Breaking News

Kamis, 22 Januari 2015

Analisis Teknik Metafora Cerpen "Cat In The Rain" Karya Ernest Hemingway

 Oleh: Fuad Akbar Adi

Cat In The Rain (Kucing dalam Hujan)

Hanya ada dua orang berkebangsaan Amerika yang tinggal di hotel tersebut. Kedua orang itu tidak mengenal penghuni lain yang mereka temui di tangga ataupun koridor hotel. Kamar mereka terletak di lantai dua dan menghadap ke arah tepi pantai. Dari jendela kamar, mereka dapat menatap ke arah taman dan sebentuk monumen perang yang berdiri tegar di tengah alun-alun kota.

Di taman ada beberapa pohon palem yang telah tumbuh besar dan sejumlah kursi kayu berwarna hijau. Jika cuaca sedang cerah, di taman itu selalu ada saja satu atau dua orang pelukis yang duduk berhadapan dengan kanvas. Para pelukis selalu bisa mengapresiasi pertumbuhan pohon palem serta warna ceria bangunan penginapan yang berdiri berjajar menghadap ke arah taman dan tepi pantai.

Pengunjung berkebangsaan Italia datang dari jauh khusus untuk melihat monumen perang. Monumen itu terbuat dari kuningan dan tampak mengkilap jika dibasuh air hujan.

Saat ini hujan tengah turun deras.

Air hujan menetes lebat dari ujung-ujung daun pohon palem; dan di jalan-jalan bebatuan juga ada genangan air yang bergemeritik ditempa hujan. Di tengah gemuruh awan gelap, laut pun tak mau kalah dan berteriak lantang saat ombaknya pecah di tepian pantai. Lalu, ombak yang telah pecah menjadi buih busa ditarik kembali ke tengah laut sebelum air bergulung dan meronta diiringi gempuran hujan.

Kendaraan bermotor tak lagi memenuhi area alun-alun kota sejak hujan turun. Monumen perang itu dibiarkan berdiri sendiri.

Di seberang alun-alun ada sebuah kedai kopi dengan pintu terbuka. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu sambil menatap ke arah alun-alun yang sepi.

Wanita itu berdiri di balik jendela kamar sambil menatap keluar. Di sana, tepat di bawah jendela, ada seekor kucing yang tengah berlindung di bawah meja kayu berwarna hijau. Air hujan menetes tanpa henti dari pinggiran meja, membuat si kucing merapatkan semua anggota tubuhnya agar tidak kebasahan.

“Aku akan turun untuk mengambil anak kucing itu,” ujar wanita tersebut.

“Biar aku saja,” sahut suaminya yang tengah berbaring di atas ranjang.

“Tidak perlu,” kata wanita itu. “Aku bisa melakukannya. Kasihan dia, merunduk sendirian bawah meja.”

Sang suami dengan santai melanjutkan bacaannya. Pemuda itu berbaring seraya bersandar di atas dua buah bantal.

“Baiklah. Tapi jangan sampai kau ikut kehujanan,” ujar sang suami.

Sang istri keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju lantai dasar. Si pemilik hotel segera bangkit berdiri ketika melihatnya dan membungkuk sopan begitu wanita tersebut melewati kantor administrasi hotel. Meja kerja pria itu terletak di sudut kantor. Usianya sudah cukup tua dengan tubuh kelewat jangkung.

Il piove,” ujar wanita itu. Dia suka terhadap sikap si pemilik hotel.

Si, si, Signora, brutto tempo. Cuacanya buruk sekali.”

Si pemilik hotel berdiri di belakang meja kerjanya yang terletak di dalam ruang kantor bernuansa remang-remang. Wanita itu senang dengan cara si pemilik hotel menanggapi setiap keluhan pelanggan dengan serius. Dia juga suka dengan cara si pemilik hotel menunjukkan harga dirinya; serta keinginannya untuk melayani setiap pelanggan dengan baik. Tapi dia paling suka terhadap pembawaan si pemilik hotel yang tampak sangat menikmati pekerjaannya; serta terhadap penampilannya: wajahnya yang keriput dan tangannya yang berat dan besar.

Wanita itu membuka pintu masuk hotel dengan perasaan bersahabat, lantas melirik ke kiri dan kanan. Di luar, hujan semakin deras. Seorang pria yang mengenakan jas hujan berbahan karet terlihat tengah menyeberangi alun-alun kota menuju kedai kopi. Kucing tadi nampaknya ada di sebelah kanan hotel. Belum lagi ia beranjak dari ambang pintu hotel, tiba-tiba sebentuk payung terbuka di belakang wanita itu. Ketika ia menoleh, ia mendapati sosok seorang pembantu wanita yang biasa membersihkan kamar tempat dia menginap bersama sang suami.

“Jangan sampai kebasahan, Signora,” ujar sang pembantu, berbicara dalam bahasa Italia. Tentu saja si pemilik hotel yang menyuruhnya untuk membawakan payung.

Dipayungi oleh sang pembantu, wanita itu melangkah di jalan bebatuan sampai tiba di bawah jendela kamar penginapannya. Meja itu ada di sana, catnya yang berwarna hijau tampak gemilang tersiram air hujan. Namun kucing tadi tidak ada lagi di tempat yang sama. Mendadak ia merasa kecewa. Sang pembantu menatapnya lekat-lekat.

Ha perduto qualche cosa, Signora?”

“Tadi ada kucing di sini,” ujar wanita itu dengan logat Amerika.

“Kucing?”

Si, il gatto.”

“Kucing?” Sang pembantu tak kuasa menahan tawa. “Seekor kucing di tengah hujan?”

“Iya,” sahut wanita itu. “Di bawah meja ini.” Lalu, “Oh, aku sangat menginginkan dia. Aku ingin memelihara seekor anak kucing.”

Saat wanita itu berbicara dalam bahasa Inggris, wajah sang pembantu tampak tegang.

“Ayo, Signora,” ajak sang pembantu. “Kita harus masuk ke dalam hotel. Kalau tidak kau akan basah kuyup.”

“Kurasa sebaiknya begitu,” ujar si wanita pasrah.

Mereka kembali menyusuri jalan bebatuan untuk kembali ke hotel. Wanita itu sudah melewati ambang pintu masuk hotel ketika sang pembantu berhenti untuk melipat payung. Tak lama setelah itu, saat melewati kantor administrasi hotel, si pemilik hotel kembali bangkit berdiri dan membungkukkan badannya. Melihat gestur tersebut, wanita itu merasa kerdil dan tersanjung pada saat bersamaan. Selama beberapa detik, ia merasa seperti orang paling penting di dunia. Kemudian ia menaiki anak tangga menuju kamar penginapannya.

Dibukanya pintu kamar: ia menemukan suaminya, George, masih berbaring di atas ranjang sambil membaca buku.

“Mana kucingnya?” tanya George, meletakkan bukunya di atas kasur.

“Sudah pergi.”

“Ke mana perginya kucing itu, ya,” ujar sang suami seraya mengistirahatkan matanya.

Wanita itu duduk di tepi ranjang.

“Aku sangat menginginkan kucing itu,” ujarnya. “Entah kenapa, tapi aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki anak kucing itu. Aku sedih membayangkan nasibnya yang kehujanan.”

Pada saat ini, George sudah kembali melanjutkan bacaanya.

Wanita itu bangkit berdiri dan menghampiri meja rias di sudut ruangan. Ia duduk di depan cermin rias dan mengambil sebentuk cermin tangan. Ia memperhatikan bayangannya sendiri dalam cermin kecil tersebut. Pertama wajahnya, dari sisi kanan dan kiri. Lantas, ia memperhatikan belakang kepalanya dan juga lehernya.

“Apakah menurutmu aku harus memanjangkan rambutku?” tanya wanita itu sambil kembali menatap bayangan wajahnya dari samping.

“Aku suka rambutmu sekarang.”

“Tapi aku bosan,” keluh wanita itu. “Aku bosan dengan potongan rambut pendek seperti laki-laki.”

George menggeser posisinya di atas ranjang. Ia menatap istrinya dengan saksama.

“Menurutku kau tampak cantik,” ujar George.

Wanita itu meletakkan cermin tangan di atas lemari dan beranjak ke jendela. Ia menatap ke luar. Langit sudah semakin gelap.

“Aku ingin menarik rambutku ke belakang dan menguncirnya,” kata wanita itu. “Aku ingin meletakkan seekor anak kucing di pangkuanku agar aku bisa mengelusnya.”

“Yeah?” sahut George.

“Dan aku ingin makan menggunakan perangkat makanku sendiri yang terbuat dari perak; dan aku ingin makan ditemani lilin. Aku ingin musim semi segera tiba dan aku ingin menyisir rambutku di depan cermin. Aku juga ingin memelihara seekor anak kucing dan aku ingin beli baju baru.”

“Oh, diamlah dan baca sesuatu,” ujar sang suami. George kini sudah kembali tenggelam dalam bacaannya sendiri.

Wanita itu masih menatap ke luar jendela. Langit telah berubah kelam sekarang dan daun-daun pepohonan masih juga meneteskan air hujan.

“Anyway, aku ingin memelihara seekor kucing,” ujarnya. “Aku ingin memelihara seekor kucing sekarang. Kalau aku tidak boleh memanjangkan rambutku atau bersenang-senang; maka aku harus diperbolehkan memelihara seekor kucing.”

George tidak mendengarkan racauan istrinya. Ia terlalu sibuk membaca buku. Wanita itu menatap ke luar jendela dan mendapati lampu jalan berpendar sendu di bawah langit malam.

Terdengar ada ketukan di pintu kamar.

“Avanti,” sahut George. Ia mengangkat wajahnya dari bacaan.

Di koridor hotel, sang pembantu berdiri sambil mendekap seekor kucing besar berbulu kecoklatan.

“Permisi,” ujar sang pembantu. “Pemilik hotel minta agar aku membawakan kucing ini untuk Signora.”

Analisis: Berawal ketika saya nyasar ke sebuah blog, tidak sengaja saya menemukan cerpen karya Opa Ernest yang fenomenal ini. Dari judulnya saja sudah membuat saya tertarik. Kemudian dengan penasaran saya baca cerpen ini. Awalnya saya kaget, ternyata ceritanya sangat simpel dan sederhana, jauh di bawah expectasi saya pada awalnya. Namun, hal itu malah menjadikan pertanyaan besar bagi saya, Hanya beginikah cerpen dari seorang penulis terkenal di dunia yang pernah mendapat penghargaan Nobel? Akhirnya saya mencoba googling mengenai cerpen ini. Cerpen “Cat In The Rain” memang merupakan cerpen yang paling sering dibahas oleh para pengamat cerpen, dan untuk kedua kalinya saya terkejut. Inilah yang disebut dengan teknik “cerita pengibaratan/ metafora” di mana cerita yang diceritakan secara eksplisit bukanlah pesan sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulis melainkan itu hanya sebatas pengibaratan terhadap cerita sesungguhnya yang tidak disuguhkan secara langsung.

Jika ditelisik lebih jeli lagi, dalam cerpen ini kita bisa merasakan adanya pengibaratan cerita dan simbol-simbol yang digunakan sebagai media pengibaratan tersebut. Seperti keinginan dari sang istri untuk memiliki seorang anak. Sang suami tampak acuh tak acuh dan bahkan kekanakan dalam menanggapi keluhan istrinya (itu juga yang menyebabkan istrinya menyukai sikap si pemilik hotel yang selalu tanggap terhadap keluhan pelanggan). Selanjutnya hal lain yang saya tangkap dari cerita ini adalah keterbatasan dalam pernikahan wanita dan laki-laki asal AS itu, digambarkan oleh situasi hujan deras dan kamar penginapan yang menatap ke arah tepian pantai dan taman hijau (mengilustrasikan bahwa di kamar itu semua serba terbatas dan tidak terbuka). Selain itu, ada “monumen perang”. Secara tidak langsung monumen tersebut merupakan simbol organ reproduktif sang suami (mengarah ke isu anak) akan tetapi digambarkan sebagai monumen perang seolah mereka sudah “kalah”. Dan masih terkait dengan hal ini adalah pengunjung kota yang mengenakan jas hujan terbuat dari karet. Menurut para sastrawan, jas hujan karet itu mengilustrasikan kondom yang mencegah pasangan tersebut untuk memiliki anak. Di masa itu tentunya sangat penting bagi seorang wanita untuk menikah dan menjadi ibu di usia belia. Sementara pria di masa yang sama condong mengejar karier dan individualisme.

Sedangkan metafora kucing dalam cerpen ini, Hemingway menampakkan apa yang ‘didalam’ melalui tindakan/adegan. Teknik yang sudah langka ditemui pada kebanyakan karya fiksi penulis dewasa ini. Tanpa deskripsi atau narasi yang menceritakan kondisi serta situasi psikologis sang istri, pembaca bisa memahami beban perkawinan yang dialami perempuan itu melalui adegan penyelamatan kucing dari hujan. Wanita itu seolah merasakan penderitaan yang sama dengan kucing, seperti dalam satu ucapannya :

“Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.” Perempuan itu telah mengidentifikasi dirinya yang sekarang dengan si kucing.

Tak ada plot yang rumit. Hanya tindakan melihat kcuing dari jendela kamar hotel. Sang istri turun menerobos hujan untuk menyelamatkannya, gagal dan kembali ke kamar. Sang istri kembali ke kamar, mengobrol dengan suaminya yang sibuk membaca sambil tiduran, dan menimpali kata-kata istrinya dengan basa-basi.

Dalam kehidupan nyata, cerita pendek itu kira-kira hanya berdurasi 15 menit. Namun cukup untuk mengungkap betapa perkawinan suami istri Amerika itu tidak seperti apa yang terlihat dari luar. Sang istri kecewa dengan kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Secara tersirat dia memakai kasus kucing untuk memperoleh perhatian suaminya. Suami, seperti umumnya pria, cenderung tidak peka dengan pesan-pesan yang tersembunyi dibalik ucapan wanita, menganggap itu hal sepele. Padahal, wanita itu haus kasih sayang. Lihatlah bagaimana gembiranya sang istri mendapat perhatian “kecil”, dalam adegan pemberian payung dan boneka kucing dari pria pemilik hotel.

6 komentar:

  1. Habis baca cerpen cat in the rain ini saya sangat bingung apa sebenarnya nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut, tidak ada masalah yang menonjol. Rupanya ini ya? Hehe.. Bagus sekali penjelasannya admin, ditunggu analisis cerpen lainnya

    BalasHapus
  2. Iya Mas terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Hehe iya ditunggu aja.

    BalasHapus
  3. Bagus. Awalnya saya juga berpikiran kalo cerita cat in the rain terlalu simple. Eh ternyata setelah membaca analisisnya, keren bnaget. Makasih sudah mau share ๐Ÿ˜Š

    BalasHapus
  4. Bagus. Awalnya saya juga berpikiran kalo cerita cat in the rain terlalu simple. Eh ternyata setelah membaca analisisnya, keren bnaget. Makasih sudah mau share ๐Ÿ˜Š

    BalasHapus
  5. Sama-sama Kak Valen. Cerpennya Opa Ernest memang gak bisa dibaca sekali saja. Harus berkali-kali biar tahu maksudnya. Terima kasih juga sudah mau berkunjung dan meinggalkan pesan.

    BalasHapus
  6. apakah character yang terlibat dalam cerpen ini ?

    BalasHapus

Designed By