Oleh: Fuad Akbar Adi
Nada-nada indah mengalun merdu diiringi rintik hujan yang mengguyur. Dedaunan mengalir lembut dengan harmonis mengikuti irama nada-nada indah itu. Sementara seekor kucing yang acuh sedang berteduh kedinginan di bawah pohon, nampak bergerombol manusia yang telah terstimulus perasaanya ikut hanyut dalam nada-nada indah itu. Termasuk Syair yang masih tegak bergeming dengan sorot mata tajamnya terfokus pada pertunjukan yang ia saksikan.
Dorongan hati makin menjadi-jadi tak kala ia berpikir memadukan nada-nada indah itu dengan lirik-lirik melankolis nan puitis ciptaannya. Sekelebat bayangan menggiurkan itu tiba-tiba saja terlintas dalam benak Syair. Tanpa lama ia berfikir, Syair melangkah menerobos barikade pagar hidup seraya menyeka rambut panjangnya yang basah oleh rintik-rintik hujan yang mengguyur sedari tadi.
Tak perlu waktu lama, Syair sudah menginjakkan kakinya di barisan paling depan. Matanya makin berbinar kala menyaksikan nada-nada indah yang ia dengar tadi bersumber dari gesekan biola yang dimainkan oleh wanita dengan senyum manis bak malaikat.
“Siapa gerangan wanita ini?” Syair bertanya-tanya dalam hati.
Mencoba membuka logikanya, hasrat Syair makin bergelora ingin mengenal lebih jauh mahluk yang sekarang berada di depan pelupuk matanya. Dengan sabar, Syair masih berdiam diri menanti bergulirnya waktu. Hingga alunan nada-nada indah itu akhirnya berhenti dan segerombolan manusia yang sedari tadi menemaninya mendengarkan alunan nada-nada indah itu lenyap satu persatu dengan sendirinya tanpa berpamitan. Kini hanya ada Syair dan wanita pemain biola bak malaikat itu. Seraya mengemasi biola dan alat-alat musiknya, wanita pemain biola itu sejenak menatap Syair dan memberikan sedikit senyumnya yang memercikan kilau cahaya ke dalam hati Syair yang terlalu hampa. Betapa bergetarnya jiwa Syair kala itu. Sungguh harus ia akui, senyuman wanita pemain biola itu sangat indah sekali. Manis, semanis madu. Hingga telah lama, baru kemudian ia sadari wanita pemain biola itu sudah berlalu terlampau jauh dari tempat ia berdiri.
Sontak, seketika Syair terkejut. Ia menampar lirih pipinya, mencoba menyadarkan dirinya sendiri yang nampaknya baru saja terhipnotis oleh senyuman dari wanita pemain biola itu. Sambil berlari kelabakan, Syair berteriak memanggil-manggil wanita pemain biola itu.
“Hey, kau tunggu sebentar!”
Walaupun tak mengenal Syair, wanita pemain biola itu cukup peka kalau orang yang Syair panggil adalah dirinya. Tepat di depan gazebo yang sepi dan temaram, ia berhenti dari langkahnya dan memalingkan wajahnya ke arah Syair dengan agak heran. Tak lama kemudian dengan nafas terengah-engah Syair sudah berada persis di depan wanita pemain biola itu.
“Maaf, kamu siapa ya?” wanita pemain biola itu mengerutkan jidatnya bingung.
“Hah hah hah, perkenalkan namaku Syair. Aku dari jurusan sastra. Tadi aku menyaksikan kau memainkan biolamu dengan sangat indah. Aku hanya tertarik dengan permainan biolamu tadi. Aku hanya ingin mengenalmu saja. Siapa namamu?” Syair melontarkan kata-kata panjangnya dengan intonasi patah-patah.
“Oh, anak sastra ya. Terimakasih atas pujianya. Salam kenal, panggil saja aku Melodi” kembali senyum indah wanita pemain biola itu tersungging dari bibir manisnya.
Lantas, bersama-sama Syair dan Melodi saling berjabat tangan sebagai simbol perkenalan antara mereka berdua. Seraya berjalan menyusuri jalan setapak kampus konservasi, Syair dan Melodi berbincang banyak mengenai apa saja. Awalnya mereka berbincang mengenai genre mereka masing-masing, sastra dan musik tentunya. Lalu, pembicaraan mulai menjerumus pada kisah-kisah kehidupan mereka. Menjadi akrab dalam sekejap memang tidak terlalu baik, namun rasa percaya dan nyamanlah yang kemudian membuat mereka larut dalam keakraban.
Hingga rona jingga kemerahan yang membentang dari ufuk barat, mengakhiri perbincangan panjang mereka. Melodi minta pamit pulang kepada Syair. Sempat Syair mengutarakan jasa untuk mengantar Melodi pulang dengan tunggangan besinya, namun ditolak secara halus oleh Melodi. Pada senjakala itu, Melodi memberikan senyuman terakhirnya sebelum berlalu meninggalkan Syair. Hati Syair kembali bergetar, ia tak pernah menduga akan sedasyat itu senyuman dari wanita pemain biola yang kini ia kenal bernama Melodi. Meskipun ia belum dapat mengutarakan maksud dan tujuan sebenarnya, setidaknya perkenalan ini tak terlalu sia-sia.
“Masih ada banyak waktu, mengapa harus tergesa-gesa. Yang terpenting kan sudah saling mengenal” gumam Syair sambil menatap senja.
**********
Sudah lebih dari dua minggu sejak perkenalan mereka di depan gazebo yang sepi dan temaram, Syair dan Melodi tak pernah lagi bersua. Meski berada dalam satu fakultas, keadaan kali ini belum sudi mempertemukan meraka kembali. Keadaan yang telah dua minggu ini memaksa mereka untuk sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, untuk hari ini keadaan sedang berbaik hati.
Mendung menggantung di bibir langit. Awan membumbung di awang-awang. Samar-samar mulai terdengar gemercik air bersentuhan dengan genting. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur langit-langit kampus konservasi kala Syair sedang memacu kendaraan besinya menuju kontrakanya yang lumayan jauh dari kampus. Karena tak membawa jas hujan, Syair memutuskan berteduh di depan teras rumah kos-kosan berwarna hijau muda yang ia liat di persimpangan jalan. Ia duduk di teras yang cukup luas dan berjubin putih abstrak. Ia menyeka rambut panjangnya yang basah akibat guyuran hujan dengan badan yang masih menggigil kedinginan. Para penghuni kos merasakan keberadaan seorang pria yang berteduh di teras kos mereka. Meskipun begitu mereka tak terlalu perduli. Seseorang yang berteduh di teras ketika hujan mereka anggap hal biasa. Hanya ada satu orang yang tertarik, satu-satunya penghuni kos yang pandai bermain biola. Melodi.
Melodi melihat Syair yang sedang berteduh di teras kosnya dari balik korden jendela. Karena merasa kenal, Melodi bermaksud menemui Syair, lantas mempersilahkanya masuk ke kos, mengingat ia tahu hawa di luar yang dingin menusuk tulang. Syair menoleh ke arah kos ketika terdengar suara pintu terbuka. Tak disangka oleh Syair ketika seseorang yang membuka pintu kos ternyata adalah orang yang ia kenal. Sesosok bidadari muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan. Cahaya putih yang bersinar menyilaukan mata menjadi efek kehadiranya.
“Melodi?” Syair memanggil Melodi dengan nada ragu-ragu seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Hay, ketemu lagi. Hujannya masih deras, masuk aja yuk, pasti kamu kedinginan” ajak Melodi ramah sambil mengkerlingkan matanya.
Dengan agak sungkan Syair masuk dan duduk di ruang tamu kos yang biasa dijadikan anak-anak kos sebagai tempat belajar kelompok. Syair menyapu pandanganya mengelilingi seluruh penjuru ruangan. Rasa takjub hinggap di hatinya tak kala melihat ruangan seperti ini. Ruanga yang bersih dan tertata rapi sebagaimana halnya kos-kosan putri yang lain. Barangkali berbeda dengan kontrakan Syair yang dihuni oleh para lelaki yang agaknya sering mengesampingkan nilai-nilai kebersihan dan kerapian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar