Breaking News

Kamis, 09 April 2015

Filosofi Bintang Orion

Oleh: Fuad Akbar Adi
 
Senyumku tersungging dengan sendirinya ketika kutelah menapakkan kakiku di Universitas Gajahmada. Kuhirup dalam-dalam oksigen segar yang bersumber dari pepohonan yang berbaris rapi di gerbang utama Universitas. Kepalaku kembali terasa ringan setelah sedari tadi mengalami kepeningan akibat riuh rendah ramainya kota Jogja.

Setelah hampir 18 tahun penuntut ilmu di pesantren dengan suasana keagamaan yang kental, kini orangtuaku mengijinkan aku untuk melanjutkan studi di UGM. Aku diterima di Jurusan Sastra Arab, sesuai dengan cita-cita abah yang menginginkan aku menjadi seorang dosen bahasa arab atau penerjemah bahasa arab. Meskipun sebenarnya aku tak terlalu suka mengingat itu bertolak belakang dengan pandanganku yang meskipun aku anak pesantren namun aku berpikir dengan gaya industrialis layaknya kaum liberalis.

“Hei, kamu yang pakek peci putih. Mau tanyak Fakultas Geografi ke arah mana ya?” Aku tercengang mendengar suara cempreng yang telah membuyarkan deru lamunanku. Tiba-tiba saja di sampingku berdiri sosok perempuan yang bertanya kepadaku dengan kedua tanganya masih memegangi sebuah kamera DSLR yang sesekali ia jebretkan ke arah gerbang Universitas. Untuk etika seorang yang sedang bertanya, sikapnya itu sungguh tidak sopan.

“Ha? Kamu tanyak sama aku?” responku sedikit kikuk dengan nada polos pura-pura tidak tahu.

Perempuan itu tiba-tiba menatapku lekat-lekat kemudian sebuah senyuman manis tersimpul dari bibir pink-nya yang tipis. “Pakek nanyak nih orang? Ya jelas kamulah. Di sini yang pakek peci putih kan cuman kamu.” Kedua tangannya kompak bertengger dipinggangnya yang ramping.

“Hehe iya ya. Emmm, Fakultas Geografi? Maaf aku kurang paham, soalnya aku saja baru beberapa menit menginjakkan kaki di sini.” Ucapku dengan tangan kananku tak henti-hentinya menggaruki rambut bagian belakang.

“Oh, jadi kamu Maba juga ya. Yaudah kalo gitu, sori ya kalo ucapanku agak gak enak didenger. Daerah Jogja-Jawa tengahan kan orangnya ngomongnya pada sopan-sopan,” sambil memasukkan kamera DLSR ke dalam tas. “Oh, iya namamu siapa? Perkenalkan namaku Mutiara Sagala. Biasa di panggil Tia. Keturunan Batak tapi udah lama tinggal di Jakarta.”

“Oh, santai aja aku juga bukan asli Jogja. Namaku Muhammad Ridho dari Jombang.”

Tak di sangka memang, orang pertama yang kukenal di sini ternyata perempuan seperti itu. Memang kelakuannya sedikit cross dengan tipe perempuan idamanku. Namun entah mengapa hatiku berkata lain. Percik-percik asmara dengan mudahnya memancar di hatiku, mengingat aku belum pernah sama sekali merasakan namanya cinta.

Sebelum Tia pergi, kami sempat bertukar nomer HP. Dalam beberapa minggu kami sudah akrab dan sering berhubungan lewat sms. Mengapa bisa begitu aku juga tidak tahu. Namun kali ini mendadak Tia meneleponku. Ia mengajakku untuk menemaninya ke Pantai Parangkritis. Malam-malam! Sebenarnya, apa yang ia rencanakan?

***

Aku benar-benar tak habis pikir dengan logikaku. Bagaimana mungkin aku mau-maunya diajak Tia malam-malam seperti ini jalan-jalan berduaan menyusuri pantai. Sungguh ini pertama kalinya aku jalan berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimku. Andai abah tahu peristiwa ini, mungkin leherku sudah dipenggal menggunakan golok tajamnya. Sudah berulang kali kutanyakan maksud dan tujuan Tia mengajakku. Namun ia hanya tersenyum centil sambil berkata “Udah deh diem napa. Ini Surprise. Ntar kamu juga bakal tau. Akan indah pada waktunya.” Kalimat terakhir sedikit diperlambat intonasinya menyiratkan sebuah penekanan. Aku hanya bisa pasrah. Ia menyiksaku dengan rasa penasaran tak bermuara, ditambah benda panjang yang sedari tadi ia panggul di punggungnya yang awalnya kuidentifikasi sebagai gabungan antara kamera DSLR-nya dengan peralon membuat makin berat beban siksaan penasaran yang aku tanggung.

Kami berhenti di sebuah tebing dekat pantai kemudian menaikinya. Semerbak kegelapan langsung menyeruak menyelimuti penglihatanku kala kami tiba di atas tebing. Mataku berkedip-kedip adaptif menyesuaikan hawa temaram, mencoba menikam pekat yang menjalar. Tia menyalakan senter lalu berjalan mencari bidang yang cukup datar. Dengan sigap ia mengeluarkan benda panjang yang sedari tadi ia panggul dan dalam sekejap merakitnya. Ternyata benda panjang yang sedari tadi ia bawa adalah sebuah teropong.

“Taraaaaa. Nih pegangin senternya. Kamu tau nggak Ridho kalau akhir-akhir tahun kayak gini paling ideal untuk menyaksikan rasi bintang. Bintang-bintang di langit sana akan saling berkonstelasi menciptakan bentuk-bentuk simbolis yang dapat diidentifikasi oleh manusia. Nih, kamu mau lihat nggak?” ucapnya dengan mata berbinar sambil sesekali masih mengotak-atik teropong panjangnya itu. Pencahayaan di tempat ini memang sangat minim, namun aku dapat merasakan terang benderang yang begitu menyilaukan mata ketika melihat rona wajah Tia yang berseri.

Dalam beberapa detik aku hanya termangu. Mencoba perlahan-lahan memahami situasi yang sedang kualami. Tak kusangka di balik sikapnya yang cuek dan frontal, ternyata Tia merupakan perempuan yang estetis juga. Hati dapat berdenting membentuk harmoni mayor sempurna yang manis tanpa perlu bersuara atau memetik gitar. Kita memang tak pernah tahu apa itu cinta sampai cinta itu tiba dengan sendirinya di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang dan waktu. Namun kini kutahu, mahluk yang berada di depan pelupuk mataku ini adalah cinta. Dan situasi yang sedang kualami ini adalah harmoni mayor sempurna yang manis itu sendiri, berkat keberadaan cinta. Aku telah jatuh cinta, untuk pertama kalinya!
“Ridho? Woy, kamu kenapa? Ditanyak malah melongo? Ntar kesambet Nyi Blorong tahu rasa deh! Nih tak tunjukin yang namanya rasi bintang Orion.” seru Tia heran sambil mengerutkan dahinya.

“Oh, e a iya-iya sori. Tadi aku ngerasa kayak dejafu aja. Hehe.” Kuputar cerita fiktif sebagai alasan.

Panjang lebar Tia menjelaskan mengenai apa itu rasi bintang. Ia menyebutkan banyak sekali nama rasi bintang beserta artinya beserta kapan waktu kemunculanya yang hanya 10% yang sempat kuingat meskipun aku cukup antusias menyimaknya. Namun untuk kali ini hanya rasi bintang bernama Orion, Taurus, Canis Mayor, dan Auriga yang dapat terlihat. Rasi bintang Orion menjadi favoritnya. Tak perlu bertanya mengapa, aku sudah tahu alasannya mengingat secara fisik memang Orion-lah yang menurutku paling indah.

Intuisiku sungguh jitu. Aku sudah menduga kali ini Tia pasti akan kembali menjelaskan panjang lebar mengenai rasi bintang Orion itu. Telingaku sudah sangat siap untuk mendengar celotehnya.

Dalam mitologi Yunani Orion berarti ‘‘Sang Pemburu’’. Dikisahkan meski ia mengalami kebutaan karena ulah Oenopion, Orion tetap bisa menjadi pemburu nan gagah di kereta pada saat perjalanannya ke timur agar bisa melihat kembali dan membawa pulang. Akan tetapi dalam perjalanan ia terbunuh akibat tersengat racun Scorpion. Kemudian untuk menghormati keberaniannya, Zeus mengangkat Orion ke langit dan menjadi rasi bintang.

“Kamu tahu gak Dho? Dari dulu aku mendambakan seorang kekasih yang seperti Orion. Seorang yang tangguh dan tak pantang menyerah demi mempertahankan jiwa sejatinya. Bukan seperti mantan kekasihku dulu, yang tiba-tiba saja pergi meninggalkanku hanya karena orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Seharusnya ia bertahan dan melakukan sesuatu untuk menyakinkan orangtuaku. Aku benar-benar kecewa dengannya.” Ucap Tia dengan kepala tertunduk. Mendadak suasanya berubah drastis. Arus waktu terasa berhenti mengalir namun bumi tetap konstan berputar pada porosnya. Ucapanmu itu, apakah sebuah curhat biasa atau ada makna implisit di dalamnya, Tia?
“Cie curhat ya?” sumpah aku tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya aku terjun dalam situasi seperti ini. Ambigu!

“Ridho? Apakah kamu setangguh Orion?”

Sinar bulan pucat yang masih bertengger di bibir langit menembus pohon dan dedaunan, menciptakan siluet abstrak keperakan. Kumatikan senter yang sedari tadi menyala. Kemudian memejamkan kedua mata untuk mencoba melebur dalam remang. Engkaulah mahluk pertama yang telah melelehkan benda padat dalam tubuhku ini yang kusebut “hati”. Engkaulah mahluk pertama yang memperkenalkan sesuatu yang disebut “cinta” kepadanya. Pertanyaanmu itu tak perlu kujawab lewat artikulasi maupun intonasi. Hanya dengan satu senyuman tulus, aku berjanji akan menjadi Orion, Sang Pemburu, Tia.



Pekalongan, 28 Januari 2015 Ketika hujan tersenyum saat kutatap.






Read more ...
Designed By