Breaking News

Senin, 15 Desember 2014

Menunggu Telepon Berdering

Oleh: Fuad Akbar Adi

Sebuah penyesalan itu pasti datang belakangan. Semua orang tahu itu. Sebuah penyesalan lahir dari kesalahan yang telah kita perbuat terlebih dahulu sebelumnya. Hanya terkadang penyesalan yang telah terjadi dapat kita atasi dengan solusi dari kita sendiri apapun itu. Setidaknya kita dapat mengekspresikan wujud penyesalan itu dengan kata “Maaf”. Sayangnya, untuk kali ini aku tak dapat melakukanya.

Aku adalah anak tunggal dari keluarga yang bisa dikatakan berduit. Ayahku bekerja di bidang kontraktor sedang ibuku adalah seorang dokter. Selain anak tunggal, aku adalah anak perempuan. Dengan demikian, sudah jelas jadinya kalau orangtuaku sangat protektif terhadapku. Apa-apa selalu diawasi. Apa-apa selalu dilarang. Aku bahkan tak mempunyai sahabat atau teman akrab layaknya seorang perempuan remaja lainya. Aku sangat benci diperlakukan seperti ini, namun apa boleh buat, aku telah memaklumi hal ini. Sebenarnya hal ini menunujukan kalau orangtuaku sangat sayang kepadaku dan tidak mau kehilangan aku, itu kata pembantuku. Mungkin hanya Bi Maryam satu-satunya orang yang dapat aku ajak bermain dan ngobrol sesuka hati tanpa dilarangan kedua orangtuaku.

Seperti biasa setelah pulang sekolah, hari-hariku berjalan begitu membosankan. Hanya tiduran di kamar sambil mendengarkan lagu Sheyla On 7 yang telah berkali-kali aku putar. Aku bangun dari tiduranku setelah bosan mendengarkan lagu. Kemudian aku nyalakan laptop dan kini aku mulai beraksi dengan modem yang telah kuisi pulsa 25 GB. Kubuka akun FBku dengan cepat, seperti jariku ini sudah hafal dengan alamat email dan password milikku.

“Wihh, tumben temen-temen pada online semua. Bakal rame nih” aku bicara dalam hati penuh semangat.

Sudah lebih dari dua jam aku terpaku di depan laptopku. Chattingan di Facebook sama teman-teman SMA, membuatku lupa waktu. Sekarang aku mulai lelah, namun di saat aku akan berhenti, tiba-tiba ada pesan masuk dari seseorang yang belum aku kenal.

“Hai, boleh kenalan gak?”

Memang terkesan aneh pesan yang dikirim jika memang ini orang ingin berkenalan serius karena cara pemakaian kata-katanya yang terlalu main-main banget. Sempat dalam benakku ingin mengacuhkan pesan tadi, namun entah kenapa akhirnya aku balas juga.

“Boleh. Nama asliku Dini indriani. Panggil saja aku Dini. Nama aslimu siapa? Kok nama akunya aneh banget. Apatuh Nicosangpencakarlangitpemanahmegamendung. Tanpa spasi lagi.”

“Oke, makasi ya udah mau berkenalan. Hehe, itu biar keliatan membahana gitu. Nama asliku Nicolas wijaya. Panggil aja Nico. Kamu SMAnya di mana? Kok kenal sama Fika?”

“Oh, kamu kenal Fika juga. Dia kan satu sekolah denganku, SMA 106 Jakarta Utara. Kamu?”

“Iya, dia temenku waktu SMP, aku tau kamu lewat Fbnya. Aku SMA 6 Jakarta barat.”

Setelah itu, aku malah jadi keasikan chattingan dengan Nico. Dia sangat enak diajak ngobrol. Pada hari itu, aku baru selesai chattingan sampai jam 5 sore.

**********

Nico wijaya anak pindahan dari Belanda. Ayahnya yang seorang Indonesia menikah dengan ibunya yang seorang Belanda. Ia sudah di Indonesia empat tahun yang lalu saat orangtuanya memutuskan untuk menyekolahkanya di Indonesia dan juga akan menetap permanen di Indonesia. Karena sejak kecil tinggal di Belanda, Nico meresa kesulitan bergaul dengan teman sebayanya. Sehingga dia sering kesepian karena tidak punya banyak teman. Akan tetapi, sepertinya itu bukan faktor utama yang membuat Nico tidak punya banyak teman. Dia sama sepertiku anak tunggal, apalagi ayahnya adalah seorang pengusaha property sukses di Jakarta sehingga dia menjadi pewaris tunggal bisnis ayahnya.

Setiap kali kami chattingan salah satu topik yang sering sekali kami bicarakan tentunya mengenai keprotektifan orangtua kami. Nico sering becerita kalau dia bahkan belum pernah punya teman perempuan yang akrab karena saking ketatnya orangtuanya menjaga Nico dalam pergaulan di Jakarta. Jadi kita serasa senasib dan sependeritaan sehingga kami kini setiap hari selalu menyempatkan chattingan bersama.

Suatu hari karena aku mulai penasaran dengan sosok aslinya, aku ingin mengajaknya ketemuan. Aku telepon dia setelah seminggu yang lalu dia memberikan nomer teleponya. Akan tetapi,ternyata kali ini aku belum beruntung. Akhir-akhir ini Nico sangat sibuk dengan kegiatan sekolah dan berbagai les serta bimbingan belajar, sehingga belum ada waktu untuk bertemu denganku “Duh, kali ini belum bisa mungkin kudu coba lagi” batinku sambil tersenyum.

Merasa kecewa dengan Nico, akhirnya kuputuskan keesokan harinya aku tak mau membalas pesan yang Nico kirim ke Fbku. Sudah berkali-kali Nico mengirim pesan dan aku acuhkan. Isinya tentang permintaan maafnya yang telah menolak ajakanku untuk ketemuan. Dia menyarankan agar lebih baik saat ini kita chattingan dulu aja nanti pasti suatu saat kita akan bertemu. “Akan indah pada waktunya” pesan Nico yang terakhir kalinya kepadaku. Setelah itu, dia offline.

Karena merasa kasian, akhirnya malam harinya aku telepon dia lagi. Kali ini aku yang meminta maaf karena dari tadi pagi pesanya tidak ada yang aku balas.

“Hei, lagi ngapain? gak ganggu kan?” to the point, aku memulai percakapan.

“Oh, lagi nonton TV Din. Gak papa, gak papa, gak ganggu kok. Kamu apa kabar? Hari ini kayaknya sibuk ya. Pesanku kok gak ada yang dibales?”

“Iya makanya ini aku nelepon kamu. Aku minta maaf gak sempet bales. Aku sibuk lagi bantu tante pindah rumah” jawabku bohong.

“Oh, gitu yaudah gak papa. Aku cuman khawatir. Tak kirain kamu marah sama aku.”

Mendengar jawaban itu hatiku jadi berdetak kencang. Dia khawatir denganku ? Apa jangan-jangan dia sudah menaruh perasaan kepadaku? Memikirkan hal itu membuat aku lupa kalau aku sedang bertelepon dengannya. Berkali-kali Nico bilang “Halo. . .halo. . .halo. . .” namun tak kujawab.

“Eh, iya halo halo Nic. Sampai mana tadi?” jawabku terbata-bata.

“Duh kamu mikirin apa si Din? Sampai hilang fokus gitu? Mikirin aku ya?

Sialan, kali ini dia menggodaku. Aku pun membantahnya lansung walaupun itu akan membuat hati dan mulutku tawuran. Kemudian aku berpura-pura ngambek supaya Nico berhenti menggodaku. Setelah puas menggoda, Nico mengganti topik pembicaraan.

“Din, dari pada kita chattingan mulu mending lebih baik telponan aja. Tak rasa-rasain kayaknya lebih asyik” Ucap Nico dengan nada serius.

“He. Iya juga ya. Boleh-boleh aku setuju” jawabku keceplosan. Duh, murahan banget jawabanku.

“Wahhh, kamu kok kayaknya seneng banget. Jangan-jangan kamu seneng sama suaraku ya? Suaraku seksi kan?” dia kembali menggodaku.

Lama-lama hubungan kami sudah sangat dekat. Tak peduli walaupun kami tak punya teman. Walaupun kami tak bisa bermain sembarangan yang penting kami tetap bisa teleponan. Dalam sehari mungkin kami bisa teleponan lebih dari 10 kali. Sedikit-sedikit telepon, ada apa sedikit telepon. Tapi kami senang dan kami bahagia, hingga sepertinya aku sudah tahu bahwa Nico pun menaruh hati kepadaku. Akan tetapi, semua kesenangan ini hanya bertahan sebentar karena . . .

**********

Suatu hari, setelah sekian lama kami tak pernah chattingan karena lebih sering teleponan, Nico mengirim pesan ke Fbku. Aku tak tahu apa yang terjadi sehigga membuatnya seperti itu.

“Din, besok depan aku akan ke Singapore” Nico mengirimku pesan secara misterius.

“Wahhh, kamu liburan ya? Eh, tapi kan ini belum libur sekolah” tanyaku bingung.

“Nggak, aku gak liburan”

“Lalu ngapain ke Singapore?”

“Gpp cuman pengen aja. Maaf ya kalau dalam seminggu ke depan kita bakal susah teleponan lagi.”

“Loh? Gimana sih kamu? Gak jelas deh” Aku makin bingung dengan gelagat aneh Nico.

Saat aku makin bingung dengan maksud Nico dan menanti balasanya lagi, tiba-tiba dia offline. Aku jadi galau, semenjak pesan misterius dari Nico yang tak kunjung aku pahami itu. Kkini aku merasa sangat kesepian karena tidak ada teman lagi yang bisa diajak ngobrol dan curhat. Aku jadi rindu dengannya. Makin penasaran, tiba-tiba aku teringat dengan Fika, teman SMAku dan juga teman SMP Nico. “Mungkin dia tahu apa yang sedang terjadi dengan Nico” pikirku saat itu.

Keesokan harinya, di sekolah aku mondar-mandir mencari keberadaan Fika, namun tidak tahu kenapa Fika juga sulit sekali dicari keberadaannya. Seperti menghilang misterius. Kutanya teman sekelasnya, akhirnya titik terang pun muncul. Salah satu temanya mengatakan kalau dia sedang ada di UKS sekolah. Katanya dari tadi pagi dia sudah di UKS karena badanya demam.

Aku lari sprint dari kelas Fika ke UKS, dan secepat sambaran petir aku sudah sampai di depan UKS. Kucari Fika di sana dan betul dia sedang terbaring di kasur sambil mainan HP.

“Hai Fik, kamu sakit ya?” tanyaku seadanya.

“Eh, Din. Iya nih kecapekan kali ya” balasnya terkejut.

“Maaf, Sebenarnya aku ke sini bukan karena mengkhawatirkanmu. Aku cuman mau tanyak”

“Ha ? kirain kamu . . . yaudah mau tanyak apa?”

“Kamu tau gak Nico kenapa?”

“Nico? Hmmm, jadi dia gak cerita ke kamu?”

“Cerita apa emang?” tanyaku paksa.

“Iya, jadi gini. Sebenarnya Nico itu sudah lama sakit liver akut. Karena keluarganya yang super sibuk, dia tak terurus di rumah. Katanya penyakitnya itu disebabkan karena dia sering minum-minuman keras. Dan besok dia akan di operasi ke Singapore.’’

Sontak ucapan Fika itu membuatku sedih sekaligus marah kepada Nico. Kenapa dia tak cerita kepadaku? Kenapa dia lebih memilih merahasiakanya? Aku tak tahu alasan Nico, namun yang jelas hal itu telah membuatku kecewa kepadanya. Pulang sekolah aku langsung masuk kamar. Kubuka laptop dan langsung kubuka FBku. Namun tak ada Nico, dia offline. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sangat khawatir kepadanya walaupun hatiku masih kecewa. Kini aku kembali bertanya kepada Fika, tentang apa saja yang ia tahu mengenai Nico, namun Fika juga sudah tidak tahu apa-apa lagi. Tidak ada kabar lagi darinya sekarang. Situasi ini membuatku benar-benar cemas, aku marah dengan Nico, benar-benar sangat marah akan kelakuanya.

Hingga akhirnya seminggu kemudian dia meneleponku. Aku meluapkan segala kemarahanku seketika itu. Nico hanya diam dan mendengarkan saja, sepertinya dia sadar telah membuatku marah. Ia meminta maaf, dia tidak bermaksud membuatku khawatir. Dia hanya tidak ingin membuatku sedih karena mengetahui akan penyakitnya. Apa boleh buat, aku akhinya memaafkanya. Akan tetapi, kini hubungan kami tidak seindah dulu lagi. Nico kini sulit sekali dihubungi. HPku yang biasanya selalu berbunyi ringtone setiap 2 jam sekali, kini bahkan 24 jam tidak ada bunyi apapun yang keluar dari HPku. Mungkin sekarang HPku sudah angker dihuni para mahluk astral karena tidak pernah aku pakai lagi sama sekali. Lambat laun aku pun mulai melupakanya. Rasa tertarik dan penasaranku kepadanya kini telah terkikis oleh perasaan tidak peduli lagi. Dan sekarang aku sudah melupakan Nico sepenuhnya.

**********

Sekarang setelah lulus SMA, aku melanjutkan studi di ITB dan kini menginjak semester 3. Hari-hariku sekarang sudah tidak membosankan lagi. Karena sekarang aku kuliah dan jauh dari orangtua sehingga aku bisa berbuat sesuka hatiku. Aku menjalani kehidupanku di sini layaknya mahasiswa-mahasiswa normal. Kuliah, organisasi, dan pacaran. Untung-untung bisa punya kerja sampingan supaya punya banyak uang dan tidak terlalu bergantung dengan orangtua saja. Untuk masalah pacaran, aku sudah tiga kali gonta-ganti pacar dan semuanya aku yang mutusin. Hebatkan? Sekarang statusku kini adalah jomblo, sudah tiga bulan aku menyandang status ini. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini tidak ada cowok yang mau pedekate denganku. Apa mungkin aku kualat dengan mantan-mantanku yang telah aku sakiti? Haha, semoga saja tidak.

Karena kelamaan jomblo, hidupku kini sering kulewati dengan ngalamun mengingat kenangan indah bersama mantan-mantanku dulu. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku teringat satu nama. Dia bukan mantanku. Bahkan bertemupun belum pernah. “Nico” kenapa tiba-tiba aku mengingatnya? Kenapa tiba-tiba aku merindukanya. Sebuah lagu dari Letto yang berjudul “Ruang Rindu” kini menjadi juara playlist di spaker kamarku.

Kau datang dan pergi oh begitu saja

Semua ku terima apa adanya

Mata terpejam dan hati menggumam

Di ruang rindu kita bertemu

Aku tak mau terjebat dalam sebuah nostalgia pahit ini. Keesokan harinya, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa yang penuh akan keceriaan. Mungkin dari pada menanti cowok yang tak kunjung datang, lebih baik aku berinisiatif memancing mereka datang terlebih dahulu. Akhirya kuputuskan, akhir pekan ini aku mau jalan-jalan ke kota. Menikmati indahnya kota Bandung yang berhawa sejuk itu. Sesampainya di Bandung tak ku sangka ini kebetulan atau tidak, aku bertemu dengan Fika teman SMAku dulu. Kami saling sapa dan akhirnya bercerita tentang semua kehidupan kami saat ini. Ternyata dia juga kuliah di Bandung, tepatnya di UPI. Saking asiknya ngobrol aku sampai lupa waktu, hari telah menjelang sore. Senja khas pegunungan pun mulai terlihat. Aku pamit pulang kepada Fika. Namun, sebelum langkah kakiku terdengar menjauh, Fika berteriak kepadaku.

“Hei Din. Kalau ada waktu luang kita berkunjung ke makam Nico yuk.”

What?!!!!! Makam Nico? Maksudnya Nico sudah meninggal? Hatiku benar-benar terguncang. Tubuhku lemas tak dapat kugerakkan. Ini benar-benar mengejutkan. Ingin rasanya kutampar mulut Fika yang telah mengatakan suatu yang mengada-ada dan tak masuk akal bagiku.

“Ka ka kamu bilang apa tadi? Makam Nico? Nico su su sudah meninggal maksudmu?” tanyaku dengan mata layuh.

“Weiii? Kamu belum tahu ya? Dia udah meninggal 2 tahun yang lalu saat kita masih SMA. Operasi yang dilakukan saat sakit liver itu gagal Din. Perasaankan dia deket banget sama kamu. Masak kamu gak tahu sih, Din?”

Kini aku benar-benar terkejut. Tubuhku sudah lemas dan seketika itu aku langsung pingsan. Aku siuman setengah jam kemudian. Fika kemudian mengantarku pulang. Setelah sampai kos dia pamit pulang. Sekarang aku sendirian di kamar. Menangis sejadinya. Sebuah tangisan penyesalan bahkan lebih dari itu. Hanya dengan tangis aku dapat mengekpresikan penyesalanku. Karena sekali lagi aku tak dapat meminta maaf atas kesalahanku.

Masih tak percaya, aku bangkit dan mengambil HPku. Kucari nomer Nico yang sengaja belum aku hapus. Kutelepon dia, tapi tak ada jawaban. “Nomer yang anda tuju tidak terdaftar”. Berkali-kali kucoba telepon lagi, namun hasilnya sama. Kini aku frustasi dan kembali menangis sejadinya. Kuletakkan HPku kasar, kemudian aku bersandar di dinding kamar kos. Dengan mata yang masih berlinang-linang, aku menunggu telepon dari seseorang. Menunggu telepon itu berdering, bukan dari siapa-siapa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By