Breaking News

Kamis, 07 Mei 2015

Pahlawan tanpa Mata Berbinar

Oleh: Fuad Akbar Adi

Belitung, Desember 1998

Mendung menggantung di bibir langit.Gumpalan pekat kelabu membumbung angker di awang-awang. Deru air yang menghujami bumi mulai bergemuruh riuh. Hujan deras pun akhirnya tumpah. Sudah beberapa hari ini matahari tampak buram dari balik celah-celah mendung, seperti terpantul pada permukaan kolam yang keruh. Tiupan angin menghempas liar seperti hendak mengeyahkan apa pun yang mencoba menantangnya. Semua komposisi ini, bagai metafora yang muskil dipahami oleh orang awam kala itu. Iya, kala itu.

Diantara hujan deras yang merintangi jarak pandang dan dingin yang telah mencapai kulminasinya, nampak sepasang suami istri muda tergopoh-gopoh mencoba bangkit berdiri. Raut muka mereka sudah membiru, mengekspresikan dingin yang menjalar pada tubuh. Membuat pucat kulit kuning langsat yang eksotis itu.

“Mas, jangan mas! Jangan! Mas, ampuni kami! Salah kami apa? kami sudah menutup pintu dan jendela menggunakan tirai hitam, jadi ndak bakalan kelihatan. Ini usaha kami satu-satunya, kalau kami ndak buka kedai ini, kami ndak bisa cari uang.” Sang istri beranjak bangkit sambil memegangi tangan salah satu pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih lengkap dengan serban dan panji-panji kebesaran. Sang istri mendesih parau memohon belaskasihan.

“Heh dasar cina gila! Minggat sana, jangan pegang-pegang! Najis! Dasar kaum minoritas tak bertoleransi, sudah tahu ini bulan puasa masih aja buka kedai siang-siang! Iya tahu saya sudah ditutupi pakek tirai hitam. Tapi bau masakannya masih menyengat tau! Mengganggu kekhusukan kami beribadah!” Sentak sang pemuda dengan tatapan nanar sambil menepis keras tangan sang istri itu. Tak peduli, ia bersama kawannya yang lain terus mengumandangkan lafal-lafal suci sambil kesetanan mengobrak-abrik kedai malang itu. Sungguh absurd memang jika dinalar, dua hal yang esensinya jauh berbeda itu dapat dilakukan secara bersimultan.Ya-ya, dunia pasti tertawa geli menyaksikan itu semua.

Setengah jam berlalu begitu cepat. Padahal hujan mulai reda, namun isak tangis sang istri tak mereda sedikit pun. Bajunya basah kuyup bersimbah air hujan sekaligus air mata. Sang suami hanya bisa pasrah dan sesekali menenangkan sang istri, ia tak mau ambil resiko babak belur karena mengikuti aksi istrinya pasang badan. Mengingat orang-orang berserban itu lebih sentimen terhadap laki-laki. Mengingat sedikit saja konfrontasi bisa memicu kemungkinan yang lebih buruk. Mereka sudah kesetanan, tidak bisa diajak kompormi! Padahal mereka pernah bilang, ketika bulan puasa setan-setan di dunia dibelenggu tubuhnya. Lalu, mengapa mereka bisa kesetanan? Nampaknya setan-setan telah berevolusi sedemikian hebatnya kala itu.

“Hei apa yang kalian lakukan? Stop-stop! Berhenti kataku!” seorang Kakek berpeci hitam tiba-tiba menyeruak di tengah kerumunan orang-orang berserban. Awal kemunculannya luput dari perhatian. Ada empat pria bertubuh mantap dan proporsional merentangkan tangan lebar-lebar mengelilingi Kakek itu, saling berkonstelasi melindungi si Kakek yang nampak rapuh.

“Gus hati-hati Gus.Awas nanti jatuh Gus. Biar kami yang urus orang-orang ini. Sampeyan ndak perlu ikut turun,” Salah satu dari empat pria bertubuh proporsional itu mencoba menasihati si Kakek yang dipangilnya Gus. Ternyata mereka adalah ajudan si Kakek. “Sudah ndak papa. Mereka ini perlu disadarkan!” Jawab si kakek dengan santainya.

“Hei, kalian ini apa-apa’an? Astagfirullah!” Si kakek berseru lebih lantang. Semua orang mendadak membisu, seolah si Kakek menyihir mereka menjadi batu. Sejenak suasana berubah sunyi, seolah bumi berhenti berotasi. “Apa maksud dari ini semua? Siapa dalangnya? Siapa? Silahkan menghadap ke saya dan jelaskan semuanya!” Untuk kesekian kalinya si Kakek kembali berseru, melelehkan situasi yang sempat membeku. Namun sampai saat ini tak seorang pun yang berani menanggapi atau sekadar merespon seruan si Kakek. Orang-orang berserban yang sedari tadi bergelagat sangar malah tertunduk lesu. Kakek berpeci hitam ini nampaknya memiliki aura raja. Setiap seruannya memancarkan jutaan partikel mikroskopis magis yang dengan mudah menundukkan setiap orang yang mendengarnya.

Tetap tidak ada tanggapan. Si Kakek mulai merasa dirinya diacuhkan.“Tidak ada? Sungguh tidak ada yang berani mempertanggungjawabkan segala perbuatan ini?” Si Kakek mulai memperlambat intonasinya.

“Saya Gus.” Akhirnya ada yang berani bicara. Seorang pemuda berserban putih dengan motif hijau-hijau melangkah segan menghadap si Kakek. “Maafkan kami, Gus. Sungguh ini tak sesuai rencana. Awalnya kami hanya berniat merazia kedai-kedai makan yang buka siang hari, kemudian menghimbau pemilik kedai untuk menutup kedainya sementara sampai malam tiba. Namun di tengah lapangan emosi teman-teman tak terkendali dan akhirnya semua hal ini terjadi. Sekali lagi kami minta maaf, Gus.”

“Hmmm, jadi itu tho alasannya. Kalian menganggap dua saudara kalian yang berjualan mencari rezeki ini tidak bertoleransi?” Suara si Kakek makin melembut.

“Tentu saja, Gus! Bagaimana tidak? Muslim merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Saat ini kami sedang beribadah, menjalankan puasa. Tapi mereka, kaum minoritas, cina-cina tak tahu diri ini tak menghormati kami sedikit pun. Mereka pantas mendapatkan ini semua. Benar tidak kawan-kawan?” Ucap seorang pria paruh baya yang berdiri di balik kerumunan orang-orang berserban. Kembali memprovokasi masa. Sorak sorai orang-orang berserban pun kembali bergemuruh menyambut kalimat pembelaan yang membenarkan dosa mereka. 

“Haha. Maaf sebelumnya, tapi saya kok geli mendengar omongan Anda itu. Anda ini kok kayak anak TK. Lha kok terdengar begitu egois ya? Malah jadi merendahkan agama sendiri. Gini ya, dari sudut pandang akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi daripada penganut agama lain. Namun, sekali lagi saya tekankan, Indonesia bukanlah negara Islam! Kita ini hidup di negara yang terdiri dari beribu pulau dengan berbagai kemajemukan di dalamnya. Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan! Tidak boleh lagi ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan serta ideologi. Jika kita merasa muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa. ”Si Kakek tetap tenang merespon kalimat frontal berlatar etnosentrisme tersebut. Kalimat terakhirnya itu, jelas merupakan paradoks terhadap persepsi umum muslim Indonesia.

“Halah kok malah kita yang disuruh menghormati mereka, Gus?” ujar orang lain—yang masih di antara kerumunan orang-orang berserban—tak terima. “Mereka itu kafir! Kita harus bersikap keras kepada mereka bukannya malah melunak. Apa Anda tidak tahu, Gus? Di antara mereka itu sering menghina, melecehkan, dan menjelekkan agama kita. Jangan menafikan hal itu, Gus! Jangan menjadi mahluk hipokrit di balik pakaian Anda sebagai tokoh ulama terkemuka! Melunak sama saja menjatuhkan kedaulatan agama kita, Gus.”Yang satu ini jelas provokator utamanya.

Si Kakek sejenak menghela napas panjang sambil memainkan tongkat kayu yang menopang badannya. Ia masih nampak tenang. Semakin ia ditentang dan dicerca pendapatnya, semakin cerah senyum yang tersimpul pada bibirnya. 

“Bukankah masalah ketuhanan memang rumit? Mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak. Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya. Selalu begitu! Jadi kalau sekarang ini ada yang menjelekkan nama Islam, kita didik agar membawa nama Islam yang damai. Jangan seperti ini! Tindakan represif hanya makin memperkeruh keadaan. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah! Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya, dalam hal ini adalah agama Islam. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya. Sebagai penganutnya kita harus pahami itu! Semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri.”

Kali ini tidak ada yang langsung mendebat pernyataan si Kakek. Kerumunan orang-orang berserban kembali membisu. Beberapa saling bertukar pandang, beberapa hanya manggut-manggut, sedang yang lainnya mendongakkan wajah ke atas mencoba berpikir keras. Mengekspresikan simpulan yang merekapahami dari pernyataan si Kakek dengan gayamasing-masing. Sang provokator pun hanya termangu, kemudian melangkah mundur bersembunyi di balik kerumunan kawan-kawannya. Ia tak berani memperlihatkan batang hidungnya lagi kepada si Kakek. Meskipun ia tahu si Kakek tak dapat melihat dengan jelas.

“Apa yang dikatakan Gus benar, kawan-kawan. Perbuatan kita ini salah! Ini sudah termasuk radikalisme. Islam tidak pernah mengajarkan radikalisme. Nabi kita pun tak pernah mengajarkan radikalisme. Apa kalian lupa? Di dalam Alquran dijelaskan, bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Itu artinya setiap orang di dunia berhak beragama menurut kepercayaan masing-masing. Sadarlah kawan! Filosofi negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Indonesia diciptakan berbeda untuk bersatu dan saling memahami, bukan untuk berpecah dan saling memusuhi,” ucap pemuda yang tadi pertama kali bersuara dan menghadap si Kakek. Nampaknya pemuda ini yang paling waras diantara orang-orang berserban. Tetap belum ada suara yang terdengar dari kubu provokator, kali ini malah yang manggut-manggut lebih banyak dari pada yang saling bertukar pandang atau mendongakkan wajah ke atas. Menandakan sebagian besar sependapat dengan ucapan pemuda tadi. “Maafkan kami Gus. Kami berjanji akan mempertanggungjawabkan perbuatan kami. Kami akan mengganti dan memperbaiki segala kerusakan ini.”

“Haha, tak perlu meminta maaf kepada saya. Saya ini apa? minta maaflah kepada Tuhan yang ajarannya telah kalian salah pahami dan minta maaflah kepada dua saudara kalian ini yang haknya telah kalian langgar. Semoga apa yang terjadi saat ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua. 

“Dari dulu, sebelum merdeka sampai sudah merdeka seperti ini, Indonesia adalah negara yang selalu bertikai.Tak pernah ada habisnya. Itu semua terjadi sebab orang-orang tak memahami konsep perdamaian dalam keberagaman. Kalian semua masih muda, kalian adalah penerus bangsa ini. Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali. Mari kita sama-sama ubah cara pikir kita, bahwa keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya.”Untuk kali ini wejangan si Kakek langsung disusuli oleh serempak anggukan dari orang-orang berserban.Sang provokator termasuk salah satunya. Nampaknya ia mulai sadar. Kerumunan orang-orang berserban akhirnya bubar jalan. Dengan sebelumnya meminta maaf dan berjanji akan mengganti segala kerugian kepada pasangan suami istri muda tadi. 

Mentari kembali tersenyum. Sinar cahayanya yang kekuningan merapat bagai sinar laser yang ditembakkan jauh dari luar angkasa. Berhasil menembus celah-celah awan dan menyirnakan mendung. Balutan fisik si Kakek memang biasa saja, namun harus diakui kharismanya sungguh luar biasa. Orang lain belum tentu mampu menyadarkan orang-orang berserban yang sudah terlanjur kesetanan itu. Matanya sungguh tak berbinar, ia melihat dunia bukan menggunakan mata dengan retika maupun kornea. Ia melihat dunia menggunakan mata dengan hati. 

Pasangan suami istri muda tadi langsung mencium tangan si Kakek dengan khidmat begitu orang-orang berserban telah berlalu. “Terimakasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Anda, Gus. Saya tak akan melupakan kebaikan Anda. Saya akan membalasnya kelak.”

“Haha, sama-sama. Apa yang saya lakukan bukanlah apa-apa. Anda tak perlu repot membalas kebaikan saya. Kalau mau membalas, lebih baik Anda membalas kebaikan negeri ini. Negeri yang dengan sedih atau senang, selalu mencintai kita, penghuninya. Siapa nama Anda? Saya melihat aura pemimpin jujur dalam diri Anda. Saya yakin kelak Anda akan menjadi pemimpindi jantung negeri ini.”

“Haha, haduh Gus-gus. Anda kalau bercanda bisa saja. Saya tidak mungkinlah menjadi pemimpin negeri ini. Saya kan keturunan etnis cina, saya juga bukan muslim, Gus.” Ucap sang suami muda mengira si Kakek bercanda.

“Percayalah, tidak penting apa pun agama atau suku Anda. Kalau Anda bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agama Anda. Anda belum menjawab pertanyaan saya, siapa nama Anda?”

“Pur, Gus”

***

Jombang, November 2014

Semerbak wangi aroma bunga kamboja masih menggelora. Pria paruh baya itu masih duduk termangu, menatap lekat-lekat batu nisan dari sebuah makam tokoh termasyur negeri ini. Beliau yang wafat di makam ini adalah pahlawan baginya. Seorang tokoh yang sangat egaliter, yang dulu pernah meramalnya. Kini ramalan itu menjadi kenyataan.

Pria paruh baya itu datang untuk kembali berjanji pada beliau yang wafat di makam ini. Pria paruh baya itu berjanji untuk meneruskan cita-cita beliau. Sebuah cita-cita yang teramat sederhana. Sebuah cita-cita yang berharap, keberagaman dan negeri ini damai bersalaman.

“Maaf Pak, ini sudah pukul 11.30, setengah jam lagi pesawat lepas landas. Anda harus segera kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan protokoler pelantikan Bapak besok.”

“Oh, iya terimakasih. Tunggu sebentar lagi ya.”
Read more ...
Designed By