Breaking News

Selasa, 03 Februari 2015

Chocolatos Signora



Oleh: Fuad Akbar Adi

Desir angin berhembus memecah deru lamunanku yang sedari tadi melalang buana tak tentu arah, bersimultan dengan guncangan kecil pesawat sesaat sebelum landing. Tak lama lagi aku sampai juga di kota Turin, orang Italia menyebutnya Torino. Kota yang pernah menjadi ibukota pertama Italia. Kota tempat bermarkasnya tim sepak bola legendaries Italia, Juventus.

Setelah turun dari pesawat, hal pertama yang aku rasakan adalah dingin yang menyeruak menembus pori-pori kulit bahkan sampai merengkuh lembut tulang-tulangku. Tak kusangka akan sedingin ini Italia. Bergegas pandanganku langsung menyapu ke penjuru bandara, mencari seseorang yang membawa papan bertuliskan namanya sendiri, Dominico Palacio. Ia telah berjanji akan menjemputku tepat ketika aku turun dari pesawat. Namun sampai tubuhku menggigil dan hampir membeku, orang itu belum juga nampak batang hidungnya. Aku mulai frustasi dan panik, kuambil ponsel yang yang sedari tadi non aktif di dalam pesawat, berinisiatif meneleponnya. Namun sebelum kupencet-pencet tombol pada ponselku, terdengar langkah-langkah cepat dari arah belakang menghampiriku. Itu pasti dia.

Intuisiku tepat. Ketika kubalikkan badan kulihat seorang pria berlari sambil mengangkat papan bertuliskan nama “Dominico Palacio” tinggi-tinggi. Posturnya sungguh proporsional, tinggi menjulang dengan lekuk tubuh tegap dan mantap. Matanya begitu bulat dan jernih. Sambil tersenyum ramah ia menyodorkan jaket kulit tebal dengan bulu-bulu halus yang sepertinya memang digunakan khusus untuk Winter Season seperti ini. 

“Hei, Kamu pasti Kusuma Larasati. Well come to Italia, country of The Godfather and well come to Torino, city of Juventini.” Ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Thanks. Panggil saja saya, Laras. Bagaimana kamu bisa tahu saya, bertemu saja belum pernah?” 

Uh, forza Laras. Panggil saja saya Dominic. Mengenai itu, fotomu terpajang pada dinding toko and so . . . yeah I know you.” Jawabnya tenang.

Kami berdua lalu berjabat tangan. Meskipun udara begitu dingin menyelimuti kota Turin, namun tangan besarnya terasa hangat ketika berpanggut dengan tangan mungilku. Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, ia langsung mengantarku menuju ke sebuah tempat di mana semestinya aku berada.

Ayahku yang merupakan pria Italia tulen menikahi ibuku, dara cantik asli Jogjakarta. Dan akulah hasil dari buah cinta mereka. Tiga bulan yang lalu Ayahku meninggal dunia. Sebelum meninggal, ia sempat menuliskan beberapa wasiat kepadaku dan salah satunya adalah . . . Sebuah toko cokelat bernama Chocolatos Signora.

***

Sesampainya di toko aku langsung disambut oleh keluarga Dominic. Ada paman Paulo yang seumuran dengan Ayahku dan bibi Conie, istri paman Paulo. Dan di balik tubuh mereka berdua bersembunyi dengan malu-malu seorang anak kecil, Marco, adik Dominic. Keluarga Palacio langsung menjamuku dengan berbagai hidangan olahan cokelat. Aku sangat kagum dengan kecintaan mereka yang mendalam terhadap cokelat.

Di meja bundar berdiameter satu setengah meter itu kami duduk melingkar dan menyantap hidangan bersama-sama. Dominic menyodorkan Baci, sejenis cokelat berbentuk kerang dengan isian Hazelnut di dalamnya kepadaku. Sambil menyantap hidangan, panjang lebar paman Paulo bercerita mengenai sejarah dari toko Chocolatos Signora ini. Dulu paman Paulo dan ayahku merupakan koki dari salah satu toko cokelat yang melegenda di Italia. Setelah akhirnya berkat inisiatif dari ayahku, mereka berdua memutuskan untuk keluar dan membangun toko cokelat sendiri. Nama Chocolatos Signora sendiri yang artinya “Nyonya Cokelat” terinspirasi dari julukan tim sepakbola Juventus yaitu “Nyonya Tua”. Asam garam sudah paman Paulo cicipi dalam menemani ayahku membangun toko cokelat ini. Hingga kini Chocolatos Signora telah tumbuh menjadi toko cokelat terkenal di Italia. 

“Meski Chocolatos Signora sukses, ayahmu tak pernah mau membuka cabang. He do it to keep originaly us chocolate ,” ucap paman Paulo bangga sambil terbahak, “Namun semenjak ayahmu meninggal toko ini agak terbengkalai. Mengingat hanya tinggal saya saja ditambah usia saya yang sudah tua seperti ini tidak mampu berbuat banyak lagi.” Tiba-tiba ekspresinya berubah drastis.

“Oleh sebab itu ayah mewariskan toko ini kepada saya?” 

“Yak, tepat sekali.” Sergah paman Paulo sambil memasukkan roti tawar ke dalam mulutnya.

Emmm, I’m so sorry uncle. Namun saya ragu bisa mengembalikan kejayaan toko ini seperti saat dipegang oleh ayah. Mengingat saya sama sekali buta dengan cokelat.” Mukaku tertunduk lesu. Belum apa-apa aku sudah bersikap pemimistis seperti ini. 

“Hahaha, duh anak sekarang memang loyo-loyo ya. Tidak ada semangatnya. Laras, hear uncle said. Kamu tidak usah khawatir kamu buta dengan cokelat. Chocolatos Signora tak butuh itu. Koki-koki di sini sangat kompeten dalam masalah mengolah cokelat. Yang dibutuhkan di sini adalah seorang leader yang mampu memimpin kami semua. And it there in yourself, you know. Paman tahu kamu punya jiwa pemimpin seperti ayahmu. I believe it, Laras.” Tatapan paman Paulo berubah tajam penuh dengan keyakinan. Aku hanya bisa menghela napas pasrah sambil terus berpikir. Memutar rencana. Mencari inspirasi. Membuat ide. Merancang inovasi. Dan mengatur strategi. Untuk toko ini. 

***

Aku termangu bersama lamunan-lamunan liar dalam pikiranku. Menatap suasana kota Turin dari balik tirai jendela. Salju turun lebih lebat dari biasanya. Lampu temaram di sepanjang trotoar menghiasi suasana sepi jalan kota ini. Sudah seminggu aku mengambil alih menegerial toko Chocolatos Signora ini. Dominic menjadi asistenku, banyak sekali kebijakan dan keputusan yang aku ambil berkat masukan dan rekomendasi darinya. Aku benar-benar kagum dengan para pekerja di toko ini. Ucapan paman Paulo memang benar, para pekerja di sini memang sangat kompeten dalam bidangnya. Makin mempermudah pekerjaanku. Bahkan sempat terpikir dalam benakku, dengan para pekerja seperti ini tanpa aku pun toko ini bisa berjalan. 

“Hei Laras. Ngalamun saja. Sedang memikirkan apa? Kamu bekerja terlalu semangat hari ini. Sudah makan? ” tiba-tiba Dominic sudah berada di sampingku sambil membawa dua buah Semisweet Chocolate. Dan menawarkan satu untukku.

“Oh, thanks Dom. Saya hanya tidak menyangka saja perjalanan hidup saya akan seperti ini. I never think it this. I never thing will be stay in Itali and must leave my country, Indonesia. Hidup ini memang lucu, tidak bisa ditebak.” Aku bergumam agak parau.

“Hahaha. Yah aku setuju denganmu. Life is like chocolate” Aku tak tahu maksud dari ucapan Dominic. Sambil terbahak ia menyapu pandang ke luar jendela dengan lelehan Semisweet Chocolate yang menodai bibir tebalnya. 

“Life is like chocolate? Hei, what do you mean?” seketika kulempar pertanyaan kepadanya dengan ekspresi penuh tanda tanya.

“Uh, you know Laras? Ketika sebatang cokelat disuguhkan kepada kita tanpa brand atau merk, hanya berbungkus kertas aluminium, kita tidak bisa menebak bagaimana rasanya sebelum mencicipnya. Is that dark chocolate, cooking chocolate, white chocolate and more. Karena kemasan dalamnya selalu sama. That’s life. Layaknya kehidupan, cokelat ibarat takdir. Tapi belum tentu semua takdir seseorang “pahit”. Bergantung bagaimana kita mengolah atau memilihnya. Mengolah sesuai dengan keinginan kita. Mau kita apakan hidup ini agar lebih menarik dan bercita rasa. Ada orang yang lebih memilih cokelat asli yang awalnya cenderung pahit tanpa glukosa. Ada pula manusia yang lebih suka kejutan dengan memilih cokelat (hidupnya) dengan penuh sensasi. Namun tak jarang orang yang memilih cokelat yang dilengkapi dengan ornamen seru seperti kacang-kacangan atau buah-buahan. Kita bebas memilih, merencanakan, dan bagaimana menikmati cokelat atau kehidupan tersebut sesuai selera. Malah bisa di kombinasikan dengan disajikan panas atau dingin (khusus untuk minuman). Dalam makanan olahan pun kita bisa menakar kandungannya sesukanya. That’s life.” Ujar Dom si maniak cokelat. Sepertinya selain menjadi makanan favorit dan sumber rezekinya, cokelat juga menjadi filosofi hidupnya.

“Wow, it’s amazing, Dom. Cukup relevan juga bila hidup yang tidak bisa ditebak ini dianalogikan dengan cokelat.”

“But remember, Laras. Dalam setiap kemasan cokelat selalu disertai dengan petunjuk berupa ingredients. Sebuah petunjuk yang persis di berikan lewat firasat, intuisi, kepekaan, dan doa yang kita panjatkan setiap hari. Ingredients itulah yang akan memberi tahu kita, cokelat jenis dan seperti apa yang akan kita konsumsi. And, ketika sampai langkah ini kita masih belum mampu menebak cokelat macam apa yang kita konsumsi, bayangkan saja ... Uh, mungkin kita telah mati rasa. Tidak punya gairah atau passion dalam mencicipi kehidupan.’’ Kembali panjang lebar Dominic memaparkan tentang filosofi cokelatnya sambil melirik diriku yang masih termangu.

“Heiii, lirikkanmu menyiratkan itu sebuah sindiran untuk saya!” Ucapku kesal ketika melihat lirikkan ambigu Dominic. 

“Haha, relax. Relax. Just Kidding, Laras. Tapi… apa kamu merasa begitu?” 

Ya, aku merasa begitu, Dom. Namun berkat ucapanmu yang panjang lebar itu, aku tak percaya kini kumulai tersadar. Ucapanmu ada benarnya. Hidup ini memang sulit ditebak, namun Tuhan telah memberikan petunjuk untuk kita. Tinggal seberapa peka kita dapat memahami petunjuk yang telah Tuhan berikan. Kini aku mulai terkesan denganmu, Dom. Aku terkesan dengan filosofi cokelat yang kau tanamkan dalam hidupmu. Apakah itu berlaku juga terhadap cinta? Apakah kamu petunjuk yang Tuhan berikan kepadaku (dalam hal cinta)? 

***

Menjelang petang, aku masih termangu di pinggir jendela. Sambil menyeruput secangkir cokelat hangat dan menikmati lanskap klasik kota Turin. Bangunan-bangunan tua yang masih terawat dan tertata rapi. Dari balik jendela kudapat menatap dua gereja yang bersebelahan, San Carlo dan Santa Christina yang begitu indah. Dari sini keduanya begitu terlihat mirip, bahkan nampak seperti bangunan kembar. Namun, kata Dominic dekorasi bagian depan dan interiornya sangat berbeda. 

Sudah hampir setahun kumenetap di Turin bersama keluarga baruku, Palacio Family dan keluarga baru non biologisku, Chocolatos Signora. Suka dan duka bercampur aduk bagai gado-gado yang setia menemaniku dalam menjalani romantika kehidupan sebagai seorang Leadership sebuah toko cokelat warisan ayah. Minggu depan lebaran, mamah sudah gembar-gembor menyuruhku pulang ke Indonesia. Sebenarnya aku pun telah berencana demikian. Rumah memang selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang. Aku sudah membicarakan hal ini dengan paman Paulo, bahkan aku sudah memesan tiket untuk keberangkatanku besok pagi. 

“Kudengar besok pagi kamu akan pulang ke Indonesia ya? kenapa tidak cerita kepada saya?” seperti biasa, Dominic selalu tiba-tiba sudah berada di sampingku kala aku termangu di pinggir jendela. 

“Oh, maaf. Saya sudah berencana untuk cerita, namun belum sempat saja.”

“Kamu pasti kembali kan?”

“Hei, ucapanmu terdengar seperti saya bukanlah pemilik toko Chocolatos Signora, melainkan hanya seorang pengunjung dari luar kota yang numpang istirahat sambil ingin menikmati cokelat. Semua yang ada di sini adalah keluarga saya, hidup baru saya. Tentu saya akan kembali, Dom.” Ucapku mantap setelah meneguk habis secangkir cokelat hangat. 

“Emmm, tapi sebelum kamu pulang, aku punya sesuatu untukmu. Ini terimalah.” Dominic menyodorkan sebungkus cokelat batangan merk Cadbury yang telah dibingkai dengan pita-pita berwarna merah muda kepadaku.”

“Cadbury, Dom? Why? Ini kan buatan Inggris sedangkan di toko ini melimpah ruah cokelat Italia.” Aku agak bingung dengan maksud, Dom. Pertanyaanku memang cukup esensial untuk dilontarkan. 

“Uh… Ini semacam Unspoken Love, Laras.

“What? Are you resious, Dom?”

“Ya, kata papa cokelat Italia memang tidak kalah lezat dengan cokelat buatan Inggris atau Swiss. Namun, jika kamu ingin mengungkapkan perasaan cinta lewat cokelat, percayalah Cadbury merupakan cokelat yang paling tepat.” Dominic sedikit kikuk, kulihat butir-butir peluh dingin mulai muncul membasahi wajahnya. 

“Oh… Kalau begitu, berarti kamu sedang menyatakan cinta kepada saya?”

“Emmm, hei jika kamu menyuruh saya untuk mengatakannya, lalu buat apa cokelat ini? Harusnya kamu paham sendiri.” Ucap Dominic agak kesal. Sepertinya ia mulai salah tingkah.

Oke, right. Jika caramu seperti ini, tunggu saya memberi Cadbury balasan untuk kamu” 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By