Breaking News

Senin, 01 Desember 2014

Antalogi Cerpen






Maria Zaitun


Oleh: Tugianto


“Sudah lebih dari dua minggu kamu terbaring di ranjang, sakit kambuhanmu semakin menjadi. Tubuhmu sudah tak bisa kau jajahkan, kau sudah tak dapat hasilkan uang. Malahan kepadaku kau berhutang, untuk biaya pengobatan ini itu. Biaya melulu. Aku sudah tak kuat lagi. Cukup sampai disini saja aku bersabar. Mulai hari ini kau harus pergi meninggalkan tempat ini.” ucap majikan pelacuran meluapkan amarahnya kepada Maria Zaitun.


Jam dua belas siang Maria Zaitun keluar dari rumah pelacuran. Tanpa koper, karena sudah tak ada lagi miliknya. Pelacur lain hanya buang muka, tak ada yang peduli dengan Maria Zaitun yang sudah agak tua, pelacur yang hampir kadaluarsa. Sudah tak ada lelaki yang menyewa tubuhnya untuk melepas nafsu dunia. Menikmati setiap senti kenikmatan tubuh yang Maria Zaitun punya.


Sendiri seorang Maria Zaitun menjelajahi panas aspal kota. Menahan rasa sakit yang menjangkit. Penuh borok di tubuhnya, koreng-koreng melekat pada selangkangan dan ketiak. Tersiksa pada setiap gerak, karena celana dan bajunya menempel ketat pada koreng yang mengerak. Ia dijangkiti virus sipilis. Badannya demam, ia berjalan sempoyongan.


Ia berjalan tertatih ke dokter, dokter langganannya. Dokter yang biasa memeriksa kesehatan jasmaninya terutama alat kelaminnya. Banyak pasien yang sudah menunggu lebih dulu, ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka masing-masing. Ia meledak marah, namun buru-buru jururawat memanggilnya dan tak ada seorangpun yang protes.


“Maria Zaitun, utangmu sudah banyak kepadaku.” kata dokter.


“Ya” jawab Maria Zaitun.


“Sekarang berapa uang yang kau punya?”


“tak ada”


Dokter hanya bisa geleng kepala, kemudian dokter menyuruhnya telanjang. Dokter ingin memeriksa setiap inci tubuh Maria Zaitun. Maria Zaitun kesakitan saat membuka baju, karena bajunya lekat dengan borok di ketiak.


“Cukup” kata dokter.


Dokter tak jadi memeriksanya. Lalu berbisik kepada Jururawat, “beri dia injeksi vitamin C.”


Dengan kaget Jururawat berbisik kembali, “vitamin C? Dokter, paling tidak kita ia kita beri Salvarzan.”


“untuk apa? Kau harus berfikir logis, dia tidak bisa membayar kita. Lagi pula dia sudah hampir mati. Mengapa harus diberi obat semahal itu, obat yang kita import dari luar negeri.”


Jam satu siang. Maria Zaitun menyusuri panasnya aspal jalanan. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu menjejaki aspal jalan yang rendah mutu. Ia berjalan menuju gereja. Namun pintu gereja sudah dikunci, karena takut ada pencuri. Ia menuju Pastori dan menekan bel pintu. Seorang Koster keluar dan berkata “kamu mau apa? Pastor sedang makan siang, dan ini bukan jam dia bicara.”


“maaf Saya sakit, Saya perlu Dia.”


Koster memandangi tubuh Maria Zaitun yang kotor dan berbau busuk, lalu berkata :


“asal tinggal di luar, kamu boleh menunggu. Aku akan pergi menemui Pastor, akan aku tanyakan apakah dia mau menerimamu.”


Lalu Koster pergi setelah menutup pintu. Maria Zaitun menunggu sambil blingsatan dan kepanasan, borok dan koreng pada tubuhnya mulai menyiksa lagi. Demam yang ia derita kambuh lagi. Satu jam lebih ia tersiksa. Pastor datang kepadanya, setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia menyalakan Cerutu lalu bertanya dengan aroma anggur keluar dari mulutnya.


“kamu perlu apa?”


“mau mengaku dosa.” jawab Maria Zaitun.


“tapi ini bukan jam bicara, sekarang waktu untukku berdoa.”


“sebentar lagi saya mati.”


“kamu sakit?”


“iyah saya terkena raja singa.”


Mendengar jawaban Maria Zaitun dengan wajah mengkerut Pastor mundur dua langkah. Ia mulai keder, iapun kembali bersuara.


“apakah kamu seorang kupu-kupu malam?”


“iyah, saya wanita jalang, saya seorang pelacur.”


“Santo Petrus! Tapi kamu katolik?”


“iya.”


“Santo Petrus.”


Suasana sekian detik diam tanpa suara, lalu Pastor kembali bersuara.


“kamu telah tergoda dosa.”


“bukan tergoda, tapi berlumur dosa.”


“kamu telah terbujuk setan.”


“tidak, saya terjebak kemiskinan dan gagal mecari kerja.”


“Santo Petrus!”


“Santo Petrus! Peter, dengarkan saya. Saya tak mau tahu tentang masa lalu saya. Jiwa saya telah kalut. Sebentar lagi saya akan mati. Saya butuh Tuhan atau apa saja untuk menemani saya, dalam kehidupan saya sudah gagal.”


Mendengar omongan Maria Zaitun wajah Pastor memadam merah. Ia menuding Maria Zaitun.


“kamu galak seperti singa betina. Barang kali kamu akan gila tapi tak akan mati. Kamu tak perlu Pastor. Kamu perlu dokter jiwa.”


Jam tiga siang. Matahari belum padam, masih menyala terang. Maria Zaitun menyeberang jalan. Saat menyeberang Maria Zaitun kepeleset kulit pisang. Ia tak jatuh, tapi darah keluar dari borok selangkangan. Di pinggir pasar ia berenti sejenak. Perutnya sudah lapar. Ia mengais-ngais tong sampah. Ia cari makanan sisa. Ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu ia berjalan menuju luar kota.


Jam empat siang. Pelan ia berjalan. Makanan masih dalam bungkusan, belum ia makan. Lalu jam lima. Ia telah keluar dari bisingnya kota. Tak ada lagi debu aspal atau hiruk pikuk jalanan. Sudah satu kilo ia berjalan tinggalkan jalan raya. Ia masuk sawah, ia berjalan di pematang.


Jam enam sore. Maria Zaitun berjalan di pinggir kali. Matahari mulai turun, senjapun mengikuti. ia rebah di pinggir kali. Ia cuci muka, lengan hingga kaki. Lalu pelan-pelan ia makan, namun baru sedikit ia berhenti. Badannya lemas sudah tak ada nafsu lagi. Lalu ia minum banyu kali.


Jam tujuh dan malam tiba. Pohon dan semak di seberang terlihat tenang, kali mengkilat terkena cahaya bulan. Teringat ia akan kenangan masa kecil. Ia pernah mandi di kali dengan ibunya dan memancing ikan bersama pacarnya. Ia kembali jatuh cinta dengan keehidupannya, lantaran itu ia sadar lagi tentang kegagalan hidupnya. Ia kembali berduka.


Tiba-tiba seorang laki-laki muncul di seberang. Ia berseru “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“ya.” Jawab Maria Zaitun keheranan.


Lelaki itu menyeberangi kali. Elok rupanya. Ia tegap, rambutnya ikal dan matanya lebar. Hati Maria Zaitunpun mulai berdebar. Sosok lelaki itu seperti ia kenal. Entah dimana, tapi sudah pasti bukan di ranjang.


“jadi kita bertemu disini.” Kata lelaki itu.


Maria Zaitun diam. Tak tahu harus menjawab apa karena dirinya dipenuhi rasa heran. Sementara itu, lelaki itu mencium mulutnya. Ia seperti meminum air kelapa. Belum pernah ia merasakan ciuman seperti itu. Lalu lelaki itu membuka kutangnya. Ia tak berdaya, karena ia suka. Ia menyerah, ia seperti berlayar ke Samudra ke-delapan. Setelah selesai ia berkata keheranan “kusangka hanya sebatas impian ada lelaki setampan kamu hinggap di hidupku.” Dengan penuh perhatian lalaki itu menatap Maria Zaitun.


“siapa namamu?” tanya Maria Zaitun.


“mempelai.” jawab lelaki itu.


“lihatlah engaku melucu.”


Sambil berbicara seperti itu Maria Zaitun menciumi tubuh lelaki itu. Namun seketika ia berhenti. Ia jumpai luka di tubuh pahlawannya. Di lambung bagian kiri, di telapak tangan, dan telapak kaki. Maria Zaitun berkata pelan “aku tahu siapa kamu.” Lalu menebak lelaki itu dengan pandangan mata. Lelaki itupun mengangguk kepala dan menjawab “betul, iya.”






AWAN MENDUNG DI TOKYO


Oleh: Febriyanik


Matahari belum menampakkan sinarnya di pagi yang dingin, angin berhembus kencang menjatuhkan bunga sakura yang sedang mekar dengan indahnya. Burung–burung khas negeri Sakura mulai berkicau dengan suaranya yang sebenarnya tidak terlalu indah, namun selalu membuat hari merindukan suasana Tokyo yang indah. Di suatu gedung dikawasan elit kota Tokyo terlihat banyak orang yang sibuk berlalu lalang menyiapkan sebuah acara, ya benar sebuah acara yang sepertinya akan cukup bahkan mungkin akan sangat megah. Dan hal itu memang benar hari ini akan ada sebuah pernikahan antara Natsuko putri seseorang yang cukup berpengaruh di Tokyo dengan Yoshida seorang pengusaha muda yang kaya dan berprestasi. Hampir semua orang berpendapat bahwa Natsuko dan Yoshida adalah pasangan yang sangat serasi, mereka berdua berasal dari keluarga terpandang dan sama–sama berpendidikan, sehingga tak heran pernikahan mereka mendapat perhatian dari masyarakat Tokyo.


Natsuko terlihat sudah mengenakan gaun pengantin yang sangat indah, dan rambutnya sedang ditata oleh penata rambut. Terlihat guratan–guratan kebahagiaan diwajahnya yang teduh. Setelah siap Natsuko, kedua orang tuanya, dan sahabat–sahabatnya pergi menuju gereja tempat upacara pernikahan akan dilaksanakan. Beberapa menit kemudian mobil keluarga Natsuko sampai di depan gereja, di dalam gereja Yoshida sudah menunggu kedatangan Natsuko. Yoshida sangat terlihat tampan dengan setelan berwarna putih, ia sangat terlihat gelisah menunggu kedatangan calon istrinya.


Sedikit demi sedikit pintu gereja mulai terbuka, semua mata langsung tertuju kepada mempelai putri yang sedang berjalan menuju altar didampingi oleh ayahnya, berjalan dengan lamban namun pasti. Sang ayahpun menyerahkan putri cantiknya kepada Yoshida, “ Yoshida aku serahkan Natsuko kepadamu, jaga dan cintai dia seutuhnya”. Yoshida pun menjawab “ iya ayah terimakasih telah memberikan saya seorang gadis yang cantik” dan mereka berdua mengikrarkan janji sehidup sematinya di hadapan Tuhan dan semua orang di gereja. Semua orang bertepuk tangan saat melihat kedua mempelai berciuman setelah menjadi pasangan suami istri. Keesokan harinya setelah menyelenggarakan pesta yang meriah Natsuko dan Yoshida pergi bulan madu. Mereka memilih bulan madu ke pulau Jeju di Korea, alasan mereka berdua memilih pulau tersebut karena pulau Jeju adalah pulau yang sangat indah dan mereka berharap pernikahan mereka akan tetap terjaga keindahannya sampai mereka tua. Mereka berdua melakukan perjalanan ke Korea dengan pesawat yang mahal dan sesampainya di Korea mereka langsung menuju hotel yang telah mereka pesan.


Natsuko sangat menikmati bulan madunya di Korea selama seminggu ini, ia merasa sangat bahagia karena bisa menikmati indahnya pulau Jeju dan tempat–tempat romantis lainnya di Korea bersama Yoshida. Setelah seminggu berlibur di Korea mereka berdua kembali ke Jepang. Natsuko dan Yoshida sudah tinggal di apartemennya sendiri, jadi setiap pagi Natsuko selalu membuat sarapan untuk suaminya itu. Kehidupannya sangat sempurna, ia merasa sangat beruntung dan bahagia. Kebahagiaan Natsuko dan Yoshida semakin lengkap karena dua bulan setelah pernikahan ia dinyatakan hamil, dan hal itu membuat keluarga Yoshida maupun Natsuko sangat gembira karena kedua keluarga tersebut sama–sama belum mempunyai cucu. Semua keluarga memperhatikan dan memanjakan Natsuko. Karena perutnya semakin hari semakin besar maka Natsuko memilih berhenti bekerja untuk sementara waktu dan memilih tinggal di rumah orang tuanya, karena ia khawatir saat ditinggal Yoshida pergi ke kantor.


Usia kandungan Natsuko sekarang mencapai tujuh bulan, Yoshida semakin memperhatikan Natsuko. Sesibuk apapun Yoshida ia selalu menyempatkan waktu untuk memperhatikan dan memanjakan Natsuko. Hingga akhirnya hari yang ditunggu–tunggu tiba, pukul lima sore Natsuko melahirkan seorang putri cantik, saat Natsuko sedang dalam proses persalinan Yoshida tak henti–hentinya menggenggam erat tangan Natsuko seakan Yoshida takut akan kehilangan istrinya itu.


Natsuko sangat menikmati peran barunya sebagai seorang ibu, setiap hari ia memanjakan putri kecilnya, bahkan Natsuko tidak ingin dibantu oleh seorang baby sitter. Hari demi hari Natsuko selalu memberikan waktu seutuhnya untuk putri kecilnya. “Aku pulang!” sapa Yoshida ketika pulang dari kantor, dengan kesibukan yang sedang Natsuko lakukan ia menjawab “ lihat Ohanie ayah sudah pulang”,mata Natsuko sama sekali tidak lepas dari putri kecilnya sampai Yoshida merasa bahwa istrinya sekarang tidak peduli lagi dengan dirinya. Saat Yoshida pulang kerja Natsuko asyik bermain dengan si kecil, bahkan sekarang Natsuko tidak lagi sempat membuatkan sarapan untuk suaminya. Yoshida semakin merasa tidak diperhatikan dan diurus oleh istrinya, alhasil ia lebih memilih pergi ke tempat–tempat hiburan di malam hari setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Hingga suatu hari Yoshida bertemu dengan Hiroko seorang pelayan di sebuah club malam di Tokyo, Yoshida langsung jatuh hati kepada Hiroko pertama kali saat melihat Hiroko sedang diganggu oleh beberapa pengunjung dan dengan tidak sengaja ia membelanya. Mulai saat itulah Yoshida dan Hiroko saling jatuh hati satu sama lain. Yoshida sering berkunjung ke club malam tersebut, menunggu Hiroko bekerja dan mengantarnya pulang. Hiroko merasa sangat tersanjung seorang pria kaya memperlakukan dirinya seperti itu. Dan Yoshida tidak menceritakan kepada Hiroko bahwa ia sudah mempunyai istri dan seorang anak.


Hubungan Yoshida dan Hiroko hari demi hari semakin akrab dan Yoshida pun sudah menyatakan cintanya kepada Hiroko dam Hirokopun menerimanya. Mereka sering berjalan berdua ke tempat–tempat romantis di Tokyo dan sekitarnya.Yosidha seakan sedang mendapatkan perhatian dan kebahagiaan yang tidak ia dapatkan dari istrinya semenjak ia mempunyaai seorang anak.


Natsuko merasa ada yang tidak beres dengan suaminya tersebut karena belakangan ini ia tidak melihat suaminya pulang kerumah, dan ketika ia ditanya, ia hanya menjawab bahwa ia sedang banyak pekerjaan di kantor jadi ia sering tidak pulang. “Ayah, sedang banyak pekerjaan?” begitu tanya Natsuko kepada Yoshida yang baru saja sampai dirumah padahal waktu sudah sangat malam. “ Iya sedang banyak proyek yang harus kutangani, jadi mungkin aku akan jarang pulang”, jawab Yoshida dengan sangat dingin. “Tapi ayah kalau bisa pekerjaannya dibawa ke rumah saja biar kita kerjakan bersama” tawar Natsuko sambil mencoba menggenggam tangan Yoshida. “Aku mau tidur dulu, hari ini hari yang sangat melelahkan” lanjut Yoshida sambil melepaskan genggaman istrinya itu. Namun perasaan Natsuko berkata lain ia merasa suaminya sedang membohonginya, akhirnya daripada terjadi hal–hal yang mengganjal Natsuko meminta bantuan kepada salah satu temannya untuk mengikuti kemana saja suaminya pergi sekarang. Natsuko dan temannya mangikuti Yoshida, sampai akhirnya mobil Yoshida berhenti di sebuah club malam, Natsuko sangat kaget dan khawatir dan bertanya–tanya apa yang dilakukan orang yang ia cintai di dalam sana. Ia pun mengikuti Yoshida masuk kedalam club, sesampainya di dalam club ia sangat kaget melihat suami yang sangat ia cintai sedang berciuman dengan wanita yang terlihat sangat cantik dan seksi, musim semi yang indah di Tokyo seakan berubah menjadi mendung, gelap dan hancur. Natsuko tidak percaya bahwa suami yang begitu dicintainya berbuat hal yang tidak sepatutnya. Natsuko langsung menghampiti Yoshida, ia sangat kaget melihat istrinya mengetahui apa yang ia lakukan belakangan ini. Natsuko langsung pergi dari club malam itu dan Yoshida berusaha mencoba untuk mengejar Natsuko, namun sayang Natsuko sudah pergi dengan sebuah taxi. Kemudian Yoshida kembali masuk dan ia juga melihat pancaran kesedihan di hati Hiroko, namun Hiroko memilih untuk mengakhiri hubungan dengan Yoshida, Natsuko pun memilih untuk pergi menenangkan diri pergi kerumah orang tuanya bersama anaknya. Dan akhirnya Yoshida sendiri, benar–benar sendiri tidak ada yang menemaninya semua orang pergi meninggalkannya akibat perbuatannya itu. Ia hanya bisa berharap istrinya bisa memaafkannya dan kembali hidup bersama. Sementara Hiroko memilih pulang kekampung halamannya untuk menata hati yang sudah di rusak oleh Yoshida.


Mentari Hidup


Oleh: Dwi Ayu Susilowati


Aku berlari terus berlari. Berlari tanpa arah yang pasti, tapi tujuan aku tetap yaitu untuk keluar dari tempat rehabilitasi. Aku tak tahan untuk berada di tempat tersebut. Semakin aku berada tempat tersebut, aku akan semakin mengingat kelam hidupku. Aku berlari tak sendiri, ada ia di sampingku.


“Aku sangat lelah,” kataku.


“Jangan menyerah! Ayo, kita harus berlari menjauh dari tempat ini. Jika tidak, kita akan tertangkap oleh mereka. Kamu akan berada di sana lebih lama lagi,” katanya menyemangatiku.


“Iya, aku tahu. Tapi tak bisakah kita berhenti sejenak? Aku sangat lelah dan haus,” pintaku.


“Baiklah. Kamu tunggu di sini, aku akan membeli air minum.”


Kini aku duduk di sebuah persimpangan jalan yang sepi. Ia pergi entah kemana mencari penjual untuk membeli air minum. Belum juga ia muncul, sekawanan orang datang menghampiriku, menarikku, dan memakiku. Kawanan tersebut adalah petugas dari rehabilitasi.


“Mau apa kalian?!” tanyaku agak membentak.


“Heh, mau apa katamu?” petugas pertama.


“Tentu kami akan membawamu ke rehabilitasi nona,” petugas kedua.


“Ayo, seret dia!” perintah ketua pada kedua petugas tersebut.


“Lepaskan! Lepaskan aku! Tolong, tolong,” jeritku.


Tiba-tiba sosok yang aku tunggu datang dengan sebotol air mineral ditangannya. Ia berseru, “Hey kalian! Lepaskan dia!”


Ia melempar botol mineral tersebut entah ke mana dan berlari ke arahku. Ia berkelahi dengan orang-orang tersebut. Ia terluka, aku sangat khawatir. Tak sengaja aku melihat sebuah balok kayu. Aku memukul orang-orang tersebut hingga pingsan. Ia sangat khawatir padaku, padahal ia yang terluka karena aku. Ia terluka parah dan mengeluarkan banyak darah. Hingga akhirnya ia kehilangan kesadarannya. Aku tak tahu harus berbuat apa, karena aku dilanda kepanikan. Aku takut kehilangannya. Aku mencari pertolongan, tapi sangat susah. Perjuanganku tak sia-sia, ada orang baik yang mau membantuku. Aku segera membawanya ke rumah sakit.


Sesampainya di rumah sakit, ia dibawa ke ruang UGD. Aku berdoa, terus berdoa agar ia diberi perlindungan dan kesembuhan. Berjam-jam aku menunggu dengan hati yang cemas, pintu ruang tersebut terbuka, tampaklah sosok berbaju putih diikuti beberapa orang yang berpakaian dengan warna yang sama. Aku segera berdiri dan menghampiri dokter tersebut.


“Bagaimana keadaan temanku, Dok?” tanyaku.


Dokter berkata, “Anda harus bersabar nona, teman anda sudah melawati masa kritis, tetapi…”


“Tetapi, tetapi kenapa dok?” tanyaku tak sabar.


Lanjut sang Dokter, “Tetapi, kini ia…”


Seketika mendengar kabar tersebut, air mataku lolos begitu saja. Lututku terasa lemas. Aku bahagia ia bisa lepas dari masa kritisnya. Tapi, sekarang ia koma. Koma? Ya, ia koma! Entah sampai kapan ia tak sadarkan diri, terbaring di tempat tidurnya, dan sampai kapan aku menunggunya.


Hampir satu tahun sudah aku menunggunya, tapi ia tak jua membuka mata. Setiap hari aku berdoa untuknya, berdoa agar ia cepat kembali dalam hidupku. Kini aku sudah bekerja. Bekerja sebagai seorang penulis. Aku memiliki bos yang sangat baik terhadapku dan karyawan lainnya. Aku bekerja sebagai penulis sudah hampir 3 bulan.


Semakin hari aku semakin sibuk dengan pekerjaanku dan aku sudah jarang melihat ia di rumah sakit. Aku semakin dekat dengan bosku, tapi perasaanku masih tetap sama. Aku menganggap bosku hanya sebagai atasanku tak lebih dari itu. Meskipun aku tahu, bosku memiliki rasa yang lebih untukku. Aku semakin berhutang budi pada bosku, aku tak tahu harus bersikap bagaimana pada bosku tersebut. Ia pun tak kunjung sadar. Hingga suatu ketika aku dihadapkan sebuah pilihan.


“Aku menyukaimu. Tidak! Bahkan ini bukan sekadar rasa suka, tapi aku mencitaimu,” kata bosku.


“Aku? Aku ini bukan siapa-siapa. Bahkan aku mempunyai masa lalu yang kurang baik,” jawabku.


“Apapun masa lalumu itu, aku akan mencoba menerimanya,” katanya.


Kini aku dan bosku berada di sebuah restoran. Aku semakin resah, aku tak tahu harus menjawab apa. Hingga bunyi handphoneku berdering. Ternyata yang menghubungiku adalah pihak rumah sakit. Setelah itu, aku segera menuju rumah sakit dengan diantar bosku. Meskipun aku tak mau diantarnya, tapi aku tak kuasa, ia terus memaksaku. Akhirnya akupun mengizinkannya untuk mengantarku ke rumah sakit.


Sesampainya d irumah sakit, aku bertemu dengan dokter yang menangani seseorang yang berarti dalam hidupku. Aku sangat bahagia mengatui bahwa ia, yang selama ini aku tunggu telah sadar. Aku segera ke ruangannya dan menemuinya. Ia menatapku, ada sebuah kerinduan dalam matanya untukku. Aku segera memeluknya, menangis dan menumpahkan kekesalanku karena ia tak kunjung membuka mata. Aku lupa, ada bosku yang melihatku berpelukan dengannya.


Beberapa minggu setelah ia sadar, aku selalu menyempatkan waktu untuk bersamanya. Hubunganku dan bosku juga masih baik seperti dulu. Bosku akhirnya mau menerima keputusaanku, bahwa aku sudah memiliki seseorang yang selama ini aku tunggu.


Dua tahun kemudian. Punggung kegelapan mulai tersamarkan sedikit demi sedikit mulai terkikis dan hilang dari kehidupan ku. Masa laluku yang terendam luka kini luka tersebut surut tergantikan kebahagiaan.


Pernah aku terperangkap dalam sebuah dimensi yang sulit terpecahkan. Aku terperangkap skenario dari orang-orang terdekatku. Ibuku yang pertama mengubahku dari putih menjadi abu-abu. Aku terdampar di sebuah tempat yang tak pernah aku bayangkan yaitu rehabilitasi. Tempat yang seharusnya tak pernah ada aku, namun karena ibu tiriku aku berada di tempat tersebut. Di tempat tersebut, aku mengenal banyak karakter, dari yang baik sampai yang terburuk. Salah satunya adalah seorang wanita yang sangat baik seperti sosok ibu yang aku impikan. Aku tak bermaksud mengkhianatinya, tapi aku harus meninggalkan tempat tersebut, menginggalkannya dengan secarik kertas sebagai tanda perpisahan. Setelah terlepas dari rehabilitasi, aku harus menghadapi hidup sendiri karena ia seseorang yang selalu ada untukku koma serta menghadapi pilihan cinta. Masih terbayang luka tersebut, aku masih bisa merasakannya. Namun kini aku bisa tersenyum. Di hadapanku ada sosok yang selalu setia mendaampingiku. Sosok yang selalu menguatkanku, selalu ada di kala aku inginkan.


“Terima kasih untuk semuanya,” kataku padanya.


“Jangan pernah katakan terima kasih, karena itu sudah menjadi tugasku untuk selalu menjagamu. Seharusnya, akulah yang mengatakan terima kasih, karena kamu telah memberikan dua pelita hidup untukku,” katanya.


Yahh seperti itulah ia. Aku tahu, ia akan berkata demikian. Meskipun begitu, aku selalu mengucapkan terima kasih atas segala yang telah ia lakukan untukku. Tahukah, ia adalah mentari dalam hidupku. Menerangiku setelah gelap melandaku. Kini aku dan ia sedang duduk di teras rumah yang sederhana melihat kedua pelita hidup kami. Kami telah bersama dalam ikatan janji suci. Hidup kami memang sederhana, tapi aku bahagia dengan keluarga kecilku.





“Alun-alun Kota”


Oleh: Eka Devi


Ada kalanya suatu kenyamanan tercipta karena suatu kebiasaan. Begitu pula dengan suatu kesetiaan, tercipta karena kasih sayang. Berapapun jauh jarak yang memisahkan mereka, namun mereka masih bisa melihat hal yang sama. Langit. Terkadang terpisahnya ruang dan waktu membaut keadaan yang sedemikian sederhananya berbalik arah menjadi sedemikian sulitnya. Hanya saja bahagia itu selalu tercipta di sisa-sisa ujung senja.


Tak ada yang tahu bagaimana rencana Tuhan tercipta, dan terkadang Tuhan berkata lain atas apa yang telah direncanakan dengan sebegitu menariknya. Waktu memang sangat berharga, dan waktu adalah jawaban atas segalanya.


Sore itu, di tengah kota. Alun-alun, orang-orang terbiasa memanggilnya dengan sebutan itu. Semua orang dengan kepribadian yang berbeda, ada di tempat tersebut. Lapangan dan terdapat taman kecil yang di hiasi lampu-lampu dan bunga-bunga yang seadanya. Asri, indah, dan sejuk. Baginya, tempat itu adalah tempatnya mengadu, menangis, dan mungkin tempatnya merebahkan tubuh mungil itu. Tempat dimana mereka dipertemukan oleh takdir. Sebut saja seperti itu. Rima dan Aldo.


Rima saat itu sedang melakukan hal seperti biasanya. Menghibur orang-orang yang sedang berada di alun-alun. Iya, dengan ketrampilan yang dimilikinya. Ia berusaha untuk membahagiakan mereka yang ada di tempat itu. Menyanyi dan memainkan gitar, itulah yang dilakukan.


“Permisi Kak, maaf menganggu.”


Oohh ibu, terimakasih atas kasih sayang yang tak pernah usai


Tulus cintamu, takkan mampu untuk terbalaskan


Ohh ibu, emoga tuhan memberikan kedamaian dalam hidupmu


Putih kasihmu takkan mampu untuk terbalaskan...


Aldo termangu melihat Rima yang sedang bernyanyi tepat di depannya.


“Merdu sekali suaramu”


“Terimakasih Kak.”


Rima mencoba untuk undur diri. Namun dicegah oleh Aldo.


“Tunggu dulu, ini buat kamu”


“Wah, apa ini Kak”


“Itu formulir pendaftaran penyanyi cilik yang diadakan oleh salah satu acara di kota ini.”


“Lantas, apa selanjutnya yang harus saya lakukan dengan formulir ini Kak? Saya tidak begitu paham, lagian saya juga hanya seorang pengamen.”


“Begini, kamu tinggal mengisi data apa saja yang telah tertera di formlir itu. Besok atau lusa Kakak akan kesini lagi untuk meminta formulir itu dan akan Kakak serahkan ke sekretariat pendaftaran. Bagaimana, kamu mau kan?”


“Tapi, Kak”


“Sudah, tidak apa-apa. Namamu siapa?”


“Emm, Rima Kak”


“Aku Aldo”


“Iya Kak Aldo. Terimakasih sebelumnya, saya pamit dulu”


“Iya sama-sama. Hati-hati ya Rima. Aku tunggu besok lusa di tempat ini” dengan agak teriak Aldo berkata kepada Rima karena Rima telah berjalan agak jauh meninggalkan Aldo yang masih di tempat itu.


Dari situlah mereka bertemu. Hingga akhirnya mereka bagaikan kakak adik yang begitu akrab. Mulai saat Rima mengikuti kontes penyanyi cilik dan ternyata menjadi juara satu hingga kini Rima diajak Aldo untuk mebuat single pertamanya. Awalnya Rima menolak, namun jika teringat ketika ia harus mengamen dan tidak dapat melanjutkan sekolahnya serta ia hanya hidup sebatang kara, ia akhirnya menerima tawaran Aldo. Siapa lagi kalau bukan Aldo yang bisa membantu dan melindunginya. Usia mereka terpaut jauh. Namun, hal itu tidak membuat mereka merasa canggung satu sama lain. Rima dengan usia sebelas tahun dan Aldo yang berusia duapuluh sembilan tahun. Mereka memang benar-benar seperti kakak adik. Tak ada yang menyangka kalau mereka hanya dipertemukan di alun-alun ketika Rima sedang mencari uang untuk hidupnya dan Aldo yang sedang mencoba menenangkan pikirannya karena pekerjaan yang begitu melelahkan. Di alun-alun itulah kisah kecil itu tercipta.


“Rima...”


“Iya Kak”


“Kakak minta suatu saat nanti kalau Rima sudah besar, Rima mau ya jadi orang yang sukses, berguna bagi keluarga, bangsa dan negara. Rima mau kan?”


“Iya Kak. Rima mau. Tapi kenapa kakak bilang seperti itu. Kelak Rima ingin menjadi sosok seperti Kakak. Kakak baik, tidak memandang orang hanya karena status sosial. Rima bisa seperti ini karena Kakak.”


“Ya sudah, yang penting kamu belajarnya harus lebih rajin. Biar nanti bisa seperti kakak.”


“Iya Kak. Makasih ya Kak. Rima sayang Kakak.” Sambil memeluk Aldo dan tanpa disadarinya, ternyata Aldo meneteskan air mata.


Hingga beberapa tahun kemudian usia Rima telah beranjak menuju duapuluh tiga tahun, namun masih saja belum ada kabar dari Aldo. Rima begitu merindukan sosok Aldo yang tanpa kabar tiba-tiba menghilang entah kemana. Hingga kini Rima telah lulus menjadi Sarjana Sastra. Dia memang pandai menyanyi, namun dia juga sangat suka pada dunia sastra hingga dia mengambil jurusan tersebut. Kini diapun telah merilis album yang ke tujuhnya.


Pada suatu ketika saat ia pergi ke alun-alun untuk sekadar menenangkan pikirnya, ia melihat sosok bapak separuh baya. Sosok bapak itu tertunduk lesu dan semakin Rima mendekatinya semakin terdengar pula tangisannya.


“Apa yang terjadi terhadap bapak itu?” batin Rima


Rima hanya berlalu saja dari tempat duduk bapak itu. Namun, dalam benaknya masih saja berpikir. Mengapa malam sedingin ini bapak separuh baya itu di alun-alun sendirian dengan menangis terisak-isak? Lantas kemana keluarganya? Apa mereka rela membiarkan orang tua seperti itu berada di tempat yang mungkin dapat dibilang ramai ini.


“Ah, apalah yang kupikirkan. Lebih baik aku tidur untuk kegiatanku esok nanti”


Rima kemudian pulang dan langsung saja menutup mata hingga beberapa menit kemudian sudah tertidur pulas. Akan tetapi, lagi-lagi Rima memimpikan Aldo dan bapak separuh baya yang dilihatnya di alun-alun tadi.


“aarrghhhh..huh. Tuhan, apa yang terjadi? Mengapa aku memimpikan Kak Aldo dan bapak separuh baya itu. Apa hubungan Aldo dengan bapak separuh baya itu?”


Rasa penasaran yang begitu menyiksanya. Akhirnya esok harinya, ia memutuskan untuk pergi ke alun-alun dan menemukan bapak tua itu. Namun, hampir semalam itu ia menunggu tapi hasilnya nol. Bapak paruh baya yang ditunggunya kini tidak datang. Kemudian Rima memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba dipersimpangan jalan, ia berpapasan dengan bapak itu. Lagi-lagi bapak itu tertunduk lesu. Tanpa berpikir lama, langsung saja Rima menyapanya.


“Pak”


Masih dengan tertunduk lesu, bapak itu menjawab dengan sisa-sisa tenaga yang dipunyainya.


“Iya”


“Bapak terihat sedang sedih sekali. Apa yang bisa Rima bantu?”


Mendengar nama Rima, sontak laki-laki itu memandang Rima dari ujung kaki sampai rambut.


“Kau Rima?”


“Iya Pak. Saya Rima. Mengapa anda melihat saya seperti itu Pak?”


“Kau hampir mirip dengan adik temanku. Tapi sayang mereka sudah lama terpisah. Mungkin sudah belasan tahun.”


“Mengapa mereka bisa terpisah?” tanya Rima.


“Iya, kakaknya yang meninggalkan adiknya. Ia pergi ke luar kota, kembali ke keluarganya yang telah lama ia tinggal. Ia pernah berjanji kepada keluarganya, jika suatu ketika walaupun ia tidak akan pernah berkeluarga karena ia mengidap penyakit kanker stadium empat dan mungkin usianya tidak lama lagi. Ia berjanji akan membahagiakan orang-orang diluar sana. Ternyata ketika ia merasa jenuh dengan hidupnya, ia bertemu dengan anak kecil di tempat ini, keinginannya untuk hidup tumbuh lagi. Anak kecil itu sudah dianggap menjadi adiknya sendiri, bahkan seperti anaknya. Ia hanya ingin adiknya kelak menjadi orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan negara. Ternyata prediksi usianya yang tinggal beberapa hari saja tidak benar, Tuhan telah berkehendak. Semangatnya yang tinggi untuk mempertahankan hidupnya berhasil. Namun, hanya beberapa tahun saja. Satu bulan ini, ia telah tiada. Ia telah menghadap kepada Tuhannya. Begitu malang nasibnya, ia belum sempat melihat anak kecil itu yang mungkin kini telah dewasa menjadi wanita yang cantik, cerdas, dan sukses. Kasihan sekali ia. Aku sering kesini hanya ingin mengingat masa-masa mereka saat pertama berjumpa. Walaupun ia belum sempat melihat anak itu, setidaknya aku tahu kabar dari anak itu dan akan kuceritakan padanya melalui doa yang kupanjatkan kepada Tuhan.”


Bapak tua itu tidak tahan menahan kucuran air mata yang keluar dari pelipis matanya. Rima pun tersentak mendengar cerita itu.


“Pak, kalau boleh tahu siapa nama sahabat karib anda itu?”


“Aldo. Aldo Hermansyah lengkapnya”


Rima pun tak kuasa menahan air matanya dan ia tertunduk lemas ketika mendengar nama itu.


“Mengapa kau menangis nak?”


Setelah Rima mengetahui bahwa Aldo telah tiada dan ternyata selama ini ia ditinggal pergi tidak hanya dibiarkan begitu saja. Aldo masih sering memantaunya dan kini mereka tidak dapat dipertemukan lagi di tempat itu. Alun-alun kota. Kenangan yang membuatnya bahagia dan terkadang membuatnya menahan duka.





Bimbang dalam Sepi


Oleh: Bunga Faizatul Anggraeni






Di suatu daerah perkebunan kopi di Jawa Timur yaitu suatu daerah yang
beralam indah, sejuk dan kaya, tinggallah seorang janda muda bernama nyonya Martopo. Janda tersebut hidup sendiri karena suaminya telah meninggal tiga bulan yang lalu dan dia belum dikaruniai seorang anak, meskipun dia seorang janda kaya raya yang mempunyai banyak warisan dari almarhum suaminya, namun dia merasa hidup ini sudah tidak berarti karena suaminya telah tiada.


Pada suatu hari, matahari tepat berada di atas kepala dan membuat nyonya Martopo enggak keluar untuk sekadar melihat pekerjaan buruh kopi di kebun kopinya. Nyonya Martopo duduk di ruang tamu sambil memandangi foto almarhum suaminya yang gagah, bermata besar dan berkumis tebal itu. Tiba-tiba buruhnya masuk dan menyela lamunannya.


“Sudahlah Nyonya, jangan bersedih terus. Biarlah Tuan tenang di alam sana.” kata Darmo kepada nyonya Martopo.


“Tetapi aku belum bisa mengikhlaskan suamiku Darmo, aku begitu mencintainya. Aku sangat merasa kehilangan.” tiba-tiba air mata nyonya Martopo tumpah sambil memeluk foto almarhum suaminya.


“Iya nyonya saya paham, tetapi nyonya tidak bisa seperti ini terus, nyonya harus melanjutkan hidup. Sudah tiga bulan sejak Tuan tiada, tetapi nyonya masih saja dalam suasana berkabung seperti ini.” kata Darmo menasehati nyonya Martopo.


“Tidak Darmo, tidak! Hidupku sudah tidak berarti lagi tanpanya, aku akan tetap setia kepada bangkai suamiku, aku akan membuktikan kepadanya betapa aku mencintainya. Di akhirat sana dia pasti melihatku dan dia akan tahu bahwa aku tidak akan pernah menghianatinya.” kata nyonya Martopo yang tetap gentar dengan prinsipnya.


“tapi Nyonya...”


Belum sempat Darmo meneruskan, nyonya Martopo membentak dan menyuruhnya untuk keluar. Nyonya Martopo pun semakin menangis dan menjadi sambil tetap mendekap foto almarhum suaminya.


Sementara di luar Darmo yang sedang duduk di halaman depan rumah dikagetkan dengan seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dan menerobos ingin masuk rumah untuk menemui nyonya Martopo.


“Eh, eh tunggu! Tunggu dulu. Siapa anda? Datang menyelonong tidak pakai permisi segala.” kata Darmo mencoba mencegah orang asing tersebut masuk ke dalam rumah.


“Ah minggir! Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku ingin bertemu dengan juraganmu, di mana dia?” kata tamu tersebut sambil memaksa untuk masuk ke dalam rumah.


“Nyonya sedang tidak dapat di ganggu, apalagi kau ini kasar sekali. Nyonya pasti tidak mau bertemu dengan orang sepertimu!” kata Darmo sambil mencoba melawan orang tersebut.


Ternyata usaha Darmo tidak digubris oleh orang tersebut dan dia pun berhasil masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.


Nyonya Martopo yang masih duduk di ruang tamu kaget dan langsung berdiri.


“Siapa kau? Berani-beraninya masuk rumah orang tanpa permisi, tidak punya sopan santun.” kata nyonya Martopo jengkel.


“Maaf nyonya, orang ini tiba-tiba menerobos untuk masuk dan ingin bertemu nyonya.” kata Darmo.


Darmo pun meninggalkan nyonya Martopo dan orang tersebut di ruang tamu. Orang asing tersebut memperkenalkan diri dan mengatakan maksud tujuannya menemui nyonya Martopo. Ia bernama Baitul Bilal dan bermaksud untuk menagih hutang suami nyonya Martopo. Nyonya Martopo tidak menyukai orang tersebut karena ia kasar dan suka membentak. Nyonya Martopo pun menolak untuk membayar hutang suaminya karena ia merasa tidak memakai uang tersebut, tetapi Baitul Bilal memaksa dan mendesak Nyonya Martopo agar segera membayar hutang suaminya saat itu juga. Dengan alasan tidak mempunyai uang, nyonya Martopo tetap tidak mau membayar hutang suaminya tersebut.


“Saat ini aku tidak punya uang, besok saja menunggu bendaharaku pulang dari kota, karena uangku berada padanya. Tidak bisakah kau sabar sedikit?” kata nyonya Martopo. Perkataan nyonya Martopo tidak digubris oleh Baitul Bilal.


“Aku tetap menginginkan uang itu sekarang, aku akan menunggu sampai kau membayarnya.” kata Baitul Bilal yang keras kepala.


Nyonya Martopo bingung bagaimana cara mengusir Baitul Bilal. Nyonya Martopo menyuruh Darmo untuk mengusir Baitul Bilal, tetapi tetap saja orang itu bersikeras untuk tetap tinggal. Pertengkaran dan percecokan pun tidak dapat dihindari, nyonya Martopo dan Baitul Bilal beradu mulut sampai nyonya Martopo mengajak untuk berduel dengan senapan angin. Ajakan nyonya Martopo tersebut tentu saja ditolak oleh Baitul Bilal karena ia tidak mungkin memakai senjata untuk berduel dengan seorang wanita. Nyonya Martopo terus mendesak dan mengajak Baitul Bilal untuk berduel, akhirnya Baitul Bilal pun menyetujui permintaan nyonya Martopo tersebut.


“Tetapi, aku tidak tahu bagaimana caranya memakai senapan, karena suamiku tidak pernah mengajariku.” kata nyonya Martopo.


“Ah, kau ini bagaimana? Menantang tapi kok tidak tahu cara menggunakannya. Baiklah, akan aku ajarkan caranya terlebih dahulu kepadamu. Merepotkan saja!” kata Baitul Bilal sambil menggerutu.


Baitul Bilal pun membantu nyonya Martopo berlatih senapan, namun ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Dia merasakan suatu getaran di dadanya ketika dia memegang tangan nyonya Matopo.


“Getaran apa yang kurasakan? Sepertinya aku mencintainya” pikirnya dalam hati.


Baitul Bilal pun mengatakan secara jujur dan terus terang kepada nyonya Martopo bahwa dia mencintai nyonya Martopo. Baitul Bilal merasa kagum dengan pribadi nyonya Martopo.


“Apa yang kau katakan ini? Jangan asal bicara. Ah aku tahu, kau hanya ingin merayuku agar aku mau membayar hutang suamiku kan? Atau karena kau takut aku tantang berduel?” kata nyonya Martopo kaget saat mendengar penyataan dari Baitul Bilal.


“Aku mengatakan hal yang sebenarnya, tidak seperti yang kau pikirkan”, kata Baitul Bilal.


Baitul Bilal pun meyakinkan nyonya Martopo bahwa dia benar-benar terpesona dan mengagumi nyonya Martopo, tidak ada maksud lain untuk mengelabuhi nyonya Martopo.


Baitul Bilal terus meyakinkan nyonya Martopo, tetapi nyonya Martopo juga terus menyanggahnya. Hingga akhirnya hati nyonya Martopo luluh dan dia merasakan hal yang sama dengan Baitul Bilal. Pertentangan dan pertengkaran itu ternyata menimbulkan benih-benih cinta untuk mereka berdua.


“Tetapi, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima cintamu karena ada suamiku.” kata nyonya Martopo sambil menundukkan kepala.


“Suamimu? Suamimu sudah mati, Nyonya. Dia tidak mungkin kembali lagi. Ayolah, buka lembaran baru bersamaku.” bujuk Baitul Bilal.


“Tidak, aku sudah berjanji kepada suamiku bahwa aku akan setia kepadanya. Aku tidak akan mengkhianatinya. Aku mencintaimu, tetapi aku tak bisa.” Tolak nyonya Martopo


“ayolah, kita akan membuka cerita baru tanpa suamimu. Kita bisa mempunyai kebun kopi yang lebih luas apabila kita menggabungkan kedua lahan kebun kopi kita. Menikahlah denganku, Nyonya.” rayu Baitul Bilal meyakinkan.


Nyonya Martopo dilanda kebingungan dan kegalauan karena disatu sisi dia sudah berjanji tidak akan mengkhianati suaminya, tetapi di sisi lain dia mencintai Baitul Bilal.






Gantikan Ia dalam Pelukku


Oleh: Khoyriyah Asadah


Senja ditemani kopi di meja bersama kekasih yang baik hatinya.Lengkap, sangat lengkap kukira kebahagianku dalam dunia. Keluarga yang hidup harmonis, teman-teman yang selalu setia padaku, dan kekasih yang sangat mencintaiku. Tak ada masalah, pasti aku akan bahagia hingga tua. (Aku tegaskan dalam pikirku, sambil tersenyum bersama senja).


Malam minggu, malam yang panjang katanya. Bagiku tidak, tetap ada 24 jam pada hati itu. Sama seperti hari-hari lainnya dalam seminggu. Aku lebih suka hari Jumat, di mana kekasihku selalu ke rumahku setelah salat jumat. Siang itu, bersama matahari yang hangatkan kita. Kekasihku berkata, “Aku mencintaimu, sayang”. (Sambil minum es teh yang aku hidangkan). Kata-kata yang sering dijumpai sepasang kekasih. Namun, baru pertamakalinya ia berkata seperti itu, apalagi dengan nada yang manis.


Semenjak waktu itu, ketika kau mengatakan sayang, saat itu hatiku senyap dan jantungku berdegup kencang. Engkau jadikan aku penyemangat hidupmu dengan ridhoNya. Bahagianya aku mendapatkan kasih sayangmu yang ikhlas. Sebenarnya sudah lama aku mengharapkan kasih sayangmu. Namun, karena aku adalah wanita. Akhirnya kusimpan semua itu dalam hati. Hanya kepadaNya, aku memohon atas ridhoNya untuk aku dapat bersamanya. Bersamamu dengan tidak terpaksa namun karena hati kita didekatkan olehNya. Akhirnya keinginan itu tercapai dan kita saling menjaga satu sama lain. Hingga sampai pada waktu kita sama-sama saling menyayangi dan diumur yang sudah siap untuk menikah.


Memang, dalam kehidupan selalu ada permasalahan dan pasti akan ada solusi dari permasalahan tersebut. Permasalahan baru datang dalam hidupku. Keluargaku tidak merestui hubunganku dengannya, dengan alasan, “Kamu adalah seorang sarjana, sedangkan dia hanya lulusan SMK! Mau makan apa kamu nak?” itulah yang di tuturkan ibuku.


Ayahku pun menambahi dengan kalimat, “Ayah takut jika kamu tidak bahagia jika menikah dengannya, karena kondisi ekonomi yang menengah kebawah. Ayah berharap kamu mengerti apa yang diinginkan Ayah dan Ibu, nak. Kamu sudah dewasa untuk memilih calon suami, kamu yang lebih tau siapa yang pantas”. Ayah pun langsung pergi dari hadapanku.


Dilema antara mempertahankan dia dengan menuruti keinginan orang tua. Sulit, begitu sulit dibandingkan tes skripsi tahun lalu, karena dari awal, aku dan kekasihku sudah sepakat dan kita sudah siapkan visi dan misi kedepan setelah aku selesai kuliah.


Dalam kehidupan sehari-hari dia juga selalu berkata, aku takut jika kehilangan mu. Dia juga sudah menyadari dari awal masalah apa yang akan dihadapinya di masa yang akan dating. Kini memang sudah waktunya, dia sudah mengetahui, apa yang akan terjadi setelah aku wisuda. Tanpa aku bercerita dia sudah mengerti, bagaimana jalan pikiranku.Aku sayang padanya, banyak semangat dan motivasi yang aku dapatkan saat bersamanya. Hingga tiba disaat aku harus memilih siapa yang akan menjadi suamiku.


Saat itu dirumahku terdapat seorang laki-laki pilihan Ayah, ternyata yang dipilih Ayah adalah dosen bahasa Inggris di sebuah Universitas negeri. Pria itu anak dari teman Ayah, karena dahulu aku sudah pernah bercerita bahwa lelaki idamanku adalah seorang dosen bahasa Inggris dengan kepribadian yang baik.Sesuai keinginanku, ayah pun mencarikan orang yang menurut beliau tepat untuk menjadi suamiku. Namun, waktu telah berlalu. Dan berlalunya waktu membawa hatiku untuk kekasihku. Hingga pada akhirnya aku tidak dapat menjawab pertanyaan yang dilontarkan pria itu. Aku terlalu mencintai kekasihku dan kita juga sudah saling mencintai. Sudah empat tahun berlangsung dengan bahagia, apakah aku yang akan melukainya?


“Dek, mengapa kok sepertinya hatimu gelisah?Apa yang terjadi, ceritalah denganku.” Itulah pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku.


Segera aku menjawabnya dengan, “Ayah membawa seorang pria dan dikenalkan kepadaku, namun aku benar-benar tidak bisa menjawab. Dia seorang dosen bahasa Inggris, aku bingung harus bagaimana?”


Dia hanya membalas dengan, “Pilihlah sesuai kata hatimu, karena itulah jawaban yang benar.”Segera aku menghubunginya dan aku meminta maaf kepadanya. Aku khilaf dan aku benar-benar bingung. Namun dia hanya menjawab dengan tenang dan hati damai. Katanya, “Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kita, bahkan jodoh itu sudah diatur Nya.”


Begitu tenangnya dia menanggapi persoalanku. Persoalan untuk kehidupanku. Akhirnya malam hari terbesit gagasan dalam benakku. Esok hariya aku memberi saran kepada kekasihku, aku memintanya agar datang kerumahku untuk makan malam bersama keluargaku. Dia datang, dan aku memintanya agar memohon izin kepada orang tuaku agar kita diizinkan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Namun, ayah tetap kekeh. Jawaban orang tuaku sama, mereka tidak memberikan izin.


Akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan pria pilihan Ayah, namun tak sedikitpun aku mencintainya. Memang perangainya baik, namun hatiku tetap untuk kekasihku. Pernikahan berlangsung, setelah itu aku memberikan perjanjian dengan suami yang tak kuharapkan agar dia tidak melakukan suatu hal kepadaku dengan alasan aku tidak mencintainya.


Waktu terus berlalu, aku dengan kekasihku masih saling berkomunikasi, bahkan kita semakin mesra disaat dia menelponku. Suamiku pun mengetahui hal itu, entah aku salah atau tidak, sebenarnya aku juga kasihan melihat suamiku seperti itu. Dia tetap saja memperlakukanku dengan baik sesuai kesepakatan dalam perjanjian yang kita sepakati.


Semakin hari, suamiku semakin mendekat denganku. Namun, kekasihku semakin menjauh dariku. Entah karena apa, keadaan seperti berputar, semakin hari suamiku terlihat hebat dimataku. Semakin hari pula hilang pikiranku mengenai kekasihku, yang kini sering disebut kekasih gelapku. Kekasihku pun jarang menghubungiku, bahkan tidak pernah. Terakhir dia menghubungiku, dia mengirimkan pesan, “Aku yakin kamu akan bahagia sayang, meskipun hatimu masih bersamaku namun suatu hari. Kau dapat menerima suamimu dengan baik. Kalian akan menjadi keluarga yang bahagia. Karena kebahagianmu, kebahagiaanku pula.”


Betapa gelisah hatiku tanpa kabar darinya, tanpa terduga ternyata dia meninggalkanku.Meninggalkanku dari dunia ini, dari teman-teman facebook yang mengirimkan bela sungkawa pada dinding facebooknya.Aku terkejut, “Sebenarnya apa yang terjadi padanya?”(Batinku).Tanpa berpikir terlalu lama, aku segera meninggalkan rumah dan pergi kerumahnya untuk bela sungkawa. Ternyata selama aku menikah ia tidak ingin makan, namun tetap bekerja akibatnya dia kekurangan asupan gizi hingga ajal menjemputnya.


Ingin aku mengikutinya di liang lahat. Entah berapa banyak air mataku mengis untuknya. Saat itu bagaikan aku hidup tanpa jiwa. Aku ingin menemaninya dan aku tidak ingin pulang kerumah. Suamiku menjemputku dan aku memarahinya, namun dia langsung memelukku. Dalam pelukannya aku seperti mendapatkan kenyamanan yang lama tidak aku dapatkan. Suamiku membelai rambutku sambil berkata, “Sabar sayang, semua orang pasti akan meninggal karena ini adalah takdir.”


Secepatnya aku diajak pulang bersamanya, dengan terpaksa aku mengikutinya kembali kerumah.Sesampai dirumah, terdapat orangtuaku di ruang tamu, ternyata beliau menungguku pulang.aku menyapa mereka dan mereka berkata, “Sabar nak, kamu harus kuat karena sudah ada suamimu disampingmu.” Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.


Dengan segera Ayah menyahut anggukanku, “Nak, Ayah minta maaf sudah memaksakan kamu untu menikah dengan Robi. Namun, semua itu sudah diatur kekasihmu, Raffi dia sebenarnya sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Raffi memiliki penyakit yang mematikan. Sehingga Raffi mencarikan penggantinya untuk menjadi suamimu, ia dapatkan Robi. Sebenarnya Ayah menyetujui jika kalian akan menikah, namun semua ini permintaan Raffi. Maafkan Ayah nak?”


Aku terpaku luar biasa, aku menangis lebih keras dan suamiku memelukku kembali.“Aku diminta Raffi untuk menjagamu sayang. Kamu mau aku jaga kan? Aku akan menjagamu dari dalam maupun luar. Aku akan menjaga kehormatanmu, menjaga kebahagianmu.”Untaian kalimat yang dilontarkan suamiku.


Memang sulit untuk menerima apapun yang terjadi. Mungkin aku akan lebih sakit lagi jika aku menikah dengannya lalu aku ditinggalkannya. Mungkin ini memang jalan yang terbaik yang ditakdirkan Tuhan untukku.Akhirnya aku belajar mencintai suamiku hingga aku benar-benar mencintainya dan kita memiliki dua anak kembar.Kita sama-sama belajar menjadi seorang suami dan seorang istri yang baik. Dalam lubuk hatiku yang terdalam masih terdapat nama kekasihku, dalam sujudku selalu mendoakannya, agar dia di tempatkan di tempat yang paling indah, di surgaNya.






Cinta Seketika


Oleh: Tri Mulyani


Masih kuingat kenangan kelam tujuh bulan lalu. Saat itu hujan gerimis yang membasahi setiap jengkal tubuh mulai deras dan tak terkendali. Sekujur tubuhku basah akan air mata langit yang tak bisa kuhentikan. Aku masih terdiam di pusaraitu. Tempat dimana jasad yang kucintai tertanam disana. Hatiku hancur lebur dan aku tak dapat merangkainya lagi. Dunia bahagiaku telah direnggut dunia kesedihan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Putih telah tertutup oleh hitam. Inspirasi hidupku telah berpulang, api dalam rongga hatiku telah. Kini hanyalah foto usang dalam bingkai kecil satu-satunya kenangan yang kupunya. Tersibak aku dalam lamunan yang tak menentu. Merindukan kehadiran sosok yang telah lama tak ku sua. Balut angan hitam selalu melekat ditubuh ini sebagai wujud kesedihanku. Kesedihan yang tiada ujung sangat kurasakan. Aku merasa Tuhan tak pernah adil kepadaku. Semasa hidupnya, suamiku tak pernah membuatku bahagia. Bahkan ia sibuk dengan wanita-wanita lain di luar sana. Setelah kepergiannya aku tak bias melupakannya sama sekali. Aku terlalu mencintai dirinya. Akulah Nyonya Martopo. Janda dari saudagar kaya raya yang sekarang mengurung diri di balik dinding beku rumahku.


Suatu siang aku termenung dalam lamunan di ruang tamu. Tergenggam di tangan foto almarhum suamiku. Lalu datanglah Pak Darmo menghampiriku yang sedang duduk di ujung kursi. Aku terlibat suatu perbincangan dengannya.


“Malangnya nasibku ini pak, menjadi janda tanpa sempat dibahagiakan suamiku”, kataku.


“Sudahlah Nyonya, anda jangan berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini. Dunia rindu kepada anda selama ini.”


“tapi pak, aku sangat mencintai almarhum suamiku. Kami telah sama-sama mati. Suamiku mati di kubur itu sedangkan aku mati di balik sekat tembok rumah ini.”


“Saya tau nyonya, tapi apakah nyonya akan terus-menerus seperti ini ?”


“Aku pun tak tau pak, biarkan aku hidup seperti ini”, jawabku penuh dengan kepasrahan.


Pak Darmo merasa kesal dan pergi meninggalkan akusendiri.Takterasa air matakumulaimengalirmembasahipipi.Akuteringatsaat-saatbersamasuamiku.Hinggaakhirnyatangiskuterhentiolehsuaragaduhdi depan. Aku pun penasarandankeluaruntukmemastikanapa yang terjadi. Suaragaduh yang kudengaradalahsuarapakDarmodansoranglelakiparuhbaya yang nampaksedangmarah-marah.


“Ada apainigaduhsekali ?”, katakudengankesal.


“Begininyonya, laki - lakiinimemaksauntukbertemuanda.Sayasudahkatakanbahwaandatidakinginbertemudengansiapapun”.


Laki-lakiitumemotongpembicaraan, “perkenalkannyonya, saya Bilal. Kedatangansayakemariuntukmenagihhutangsuamiandakepadasaya”.Katanyadengansangatkasar


“maaftuan , andabisalebihsopantidak ?


“bagaimanasayabisasopan? Pelayanandasajatidakmenyambutkedatangansayadenganbaik.Laluuntukapasayasopan ?”.


“iya, maafkanpelayansayatuan. Pak Darmotolongbuatkanminumanuntuktuanini”.


“Baiknyonya, jawabpakDarmo sembari berjalan menuju dapur.


Akumelanjutkanpembicaraandenganlelakiitu . “Tapimohonmaaftuan, bendaharasayasedangtidakada di rumahdanbaruakankembaliduaatautigaharilagi. Jadimaafkansayatidakbisamelunasihutangnyasekarang. Saya sedang sangat tidak bernafsu berbicara dengan tuan. ”


“ Semua orang yang kutagih hutang hari ini terlalu banyak alasan. Sekarang Nyonya beralasan tidak bernafsu ? Tapisayamauuangnyasekarang.SayasangatmembutuhkanuangituNyonya. Kalau tidak sekarang, pihak Bank akan menyita perkebunan saya.”


“Tapituan, sudahsayakatakantadi.Bendaharasayasedangtidakada di rumah, tolongkembalikesiniduaatautigaharilagi.”Akumencobasabarmenghadapinya , meskipun aku mulai tersulut api emosi yang memanaskan pikiranku.


“Tidakbisa, sayaakanmenunggu di sinisampaisayamendapatkanuangsayakembali”, jawabnyadenganmarah.


“ Tuan, sayapastiakanmelunasisemuahutangsuamisaya. Tapitidakbisasekarangtuan, tolong pahami keadaan saya.”


“Janganbanyakalasan, sayamausekarang. Saya sudah sangat marah hari ini. Segenap urat gemetar sampai-sampai saya tidak bisa bernafas. Dulu saat orang yang kuhutangi butuh uang, aku meminjamkan uangku dengan sukarela dan inikah balasan dari mereka?” sahutnyadengan nada tinggi.


Kesabaranku mulai habiskarenaperkataannya yang sangatkasar. Laki-laki yang bernama Bilal itupunjugatakdapatmengendalikanemosinya.Kami berdua saling mengadu ego. Masalah yang awalnya hanya sebatas hutang melebar kemana-mana.


“Rasanya saya ingin mati bunuh diri, dan sekarang saya menjadi benar-benar benci pada perempuan.“


“Tuan, memang anda ini manusia tak punya adat.” Aku mulai mengeluarkan kata-kata yang sesungguhnya tidak ingin aku keluarkan darii mulutku.


“Jadi apakah saya harus berkata-kata romantis kepada anda sebagai perempuan supaya saya dibilang manusia punya adat ?. Saya ini sudah berurusan dengan banyak perempuan lebih banyak dari nyonya menghitung jumlah kancing baju anda. “ sahutnya dengan urat leher yang hampir putus.


Perdebatan kami mulai mengarah ke masalah gender. Aku sebagai perempuan sangat tidak menyukai kata-kata kasar yang ia keluarkan dari mulut yang tak bisa ia jaga itu. Perdebatan kami berlanjut.


“ Tunggu dulu tuan, tapi selama saya kenal dengan lelaki, merekalah yang selalu menindas kami. Bahkan suami saya sendiri tak pernah membuat saya bahagia selama hidupnya. Dia sibuk dengan wanita-wanita simpanannya di luar sana. Bahkan dia tidak tahu betapa saya mencintai dirinya. Lalu apakah lelaki masih dikatakan lebih baik dari perempuan ?”.


“ Tentu saja, perempuan hanya bisa menangis dan mengeluh meratapi nasib hidupnya.Saya jelaskan di sini bahwa saya tak mengijinkan seorangpun menghina saya, dan saya tak akan mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya seorang perempuan.”


Kemarahanku berada di puncaknya. Seluruh tubuh menggeram ingin menghantam laki-laki yang bernama Bilal itu. Aku berjanji akan membunuhnya. Secepat mungkin aku mengambil senapan dari koleksi senapan almarhum suamiku di gudang penyimpanan. Aku mengambil senapan dengan ukuran yang paling besar di antara lainnya. Bilal yang sedang terduduk geram di kursi seketika kaget melihat aku membawa senapan dari gudang.


“Nyonya, apa yang akan anda lakukan ?’’


“Aku akan menembak hingga peluru menembus kepala yang keras kapala itu.”


“Jadi anda menantang saya ? , jangan di kira saya akan kasihan kepada anda karena anda perempuan. Saya akan menembak alis mata yang indah itu dan menghadirkan banyak darah di gaun nyonya yang anggun itu”.


Akupun memberikan salah satu senapan yang kubawa kepadanya untuk megajaknya berduel. Tetapi aku lupa jika aku tidak dapat menggunakan senapan. Akhirnya sebelum berduel aku memintanya untuk mengajariku. Akhirnya dia mau mengajariku menggunakan senapan supaya persaingan kami adil. Dia mengajariku dengan penuh kesabaran. Mulai dari tipe senapan, peluru yang digunakan dan cara terbaik untuk menggunakannya. Di situlah ia mulai melirik wajahku. Aku dengan sigap menghindar.


” begini caranya nyonya, Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Letakkan bagian tengah senapan di bahu anda. Bidk pelan-pelan agar sasaran tak meleset. Bagaimana nyonya?


“ Tak enak menembak di dalam rumah, marilah kita keluar kebun ” Jawabku.


“Baiklah, tapi izinkan saya memberi contoh bagaimana cara menembak itu.”


Diapun melepaskan satu tembakan ke luar dan mengenai ranting-ranting pohon di depan rumah menyebabkan burung-burung yang hinggap di sana beterbangan.


“ mari kita selesaikan ini tuan. “


“tidak nyonya, saya tidak mau melawan anda.”


“Apa karena saya perempuan ? tadi tuan bilang tidak akan mengasihani saya. Jadi mari kita selesaikan ini. saya baru akan puas jika sudah melubangi dahi anda.”


“bukan, bukan seperti itu. Nampaknya saya suka kepada anda nyonya.” Katanya dengan wajah malu-malu.


Hatiku bergejolak tak terkendali. Laki-laki yang awal kedatangannya membuatku sangat marah, kini menyatakan perasaannya kepadaku. Apa ini ? mengapa terjadi begitu cepat dan sangat konstan. Aku bingung ketika ia mengatakan ia suka kepadaku. Aku tak mampu berkata-kata sapatah katapun.


“ Tuan ini berbicara apa? apa ini sebagai upaya anda agar tidak jadi saya tembak ?”


“ Tembak nyonya, tembak saja aku. Terserah anda mau menembak dimana saja. Biarkan saya mati di depan orang yang mempunyai pandangan mata berkilauan seperti itu. Tadi saya suka kepada anda, tetapi sekarang saya sudah hampir jatuh cinta kepada anda. Ah, tidak, tidak. Saya sepertinya sudah jatuh cinta kepada anda. Saya ini masih priyayi, orang terhormat dan punya banyak pekarangan . Jadi maukah anda menjadi istri saya?”


Mataku mulai mengembun dan aku masih tidak mempercayai apa yang terjadi. Tangannya mulai menjamah tanganku melepaskan senapan perlahan-lahan. Perasaan bimbang dan bingung menyelimuti batinku. Apa yang harus kukatakan padanya?


“ saya ini memang manusia tak tau diri nyonya, tapi maukah nyonya menerima perasaanku ini ? aku ingin membuat nyonya terbebas dari dunia kesedihan yang membelenggu anda selama ini. Dunia bahagia hampir datang menyapa anda nyonya.”


Tanpa kusadari tubuhku rebah di depan tubuhnya. Kugenggam tangannya erat sekali seolah tak akan kulepaskan. Di situlah aku sadar selama ini aku membuang waktuku bersama kesedihan yang berlarut-larut. Di matanya aku melihat harapan. Di wajahnya aku melihat masa depan. Seketika aku jatuh cinta pada laki-laki yang bernama Bilal itu.

























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By