Breaking News

Jumat, 12 Desember 2014

Surat dari Maerpati

Oleh: Fuad Akbar Adi

Surat dari Merpati

Amsterdam membeku pagi ini. Dari balik jendela kamar, salju turun nampak seperti butiran kapas yang ditaburkan dari langit. Suhu udara minus 2 derajat celsius, begitu dingin bertahta pada titik kulminasinya. Menghujami kulit sawo matangku sampai menyentuh tulang. Deretan lampu jalanan yang temaram mulai meredup satu demi satu, tergusur oleh halimun pekat khas winter season. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ann menyelonong masuk ke dalam kamar kosku. Raut mukanya pucat, mengekspresikan dingin yang menjalar pada tubuhnya. Sebuah senyum merekah dari bibirnya ketika sepasang mataku menatapnya heran. Kedua tangannya menjinjing penampan alumunium yang telah ditutupi dengan plastik. Ternyata Ann membawakanku beberapa sandwich dan sebotol bir. 

“Hey, darling. Good morning.”

“Good morning. Oh god! Thanks very much, darling. Kamu tahu saja aku sedang sekarat kedinginan.’’ Kurapikan selimut tebalku yang sedari tadi menyelubungi tubuh.

“Yes, course. Tentu saja aku tahu. Untuk seukuran orang Belanda totok yang sudah dua puluh tahun tinggal di sini saja, udara pagi ini begitu dingin bagiku. Apalagi kamu yang terbiasa hidup di bumi hangat khatulistiwa. Sepertinya kamu butuh selimut yang terbuat dari kulit Brontosaurus untuk dapat bertahan di sini.” Beberapa detik kami terdiam, kemudian terbahak bersama.

Ann, dara cantik asli Belanda, patner sekampus, telah resmi menjadi kekasihku enam bulan yang lalu. Ann, dengan segala yang melekat pada dirinya, telah meruntuhkan gerbang cintaku yang begitu kokoh terhadap Tri, kekasihku di Indonesia. Demi Ann, aku terpaksa mengkhianati jalinan asmaraku dengan Tri. Rasa bersalah yang teramat dalam sering kali bersemayam dalam benakku. Mengingat sebelum aku hijrah ke Belanda—untuk meneruskan kuliah di Amsterdam of University, aku telah berjanji pada Tri akan meminangnya setelah lulus. Namun fakta berkata lain, dua tahun di sini tanpa kehadirannya membuatku hilang arah. Dan, Ann datang pada saat yang sangat tepat. 

Aku lupa bercarik-carik amplop dan surat masih berserakan di meja belajarku. Semenjak Ann menjadi kekasihku, selama itu pula aku tak pernah lagi membalas surat-surat dari Tri. Padahal sebelumnya kami sangat intensif saling surat-menyurat. Entah, aku merasa tak bernafsu membalas surat-surat dari Tri. Jangankan membalas, membacanya pun aku tak mau. Aku terlalu larut dengan kekasih baruku. 

“Darling, meja belajarmu sungguh berantakan. Surat-surat sebanyak ini dari siapa? Keluargamu? Sebagian masih tersegel rapi, mengapa belum kamu baca?” sudah kuduga perhatian Ann pasti akan beralih oleh surat-surat itu. Jangan sampai ia membaca suratnya!

“Oh, itu surat dari keluargaku di Indonesia. It’s not important, darling. Aku hanya belum sempat membaca. Padahal aku dan keluarga sering berkomunikasi lewat surel, namun entah mengapa surat-surat jadul seperti ini tetap saja dikirim,” imaginasiku dengan cepat mengarang cerita fiktif. Aku langsung berbegas menghampiri Ann, sebelum ia semakin penasaran. “Sini surat-suratnya, biar aku bereskan.”

“Tri? Your mom?” 

“No, she is my sister.” Kembali aku mengarang cerita. 

Ann hanya manggut-manggut memahami. Nampaknya ia tak terlalu tertarik menyelisik tentang Tri. “Emmm, I want to visit Indonesia, darling. And meet your family. When will you take me there?”

Sejenak aku tersentak dan tersenyum geli mendengar pertanyaan seperti itu. “Segera.” Desisku lembut dengan mendekatkan mulutku ke daun telinganya sambil membelai rambut pirangnya. Ann tersipu malu, kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahuku. Kubergerak impulsif dengan merengkuhnya lembut. Tubuh kami saling berpagutan erat. Hangat. Menjelang siang Amsterdam pun meleleh.

***

Matahari beranjak tenggelam, Ann pamit pulang. Salju di luar makin tebal saja menutupi genting rumah dan jalanan kota. Surat-surat dari Tri yang tadi kutaruh di laci kuambil kembali untuk disembunyikan ke tempat yang lebih aman. Aku tak mau Ann sampai membacanya, bisa jadi ruwet nanti. Mengingat sedikit-sedikit ia mengerti bahasa Indonesia. 

Hingga jam di dinding telah menunjukkan hampir pukul satu dini hari, aku masih terjaga dari tidur. Sungguh sunyi, hanya irama konstan decakan rotasi jarum jam yang masih sudi menemaniku dalam lamunan. Ketika lamunan liarku makin menderu, samar-samar aku melihat sesosok bayangan mirip manusia di dekat tirai jendela. Dengan sedikit waspada, kunyalakan lentera lampu kamar. Retinaku mengatur fokus lebih tajam, mencoba menikam remang yang masih menjalar. Sosok itu kini nampak jelas. Perempuan bertubuh tinggi semampai dengan rambut terurainya yang disibakkan ke sebelah kiri leher. Dia Tri!

“Tri? Kau kah itu? Apa benar kamu, Tri?” tubuhku langsung beringsut keluar dari dalam selimut. Ia tak menjawab sepatah kata pun atas pertanyaanku. Kuulangi memanggilnya namun ia tetap bergeming. “Tri. Kekasihku!” kini ia baru mau menoleh. Tersimpul senyum manis dari bibirnya. “Tri? Bagaimana kamu bisa ada di sini? Sejak kapan kamu datang?”

Ia belum juga menjawab. Hanya menatapku lekat-lekat, membuatku tenggelam ke dalam kedua bola matanya yang indah. “Maaf Mas, Tri datang mendadak seperti ini. Menggangu jam istiahat Mas saja.”

“Oh, tak masalah Tri. Mas beneran sangat kangen kamu. Sudah sampai tingkat muntaha kangennya. Maaf, sudah lama Mas tidak pulang.” Langkahku beranjak menghampirinya. Lama tak bersua membuat hormon di dalam tubuhku tiba-tiba bergejolak, ingin segera meluapkan rasa rindu yang mengaliri seluruh pembuluh darah. 

“Aku datang ke sini hanya sebentar saja Mas. Aku hanya ingin melihat kamu saja. Mungkin untuk terakhir kalinya.” Kalimat terakhir sedikit diperlambat intonasinya, menyiratkan sebuah penekanan. Menstimulus sel-sel otakku untuk segera berpikir cepat. Apa maksudnya? Aku hendak memotong ucapannya, namun ia lebih cepat melanjutkan. “Selamat tinggal Mas. Aku selalu mencintaimu. Semoga Mas selalu bahagia.” Kembali aku terperangah mendengar ucapan Tri yang ambigu dan penuh kemisteriusan. 

Aku tak tahu apa yang terjadi. Tubuh Tri makin lama makin memudar. Menjadi bintik-bintik cahaya kemudian naik ke langit. Mataku membelalak kebingungan. Mencoba memutar logika untuk mencerna apa yang terjadi membuat kepalaku pening. Bersimultan dengan napas yang tersengal-sengal dan detak jantung yang bergemuruh, aku terperanjak dari kasur dan tiba-tiba saja sudah pagi. Ternyata hanya mimpi!

***

Hari ini terasa tak begitu dingin. Salju pun turun tak selebat kemarin. Mimpi tadi malam benar-benar membuatku gelisah. Namun hari ini aku akan sangat sibuk, tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal tersebut. Setelah selesai mandi dengan air hangat, segera kukemasi barang-barangku dan bergegas menuju kampus. Akan tetapi sebelum semua barang tuntas aku masukan ke dalam tas, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar begitu keras bertubi-tubi memecah merdu alunan klasik orkestra Mozart yang aku setel setiap pagi. Aku sedikit terkejut dan mangkel. Ada urusan apa orang di balik pintu itu denganku? Langkah-langkah cepatku segera merespon, menghampiri pintu dan sedikit emosional membukanya dengan sekali tarikan keras. 

Mahluk yang berdiri di depan pintu ternyata Ann. Kulihat wajahnnya nampak kusut seperti habis ditekuk berkali-kali lipatan. Menengadah nanar. Sorot matanya tajam dan runcing. Mematikan! Tanpa babibu ia langsung menamparku. 

PLAK!!!

“Dasar kamu pembohong! Lelaki kejam!”

“Shittt! Hei, what the fucking do you mean? I don’t know!”

“What?! You don’t know?! Read it!” Teriak Ann sambil menekankan sebuah amlop ke dadaku dengan keras. Sialan, itu surat dari Tri!

Tanpa sepengetahuanku, ternyata diam-diam kemarin Ann memungut sebuah surat dari Tri. Dilihat dari tanggalnya itu surat paling baru yang Tri kirim. Kubuka perlahan amplop yang sudah nampak kusut dan agak basah. Hitam jengat rangkaian frasa yang menggoresi kertas putih pun terpampang jelas di pelupuk mata. Untuk kemudian aku baca:

Dear kekasihku, Mas Bram.

Assalamualaikum Wr Wb. Mas Bram apa kabar? Sehat bukan? Tri tak pernah lupa memanjatkan doa untuk kesehatan Mas Bram. Sudah sekitar enam bulan ini Mas Bram tidak pernah membalas surat dari Tri lagi. Tri tahu, bukan maksud Mas Bram sengaja tidak membalas surat dari Tri. Mungkin karena kesibukan Mas Bram di Belanda sehingga Mas Bram belum sempat membalasnya. Semoga Mas Bram dipermudah dan diberi kelancaran oleh Allah dalam segala urusan yang dihadapi. Amiin.

Beribu rindu yang tak terucap terus Tri pendam dalam sebuah penantian akan kembalinya sang kekasih ke dalam pelukan. Mungkin Tri tak bisa sedewasa Mas Bram sehingga terkadang tangis pilu pun datang menemani Tri dalam menjalani penantian ini. Untung saja bayangan Mas Bram beserta cinta dan janji yang dulu Mas Bram ucapkan sebelum berangkat ke Belanda selalu menguatkan hati Tri ketika rindu itu tiba-tiba menyeruak. Tri masih ingat kata-kata Mas dulu, bahwa cinta adalah keegoisan, namun menunggu cinta jauh melampaui kesetiaan. 

Kalau Mas Bram membaca semua surat-surat yang Tri kirim, tentu Mas tahu kalau Tri telah didiagnosis dokter mengalami kerusakan lever. Hanya sekadar memberi tahu, rencananya tanggal 14 November 2001, Tri akan menjalani operasi pencangkokan hati di Singgapore. Tri tidak berharap Mas Bram sudi menemani Tri dalam proses operasi. Tri hanya memohon Mas Bram berkenan memanjatkan doa demi kesuksesan operasi Tri ini. Supaya Tri bisa sembuh dan bisa foto berdampingan dengan Mas di Belanda ketika Mas diwisuda. Wassalamualaikum Wr Wb.

Salam sayang dari kekasih yang selalu merindukanmu, Tri.

Tangisku pecah. Tanpa kusadari surat yang kubaca telah basah bersimbah air mata. Aku hanya termangu memandangi secarik kertas yang sudah tak berbentuk itu. Menyesali segala perbuatanku. 14 November di Singapore? Berarti tadi malam! Firasatku mendadak tidak enak. Intuisiku berkata ada relasinya antara mimpi tadi malam dengan hasil operasi Tri. Bergegas aku langsung berlari menuju sebuah telepon umum milik asrama, menelepon keluargaku, memastikan segalanya!

“Halo, Buk! Ini Bram. Apa benar Tri dioperasi?” 

“Bram? Masyaallah le le. Dari mana saja kamu? Mbakyumu sudah berkali-kali mengirimi kamu E-mail, menelepon asramamu, tapi tidak ada kabar sama sekali.”

“Iya Buk, Bram minta maaf. Nanti Bram jelaskan. Sekarang bagaimana kabar Tri?”

“Nah, maka dari itu Mbakyumu menghubungi kamu terus le. Kamu yang sabar ya. Kuatkan hatimu.” Suara Ibuk berubah parau dengan sesekali dicampuri nada isakan. “O o operasi Tri tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Ia menghembuskan napas terakhirnya tadi pagi sekitar pukul delapan waktu Singapore. Mungkin di tempatmu sekitar pukul satu dini hari tadi.” 

Deg! Bumi berhenti berputar dan arus waktu pun tak beranjak mengalir. Dari balik jendela yang setengah terbuka, nampak merpati-merpati putih berterbangan, saling berkonstelasi menciptakan bentuk-bentuk abstrak yang indah. Salah satu merpati menarik perhatianku. Entah mengapa ia tak ikut bergabung dengan kawanannya, hanya berpijak pada seutas kabel listrik yang membentang. Paruhnya yang nampak tajam dan kuat menggigit secarik kertas seperti sebuah surat. Belum lama ia kuperhatikan tiba-tiba merpati itu terbang menghampiriku, menjatuhkan surat tersebut di depan jendela dan langsung berlalu begitu saja. Segera surat itu kuambil dan kubaca. Sebuah surat anonim tanpa identitas, berisikan seuntai frasa terakhir yang berjajar rapi. 

“Tri? Kau masih . . . ?” 


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By