandingan sepak bola dengan dua bola tanpa gawang? Emmmm, sebenarnya sih ada gawangnya, tapi ini gawang PREMATUR alias KW garis miring PALSU. Sebuah gawang tanpa jaring yang apabila bola ditendang lalu masuk, bola itu akan menghilang. Entah kemana? Ke bangku penonton mungkin. Maksudnya, bola yang dimasukkan ke dalam gawang tanpa jaring tentunya tak akan memberikan bekas berupa bergetarnya jarring-jaring tersebut yang lalu akan dihitung wasit sebagai sebuah goal.

Sama halnya dengan L maupun G, bahkan bisa dikatakan B dan T lebih aneh lagi. Sepak bola TAK BERATURAN. Di mana permainannya campur aduk tanpa adanya kejelasan. Kita mungkin akan dibuat bingun saat menonton karena tak bisa membedakan antara bola dengan gawang. Jelas LGBT adalah bentuk penyimpangan, pelanggaran pada aturan yang dalam hal ini dianalogikan sebagai peraturan sepak bola. Serta mendistorsi/merusak seni yang ada di dalamnya. 

Pesan saya terhadap para LGBT atau Pro LGBT, Anda selalu bersenjatakan HAM sebagai alat pertahanan untuk membenarkan dosa Anda, tapi tanpa Anda sadari sebenarnya Anda telah melanggar Hak kami. Sebagai laki-laki normal yang tentunya sangat menyukai keduanya (sepak bola dan seksualitas) Anda telah melanggar hak kami untuk menikmati dua ikhwal penuh keindahan itu dengan merusak seni yang ada di dalamnya dengan inovasi konyol yang memuakkan. Plis sadarlah, kiamat sudah dekat, sobat!
Read more ...
Designed By