Breaking News

Kamis, 18 Februari 2016

Review Buku "Slilit Sang Kiai" Karya Emha Ainun Najib

Oleh: Fuad Akbar Adi

Siapa yang tidak kenal dengan Emha Ainun Najib atau tenar dengan panggilan Cak Nun? Seorang cendekiawan muslim yang terkenal “nakal” dengan pemikirannya yang kritis sekaligus unik. Cak Nun ini termasuk tokoh NU favorit saya setelah pendiri NU, Hasyim Asyari, Gus Dur, dan penyair Mustafa Bisri.

Saya salah menduga ketika pertama kali melihat buku “Slilit Sang Kiai” yang saya kira semacam novel atau kumcer mengingat sosok Cak Nun sendiri yang juga terkenal sebagai budayawan dan penyair. Ternyata setelah saya baca kata pengantarnya, buku ini merupakan kumpulan kolom atau esai namun sifatnya tidak terlalu formal dan konvensional yang biasanya sering menyajikan argumen yang dibangun secara ketat dengan dukungan empirik yang akurat. Gagasan yang dikemukakan Cak Nun lebih berupa obrolan yang ringkas, namun cerdas dan memikat. Meskipun terkadang bagi saya cukup berat. 

Kalau tidak salah hitung, ada 69 judul esai pada buku ini yang dibagi dalam tiga bagian. Membacanya pun tidak harus urut dari awal hingga akhir karena setiap esainya berdiri sendiri dengan topik yang berbeda-beda. Namun secara umum, konten yang terdapat pada buku ini membahas tentang persoalan hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. 

Yang mengagumkan sekaligus membuat saya terhenyak ketika membaca buku ini adalah waktu pembuatan esai-esainya yang berkisar antara tahun 1980 sampai 1990, namun hal-hal yang disampaikan masih sangat relevan dengan kehidupan manusia era saat ini. Saya pun jadi punya dua asumsi sebagai berikut: pertama, karena memang saking pandainya Cak Nun membahas persoalan yang mungkin ia prediksi akan menjadi persoalan yang abadi atau asumsi kedua, karena persoalan negara ini memang itu-itu saja. Wallahualam.

“Slilit Sang Kiai” merupakan buku kumpulan esai pertama yang saya baca, dan syukurlah, meskipun buku ini benar-benar memperlambat kecepatan membaca saya sekaligus membuat saya mondar-mandir membuka KBBI online,---alasannya karena subtansi pada buku ini yang cukup berat bagi saya dan juga banyak penggunaan istilah-istilah yang belum saya mengerti---akhirnya saya menuntaskannya. Berbagai macam kritik sosial disampaikan khas jurnalis, yah, karena Cak Nun sendiri juga seorang wartawan. Lugas, transparan, dan humor serta satirenya menohok liar di mana-mana. Amazing pokoknya. 

Dari sekian banyak judul esai yang terangkum dalam buku ini, ada beberapa yang menjadi favorit saya, antara lain: Slilit Sang Kiai, Empat Kapasitas, Makan-Minum Dak Tentu, Maha Satpam, Wawancara, 17.000 Kartu Nama, dan Mahasiswa Baru. Untuk Slilit Sang Kaia sendiri mengisahkan Gara-gara slilit (baca: istilah Jawa untuk serabut kecil sisa daging yang menyelip di antara gigi), seorang Kiai terancam gagal masuk surga karena ia pernah membersihkan slilitnya dengan potongan kayu yang diambilnya dari pagar orang lain tanpa ijin. Tulisan ini punya muatan pesan yang amat dalam. Betapa slilit yang remeh itu telah merepotkan seorang Kiai yang selalu dipersepsikan mudah menggapai surga. Betapa hal kecil yang amat remeh pun ternyata dapat menghalangi kita dari jalan kebaikan bila diperoleh dengan cara yang tidak benar. Bayangkan saja bagaimana runyamnya para koruptor dan para maling duit rakyat ketika menghadapi hari penghisaban.

Kedua, esai berjudul Empat Kapasitas. Sebenarnya saya masih ragu-ragu menulis reviu untuk esai ini mengingat muatannya yang begitu berat sehingga takut jadi salah persepsi. Intinya, esai ini mengisahkan dua orang guru bernama Danar dan Amrul yang sedang berdialog tentang ujian dan perintah. Hingga dialog tersebut melebar sampai kemana-mana lalu terciptalah sebuah rumusan tentang tataran empat kapasitas manusia. Pertama, kapasitas tengelam: ini jatah mayoritas. Kedua, kapasitas perumus: jatah kaum “intelektual” yang begitu cekatan menggambarkan tulang-belulang keadaan. Ketiga, kapasitas kebal: yang tidak tengelam, bisa merumuskan, tapi sekadar mampu bertahan. Dan keempat, kapasitas pengubah: antisipatif, bahkan melawan, tidak sekadar untuk dirinya sendiri. 

Lanjut ke esai berjudul Makan-Minum Dak Tentu. Esai ini dipenuhi dengan guyonan yang sangat renyah karena mengangkat budaya masyarakat Madura tentang ucapan “Dak tentu”. Di mana pesan moral yang terkandung dalam esai ini adalah semua yang ada di dunia ini hanyalah perkara relativitas. Tak ada kebenaran mutlak dari suatu hal yang tertangkap oleh sudut pandang manusia. Makanya, kaum perempuan jangan menganggap diri sendiri paling benar ya J.

Maha Satpam dan Mahasiswa Baru hampir setipe meskipun bisa dibilang sangat berbeda. Maksudnya setipe adalah kedua esai ini mengkritik kaum intelektual muda di Indonesia yang membuat saya malu sendiri sebagai akademisi karena saya merasa “aku banget” dengan suatu yang disindir pada kedua esai ini. . Sedang 17.000 Kartu Nama berisi tentang sisi lain terhadap dunia prostitusi Indonesia yang tak kunjung usai permasalahannya sampai saat ini. 

Demikian reviu yang dapat saya sampaikan. Buku “Slilit Sang Kiai” karya Emha Ainun Najib merupakan buku yang rekomended sekali untuk dibaca terutama bagi kalian kaum muda yang melulu hanya membaca buku-buku fiksi. Inspiratif dan menggerakkan! 



Read more ...

Minggu, 14 Februari 2016

LGBT Mendistorsi Seni Memasukkan "Sesuatu"

Oleh: Fuad Akbar Adi

Terkait makin riuh-rendahnya kontroversi LGBT, belakangan tulisan-tulisan mengenai LGBT pun makin marak. Baik itu sifatnya yang pro, kontra, atau pun netral. Tak mau ketinggalan ngehits, pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit menggelitik persoalan LGBT lewat sudut pandang saya sendiri yang saya harap tidak mainstream-mainstrem amat. 

Saya sempat bertanya-tanya, kecenderungan menjadi LGBT itu lebih besar menimpa laki-laki atau perempuan? Ternyata setelah coba searching di google, probabilitas perempuan lebih besar ketimbang laki-laki---penjelasan ilmiahnya bisa cek sendiri ya. Waduh, semoga saja mantan-mantan saya tidak move on jadi LGBT pascakandasnya hubungan kita. Ya sebenarnya tidak apa-apa juga, terserah mereka to, yang penting ketika di sidang malaikat jangan bawa-bawa nama saya saja. Hehe. 

Oke, jadi begini, saya akan mencoba bermain analogi. Hubungan seksual dan bermain sepak bola itu sebenarnya memiliki kesamaan yang bersifat filosofis. Seksualitas dan sepak bola itu hanyalah perkara seni memasukkan “sesuatu”. Keindahan dari keduanya terletak saat proses memasukkan itu terjadi. Itu sudah KODRAT Pak, tidak bisa diganggu gugat. Selain itu, kesamaan lainnya adalah keduanya memiliki sebuah tujuan atau GOAl. Goal bagi sepak bola adalah angka yang tercantum pada papan skor sedang goal bagi hubungan seksual tentunya dengan lahirnya mahluk imut-imut yang tangisannya begitu menggemaskan. Fungsinya? Sudah barang tentu, bagi sepak bola goal akan menghadirkan kemenangan dan bagi hubungan seksual goal akan menghadirkan keturunan sebagai penerus eksistensi manusia di dunia ini.

Jika hubungan seksual dianalogikan dengan permainan sepak bola, maka akan seperti ini: Bola sama dengan alat reproduksi laki-laki dan gawang sama dengan alat reproduksi perempuan. Sebelumnya perlu digaris bawahi, GAWANG di sini tentunya komplit dengan tiang dan jaring-jaringnya. Maka, pertanyaan pertama untuk kaum pada huruf pertama LGBT, apa menariknya permainnan sepak bola yang di dalamnya hanya ada gawang tanpa bola? Yang mau ditonton apanya? Tidak ada proses keindahannya sama sekali. Apalagi bila disangkutpautkan dengan goal? MUSTAHIL KUADRAT. 

Lanjut ke G. Ini lebih unik lagi. Pertandingan sepak bola dengan dua bola tanpa gawang? Emmmm, sebenarnya sih ada gawangnya, tapi ini gawang PREMATUR alias KW garis miring PALSU. Sebuah gawang tanpa jaring yang apabila bola ditendang lalu masuk, bola itu akan menghilang. Entah kemana? Ke bangku penonton mungkin. Maksudnya, bola yang dimasukkan ke dalam gawang tanpa jaring tentunya tak akan memberikan bekas berupa bergetarnya jarring-jaring tersebut yang lalu akan dihitung wasit sebagai sebuah goal.

Sama halnya dengan L maupun G, bahkan bisa dikatakan B dan T lebih aneh lagi. Sepak bola TAK BERATURAN. Di mana permainannya campur aduk tanpa adanya kejelasan. Kita mungkin akan dibuat bingun saat menonton karena tak bisa membedakan antara bola dengan gawang. Jelas LGBT adalah bentuk penyimpangan, pelanggaran pada aturan yang dalam hal ini dianalogikan sebagai peraturan sepak bola. Serta mendistorsi/merusak seni yang ada di dalamnya. 

Pesan saya terhadap para LGBT atau Pro LGBT, Anda selalu bersenjatakan HAM sebagai alat pertahanan untuk membenarkan dosa Anda, tapi tanpa Anda sadari sebenarnya Anda telah melanggar Hak kami. Sebagai laki-laki normal yang tentunya sangat menyukai keduanya (sepak bola dan seksualitas) Anda telah melanggar hak kami untuk menikmati dua ikhwal penuh keindahan itu dengan merusak seni yang ada di dalamnya dengan inovasi konyol yang memuakkan. Plis sadarlah, kiamat sudah dekat, sobat!
Read more ...
Designed By