Breaking News

Sabtu, 13 Desember 2014

Mimpi Indah di Tanah Papua

Oleh: Fuad Akbar Adi

Aku terbangun dari tidurku saat kurasaakan guncangan kecil pada pesawat yang aku tumpangi. Membuatku kaget dan menghentikan mimpi indahku tentang keindahan pulau Papua. Aku baru sadar kalau ternyata aku telah sampai di bandara. Rasa takjub dan kagum menyelimuti hatiku ketika kuinjakan kakiku untuk pertama kalinya di tanah Papua. Perasaan haru pun muncul dan tak terasa tetes air mata telah membanjiri lesung pipiku.

Kutengok kanan-kiri, mencari seseorang yang membawa papan bertuliskan namaku. Dia adalah sopir pesanan yang akan membawaku menuju ke sebuah desa terpencil. Akhirnya setelah beberapa menit mencari, kutemukan orang yang kumaksud.

“Permisi Pah, saya Ilham. Benar anda yang akan mengantar ke desa Traore?”

“Oh, iya kawan. Perkenalkan nama beta Yustinus. Mari beta antar ke desa Traore. Silahkan naik kawan” jawab Yustinus ramah.

Logat yang terdengar asing memang di telingaku. Tak tahu, aku seperti merasakan kesenangan tersendiri ketika mendengarkan logat orang Papua. Ada sesuatu yang terkesan lucu menurutku dari logat mereka. Yustinus termasuk ramah untuk seukuran orang Papua yang terkenal dengan sifatnya yang sedikit temperamental. Awalnya aku juga takut dengan anggapan seperti itu, akan tetapi semua itu terbantahkan oleh sikap Yustinus kepadaku. Perjalanan kami pun terasa menyenangkan walau harus melewati jalan yang rusak serta rawan longsor.

Butuh waktu sekitar delapan jam untuk sampai ke desa Traore. Kurasakan badangku sangat lelah dan sepertinya perutku telah berteriak-teriak meminta sesaji. Aku turun dari mobil setelah mobil benar-benar telah berhenti. Saat kuinjakan akuku di atas tanah desa Traore, tiba-tiba terdengar suara alat musik tradisional khas Papua. Kulihat kesekeliling banyak penari-penari Papua yang kemudian mengelilingiku membentuk lingkaran. Ini benar-benar mengharukan, ternyata mereka telah mempersiapkan semua ini untuk menyambutku. Kini, aku benar-benar telah jatuh cinta pada tanah papua.

“Selamat datang kakak. Selamat datang di desa kami. Desa traore” ucap seseorang gadis muda Papua sambil mengkalungkan sebuah kalung terbuat dari bunga ke leherku.

“Ohhhh, terimakasih” balasku dengan senyum seadanya.

“Apakah anda yang bernama Ilham? Guru yang diutus dari kota Jakarta untuk mengajarkan anak-anak kami pendidikan?” tanya seorang lelaki tua kepadaku.

“Hmmm, iya pah saya Ilham”

“Jadi benar kamu Ilham? Perkenalkan nama beta Ortiz. beta kepala suku di desa ini. Silahkan-silahkan. Kami telah menyiapkan hidangan makan malam untuk anda” ucap Ortiz dengan ekspresi kegiranganya.

Sontak, hal ini membuat aku makin bahagia. Ternyata mereka sudah tahu bahwa aku ini muslim, jadi mereka menyajikan makanan-makanan halal kepadaku. Kumakan semua hidangan yang disediakan di meja makan dengan lahapnya. Kemudian, esoknya aku akan bertemu dengan camat di kecamatan tersebut untuk membahas pertugasanku.

Aku sudah resmi diangkat menjadi PNS. Kini gelar S.pd di belakang namaku bukan lagi menjadi pajangan semata karena mulai saat ini aku juga resmi dinyatakan sebagai seorang pendidik dan aku akan mulai bertugas seminggu kemudian. Aku akan dibantu oleh dua guru asli Papua. Mereka bernama Tigri dan Salosa. Aku akan mengajar anak-anak setingkat SMP walaupun sebenarnya sikap dan pemikiran mereka masih sama seperti anak SD pada umumnya. Sedangkan Tigri akan mengajar anak SD kelas 1-3 dan Salosa akan mengajar anak SD kelas 4-6. Memang untuk saat ini belum ada sekolah menengah tingkat atas di desa ini. SMP saja hanya baru ada kelas satu. Kami baru akan membuka kelas dua SMP setahun kemudian.

**********

Hari ini telah kumulai lembar-lembar kehidupan baru sebagai seorang pengajar di sebuah desa terpencil di Papua. Kesan pertama yang kudapat memang anak-anak di sini tak sepandai anak di kota. Tentu saja, bagaimana tidak. Di kota segala fasilitas penunjang pembelajaran ada. Mulai dari LCD, bangku yang bagus, dan ruangan kelas sudah dilengkapi dengan AC. Sedang di sini, jangankan ingin menikmati segarnya udara yang keluar dari AC, gedung sekolah saja hanya terbuat dari kayu dan bambu. Tentu saja ini akan mengurangi rasa kenyamanan siswa sekaligus aku sebagai pengajar mereka. Tapi tentunya apa boleh buat, beginilah kondisi sekolah-sekolah terpencil di pelosok Indonesia, sangat timpang sekali perbedaanya. Nanti lama kelamaan mungkin aku akan terbiasa dengan kondisi seperti ini. Jumlah anak didikku ada sepuluh siswa. Dengan dua diantaranya adalah siswa perempuan.

Dari sekian anak-anak didikku. Ada salah satu anak yang menonjol. Dia bernama Theodorus. Dia sangat aktif dalam pembalajaran. Rasa ingin tahunya sangat kuat. Namun, disamping itu dia juga anak yang paling nakal diantara teman-temanya. Terkadang aku sangat jengkel kepadanya. Dia sering membuat keonaran di kelas. Dia sering menjaili siswi perempuan dan membuatnya menangis. Yah, namun sekali lagi perlu ditekankan, Apa boleh buat, aku harus bersabar. Aku tak boleh terbawa emosi dan membuat mereka tak suka kepadaku. Karena kunci supaya mereka bisa menyukai pembelajaranku adalah aku harus bisa membuat mereka suka kepada kepribadianku dulu. Itulah strategi pertama yang akan aku terapkan dalam system pembelajaranku.

Awalnya strategi yang aku lakukan ini berjalan lancar. Akan tetapi, lama-kelamaan perasaan jenuh menghampiriku. Aku sudah mulai muak dengan kehidupan di sini. Mulai dari banyaknya babi di sekitar tempat tinggalku serta susahnya mendapatkan makanan yang halal. Aku juga mulai merasakan rasa kangen terhadap keluarga dan teman-temanku di Jakarta. Kini aku mulai malas mengajar, ditambah anak didikku yang tak kunjung paham tentang apa yang aku terangkan. Aku lelah dan ingin segera menyudahi semua ini. Ingin kembali ke Jakarta tapi juga malu sama orang tua. Aku telah berjanji suatu saat akan membuat mereka bangga kepadaku. Sekarang dilema demi dilema menghampiri pikiranku dan membuat aku putus asa. Ketika diriku telah mencapai puncak keputusasaan, aku sakit.

Sekujur tubuhku terasa panas saat disentuh orang. Tapi yang aku rasakan malah kedinginan luar biasa. Aku menggigil dan terus memuntahkan apapun yang telah kumakan. Dengan keadaan seperti ini, tak mungkin aku dapat mengajar kembali. Sudah tiga hari aku tidak mengajar. Hal ini telah disadari oleh Pak Ortiz, kepala suku desa Traore. Beliau menjengukku bersama dengan rombongan warga yang lain. Aku tak tahu bagaimana ia mengetahui bahwa diriku sakit. Mungin beliau tahu dari Tigri dan Salosa.

Aku cukup terkejut dengan antusias warga Traore yang simpatik terhadap keadaanku yang sedang sakit ini. Esoknya, mereka berbondong-bondong membawaku ke Puskesmas terdekat yang berada di desa sebelah. Letaknya cukup jauh karena harus menempuh waktu hampir tiga jam. Hal inilah yang membuatku makin terharu dengan kebaikan mereka. Aku menjadi merasa sangat berarti dan dibutuhkan di sini.

Setelah tiba di Puskesmas , aku langsung diperiksa oleh seorang dokter yang ternyata juga bukan orang asli Papua. Dia bernama Indah.

“Selamat pagi, nama saya Indah. Maaf dengan bapak siapa ya?”

“Nama saya Ilham dok”

“Oh, yasudah. Sebentar ya pak saya cek dulu pakek stetoskop. Maaf, bisa dibuka sedikit kancing bajunya?” Ucap indah dengan menempelkan ujung stetoskop ke dadaku.

“Oh, iya dok bisa” Jawabku spontan.

Setelah itu terjadi keheningan di ruangan ini. Indah masih fokus mengidentifikasi penyakitku setelah sebelumnya menanyakan keluhan yang aku alami.

“Gimana dok? Saya sakit apa?”

“Begini pak, anda hanya mengalami demam biasa kok. Saya sudah menyiapkan obat untuk anda. Insyaallah dalam tiga hari saja anda sudah sembuh. Yang terpenting bapak banyak-banyak istirahat dan minum obat teratur” ucapnya kepadaku.

Mendengar kata Insyaallah dari Indah, aku dapat menyimpulkan bahwa dia juga muslim sama denganku. Sepertinya sekarang aku akan mempunyai teman yang bisa nyambung diajak ngobrol.

“Bu dokter asli mana? Sudah lama kerja disini?” tanyaku blak-blakan.

“Hmmm, saya asli Bandung pak. Saya sudah lima tahun kerja disini. Kalau bapak bagaimana? Asal bapak dari mana dan sudah berapa lama di sini?”

“Saya dari Jakarta dok. Saya baru di sini. Mungkin sekitar dua bulan.”

“Pasti bapak orangnya baik dan ramah ya dan tentunya sangat dibutuhkan di desa. Sampai banyak warga yang mengantar anda ke sini”

Hmmm, yang dikatakan Indah sebenarnya tidak semuanya benar. Aku tak terlalu ramah dan baik dengan orang, akan tetapi untuk kata “Dibutuhkan” sepertinya aku setuju. Warga desa Traore memang sepertinya sangat membutuhkanku.

Perbincangan kami kemudian terus berlanjut. Hingga aku mulai mengarahkan pembicaraan tentang kejenuhanku ini. Kuceritakan semuanya dengan detail kepada Indah. Ia menyimak ceritaku dengan wajah serius penuh perhatian. Saat kutelah selesai menceritakan semua kisahku, kembali terjadi keheningan beberapa detik.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku telah selesai bercerita dan aku juga telah meminta pendapat kepada Indah. Namun, Indah masih terdiam tanpa mnegucapkan sepatah katapun. Aku bingung apa ada yang salah dari perkatanku yang membuat Indah tersinggung? Akan tetapi sebelum aku meminta maaf, Indah akhirnya mengeluarkan suara dari mulutnya yang memecah keheningan ini.

“Apa yang anda alami sama dengan yang saya alami lima tahun yang lalu pak”

“Apa? Maksudnya gimana buk?” tanya kubingung.

“Begini ceritanya. Saya dulu adalah seorang calon dokter yang bisa dibilang tak sepintar dengan calon-calon dokter lainya. Walaupun saya telah lulus lama dari akademi kedokteran saya tak kunjung mendapatkan tawaran menjadi PNS. Saat saya mulai putus asa datang sebuah tawaran untuk menjadi pegawai negeri sipil namun saya akan ditempatkan di daerah terpencil. Jadi, saya ke sini awalnya hanya dengan niatan supaya dapat menjadi pegawai PNS saja. Dengan niatan seperti itu, saya bekerja dengan pamrih tanpa ada keilkasan. Sehingga membuat saya jenuh dan tak betah hidup di sini. Bahkan saya malah sudah berkemas-kemas untuk meninggalkan desa ini. Namun sebelum saya pergi sebuah peristiwa terjadi dan itu mengubah pemikiran saya.

Saat itu ada seorang ibu membawa anaknya ke tempat tinggal saya. Anak itu mengalami panas parah di sekujur tubuhnya hingga tak sadarkan diri. Saya mencoba sekuat dan semampu saya mengobati anak itu. Namun, anak itu tak tertolong karena penanggulangan yang terlambat. Dia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan saya. Saya menangis sseketika saat melihat si anak telah meninggal. Hal inilah yang telah menyadarkan saya bahwa mereka sangat membutuhkan dokter di sini. Apa jadinya kalau saya benar-benar meninggalkan desa ini?”

“Hmm, jadi begitu” Jawabku dengan canggung.

Apa yang telah disampaikan Indah membuatku sadar. Kisahnya memang tak jauh beda denganku. Aku di sini hanya untuk mendapatkan gelar PNS. Tak ada keilasan di hatiku untuk benar-benar ingin mendidik anak-anak di sini dari ketertinggalanya akan pendidikan. Aku menyesal dan merasa berdosa atas semua pemikiranku ini. Aku sangat egois dan mementingkan diriku sendiri. Namun, kini aku tersadar berkat Indah. Setelah mendengar cerita dari Indah aku langsung pulang. Kuminum obatku saat sampai di rumah. Setelah itu aku tidur.

Malamnya kurenungkan apa yang telah Indah ceritakan. Kini aku kana berubah. Aku akan tetap di sini dan mengurungkan niatku untuk pulang ke Jakarta. Aku berjanji akan mencerdaskan anak-anak di desa Traore yang semoga kelak akan akan menjadi anak yang berguna bagi bangsa Indonesia.

Malam semakin larut dan kini aku mengantuk, aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengunci pintu karena aku mau tidur. Namun, betapa terkejutnya aku saat melihat ada Theodorus berdiri di depan pintu rumahku.

“Hay, Theo. Kamu bikin bapak kaget saja” sambutku dengan muka heran.

“Bapak bagaimana keadaanya? Sudah sembuh kah? Beta kangen sama bapak. Sudah empat hari bapak tidak masuk sekolah. karena bapak tidak masuk sekolah murid-murid tidak ada yang mengajar. Beta pengen sekolah lagi bapak. Cepat sembuh ya” dengan senyuman tanpa dosa Theo memandangku.

Apa yang telah diucapkan Theo membuatku makin terharu. Betapa semangatnya dia kana sekolah. seandaninya aku jadi kembali ke Jakarta, mungkin dia akan sangat kecewa kepadaku. Dia benar-benar menaruh harapan besar kepadaku, dan aku berjanji tidak akan menyecewakanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By