Breaking News

Sabtu, 13 Desember 2014

Perjanjian Spermatozoa

Oleh: Fuad Akbar Adi

Penuh dengan kesepian. Aku mulai bermain-main dengan laptopku. Memencet segala jenis tombol yang ada di keyboard. Bermain-main dengan bayang-bayang apa saja yang terlintas dalam pikiran ini. beberapa kali terlintas dengan keadaan keluarga yang sudah lama aku tinggal, beberapa kali terlintas dengan karib-karibku yang lama tak jumpa, beberapa kali pula teringat dengan kenangan-kenangan yang pernah terjadi dalam hidupku.

Kupasang headset dan kumainkan beberapa lagu, hanya untuk memecah kesunyian ini. Sendiri di sebuah kontrakan yang sudah setahun aku huni bersama dengan teman-teman seperjuanganku di kuliah. Saat ini mereka, teman-temanku, mungkin sedang bercengkrama dengan keluarga mereka, mungkin sedang bercanda gurau dengan karib-karib mereka, atau mungkin sedang bernostalgia dengan kenangan-kenangan mereka dahulu. Sedang aku? aku sedang apa? Mungkin sedang menikmati malam ini dengan kesunyian.

**********

Aku mencoba bertanya-tanya dengan diriku sendiri, aku mencoba meraba alam bawah sadarku. Aku ingin mengetahui bagaimana kehidupan di alam bawah sadarku yang sudah dari dulu tak kusadari. Namanya saja alam bawah sadar, pasti tak mungkin kita sadari. Hanya orang-orang kurang kerjaan seperti aku saja yang mencoba membuka logikanya untuk mengetahui begaimana kehidupan alam bawah sadarnya sendiri. Mungkin aku sudah gila, mungkin aku sedang depresi. Tugas-tugas perkuliahan yang menumpuk malah aku kesampingkan hanya untuk mencari tahu sesuatu yang tak mungkin dicari tahu. Tapi bagaimana jika berhasil? Bagaimana jika aku mampu menyusuri alam bawah sadarku dengan sadar? Masih ada kemungkinan bukan, jika dicoba?

Mencoba fokus dan konsentrasi, aku memejamkan kedua mataku perlahan-lahan. Menikmati detik-detik kegelapan yang segera akan aku alami. Lama sekali waktu yang aku rasakan dalam proses ini. Detak jantungku makin berdebar, makin kencang berdebar, dan tak lama kemudian, gelap pun tiba. Dalam kegelapan aku masih terjaga, dalam kegelapan aku masih bisa merasakan keadaanku dan keadaan disekitarku, pertanda aku masih sadar. Pertanda aku belum memasuki alam bawah sadarku.

Lama aku terpejam dalam gelap, namun keadaan tidak berubah. Aku mulai frustasi, kemudian secara perlahan-lahan pula, kubuka kedua mataku. Sedikit demi sedikit, mataku mulai menyusuaikan keadaan yang tadinya gelap berubah menjadi terang benderang, akibat cahaya lampu kontrakanku kukira tentunya. Mataku berkedip-kedip secara cepat, kemudian makin pelan, pelan, dan kemudian aku terperangah!

Semua keadaan yang ada di tempat ini sebelum aku terpejam sangat berbeda. Semuanya berubah, sedikit pun tak ada yang sama. Tak ada apapun di sini kecuali cahaya putih yang berbinar indah. Silau cahaya ini sangat terang melebihi cayaha lampu kontrakanku. Suasana tetap sunyi, bedanya aku dapat mendengarkan suara musik yang mengalun sangat indah. Aku mengidentifikasi suara itu, seperti semacam sasando, alat musik khas nusa tenggara. Alunanya begitu klasik dan sederhana namun begitu selaras dan harmoni di telingaku. Hinga tak kusadari, kakiku telah melangkah tertarik mencari sumber suara indah itu.

Aku melangkah tak tentu arah dengan tangan-tangan menjaga keseimbangan. Aku bingun harus kemana. Karena semuanya sama. Tak ada belokan dan tak ada pembatas. Aku hanya mengandalkan indra pendengaranku saja untuk terus menlangkah. Kufokuskan semuanya ke kedua daun telinga ini. Bagaikan kelelawar yang mencari mangsa menggunakan sensor pendengaranya.

Aku melangkah semakin jauh dari tempatku tadi. Suara alunan musik pun makin lama makin jelas terdengar, pertanda aku makin dekat dengan sumber suara. “Ternyata kupingku ini hebat juga” gumamku sambil tersenyum.

“Hai Fuad. Selamat datang” tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah depanku. Aku terkejut, kucoba menyipitkan mataku, memfokuskan arah pandangku. Namun, di depanku terlalu silau. Mataku tak kuat menahan sinarnya yang jelas-jelas mengarah ke arahku. Kupalingkan wajahku dengan tangan kiriku menutupi kedua mataku. Suara tadi benar-benar lembut dan merdu. Tak perlu menyanyipun suara itu sudah terdengar sangat indah. Entah, aku tak tahu, aku belum pernah mendengar suara itu tapi aku merasa tak begitu asing dengan suara itu. Dan, yang membuatku paling terkejut adalah suara tadi jelas memanggil namaku. Orang itu mengenalku?

“Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?” aku menjerit dengan posisi tubuh masih menahan cahaya silau itu.

“Oh, maaf Fuad. Cahayanya terlalu silau ya? Baik akan kuredupkan.” Dia berbicara seolah-olah sangat akrab kepadaku.

Berbarengan dengan ucapanya tadi, tiba-tiba cahaya yang tadinya menyilaukan meredup dengan drastis. Kini kudapat membuka mataku lagi, kupalingkan wajahku ke sumber suara. Awalnya samar-samar namun lama-lama nampak jelas. Seseorang berdiri dihapanku dengan senyuman manis bak dewi Athena. Wajah yang cantik, manis, anggun. Ditambah pakaian serba putih yang ia kenakan menambah pesonanya. Aku makin bertanya-tanya dalam hati. Siapakah dia? Apakah dia malaikat? Apa aku sudah mati? Jadi dia malaikat yang sudah mencabut nyawaku? Mataku terbelalak tiba-tiba saat terbayang diriku sudah mati. Namun, semua dugaanku itu terbantahkan saat tawa lirihnya terdengar memecah kesunyian ini.

“Haha, kamu sedang membayangkan apa, Fuad? Aku ini bukan malaikat. Tenang saja, kamu belum meninggal kok” kembali dia tersenyum sok akrab.

“Hah, begitu ya. Lalu, tempat apa ini? Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?” kuberondong dia dengn pertanyaan yang kulontarkan begitu cepat.

“Oh, mengenai itu. baik akan aku jelaskan. Sekarang kau berada di dalam alam bawah sadarmu sendiri. Alam yang sebenarnya sering kau kunjungi saat kau terlelap dalam tidurmu. Ngomong-ngomong bukanya kamu sendiri yang berusaha masuk ke dalam alam bawah sadarmu sendiri, tadi?”

“Eh, eee iya ding ya. Tapi kan . . .oh, iya siapa namamu?” aku bingung harus menjawab apa sehingga aku alihkan pembicaraan.

“Duh duh duh. Kamu emang koplak. Kalau kau tanya namamu? Namaku ya juga Fuad”

“Hah, kok bisa kamu kan cewek. Jawab yang bener dong!”

“Seriusan, namaku Fuad. Aku kan juga bagian dari dirimu, namun dalam versi yang lain. Fuad dalam versi perempuan” dia bicara dengan wajah teramat polos.

“What?! Sumpah kau benar-benar membuatku pusing. Maksudmu itu apa?”

“Duh kamu telmi banget. Baik akan aku jelaskan secara detail. Semua berawal sebelum kau lahir, bahkan sebelum aku menjadi janin. Emmm, mungkin lebih tetapnya saat kau masih berwjud cairan yang disebut sperma. Waktu itu, kita adalah sperma yang memiliki kelainan. Kita sperma yang dempet”

“Maksudnya dempet?”

“Maksudnya, kita adalah sperma yang kelak saat kita menjadi juara dalam perlombaan lari menuju sel telur ibu, kita akan menjadi bayi yang kembar siam. Dan yang lebih anehnya lagi, kita berbeda jenis kelamin. Kamu laki-laki dan aku perempuan”

“Hah, seperti itu ya? terus kenapa kenyatanya aku lahir sebagai bayi yang normal?”

“Itu karena perjanjian yang telah kita sepakati”

“Haduh, apa lagi ini? Perjanjian apa maksudnya?

“Ini perjanjian kita saat menjadi sperma, bodoh. Waktu itu kita berlali paling cepat menuju sel telur. Meninggalkan jauh sperma lainnya. Namun, sebelum sampai finis, kau mengatakan sesuatu kepadaku. kau mengatakan bahwa kita jika lahir, kita akan menyusahkan kedua orangtua kita saja. Tentunya karena kita kelainan dan akan menjadi kembar siam. Akupun menyadari maksudmu, dan kemudian kita membuat kesepakatan”

Sumpah! Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang sedang Fuad versi perempuan bicarakan. Bagaimana bisa sperma membuat kesepakatan? Sungguh diluar akal sehatku.

“Lalu, kesepakatanya apa?” panasaran aku dengan cerita selanjutnya.

“Jadi kesepakatanya seperti ini. Salah satu diantara kita harus dikorbankan dan mati”

“Maksudmu? Jadi kamu yang dikorbankan?”

“Iya, awalnya kau dulu yang merekomendasikan dirimu sendiri unutk dikorbankan, namun aku menolak. Karena kau adalah laki-laki, orangtua kita pasti lebih suka kalau anak pertamanya adalah laki-laki. Sehingga akulah yang akhirnya harus di korbankan. Rohku melepaskan diri dari dalam benih sperma yang menyelubungi kita. Kemudian karena tidak ada wadah aku pun mati”

Masih tak masuk akal bagiku. Apa ini benar-benar terjadi sebelum aku lahir? Kulihat Fuad versi perempuan masih berdiri tegak di hadapanku dengan senyumnya. Namun, dapat kulihat genangan air mata yang membasahi kedua matanya indahnya. Hatiku juga ikut tersentuh melihat saudara kembarku. Walaupun terasa aneh, aku dapat merasakan bahwa Fuad versi perempuan memang sangat identik denganku. Aku seperti melihat diriku sendiri dalam versi permpuan. Aku berjalan mendekatinya, dia masih tersenyum ramah kemudian kami berpelukan.

“Kamu harus kuat. Kamu harus bisa membahagiakan kedua orangtua kita. Itulah janjimu sebelum aku melepaskan diri dari sperma. Jangan sia-siakan hidupmu. Tepatilah janjimu!”

“Terimakasih. Maafkan aku yang selama ini tak mengingatmu dan lupa akan janjiku. Namun, setelah ini percayalah, aku akan menepati janjiku yang dulu”

“Heh, aku percaya padamu, Fuad”

Setelah berpelukan tiba-tiba aku tersadar. Aku kembali ke alam sadarku. Kulihat dinding-dinding kontrakanku yang terlihat seekor cicak yang memperhatikanku. Kuhembuskan nafas berkali-kali, merelekskan pikiranku.

Peristiwa tadi telah mengubah semuanya. Kini aku telah athu jatidiriku sebenarnya. Aku tak akan menyia-nyiakan hidupku. Aku harus menepati janjiku dulu sebelum aku lahir. Aku harus membuat Fuad versi perempuan tersenyum di dalam diriku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By