Oleh: Fuad Akbar Adi
Artikel hasil interviu ini merupakan artikel kedua saya yang berhasil mewawancarai sastrawan berkaliber nasional setelah sebelumnya saya pernah menginterviu Eko Tunas, penyair kawakan Indonesia, kini pada artikel ini saya akan menyajikan mengenai hasil interviu saya terhadap novelis muda yang namanya tengah ngehits. Bagi yang belum mengenal sosok Bernard Batubara, berikut saya lampirkan kutipan profil yang ada pada web pribadinya.
“Bernard Batubara adalah penulis penuh-waktu. Lahir 9 Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat; tinggal di Yogyakarta. Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak medio 2007. Buku-bukunya yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM (2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth (2013), dan Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014). Radio Galau FM dan Kata Hati telah diadaptasi ke layar lebar.Surat untuk Ruth sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar oleh Screenplay Productions, direncanakan tayang 2016. Novelnya yang terbaru telah terbit bulan Oktober 2015: JIKA AKU MILIKMU (GagasMedia).”
Bang Benz, biasa ia dipanggil merupakan salah satu penulis muda yang akhir-akhir ini namanya mulai melejit di kalangan penikmat karya sastra. Ia terkenal sebagai penulis yang aktif di jejaring sosial sehingga banyak yang beranggapan kalau Bang Benz ini termasuk penulis dengan genre Teenlit. Padahal kalau menurut saya, Bang Benz ini meskipun tema yang diusung dalam setiap karyanya selalu mengenai hal yang berbau cinta namun kemasannya sangat berkualitas dengan ornamen-ornamen sastra yang sangat kental.
Saya termasuk berutung dapat menginterviu Bang Benz yang notabene merupakan penulis berkaliber nasional. Hal ini kebetulan terjadi ketika saya mendapat amanat menjadi ketua panitia seminar nasional yang pada waktu itu salah satu pembicaranya adalah Bang Benz ini. Tak mau menyi-nyiakan kesempatan, sebelum Bang Benz bercuap-cuap di depan panggung, saya terlebih dahulu mencuri kesempatan mewawancarainya secara sembunyi-sembunyi di ruang transit pembicara.
Namun ketika saya hendak melontarkan pertanyaan yang sudah berjubel di otak, mendadak masuk seorang teman saya (seksi konsumsi) yang niat awalnya baik ingin memberikan jatah konsumsi pembicara, akan tetapi menjadi berubah pikiran ketika melihat sosok Bernard Batubara di depan pelupuk matanya.
“Mas Bernar-Mas Bernard. Saya mau curhat dung. Dan blablablabla (Untuk mengekfektifkan waktu mohon maaf dialognya harus saya skip). Pokoknya inti pertanyaan dari sang seksi konsumsi adalah sebagai berikut: “Saya suka baca tapi kok saya nggak pinter nulis ya? Padahal katanya kalau pengen bisa nulis harus rajin membaca? Itu bagaimana Mas Bernard?”
Yap, itu pertanyaan klise. Pertanyaan yang bisa jadi termasuk ke dalam nominasi pertanyaan terfavorit yang dilayangkan oleh para penulis pemula. Saya juga merasakan seperti itu. Lalu, inilah jawaban dari Bang Benz:
“Itu karena menulis dan membaca adalah dua hal yang berbeda. Sebenarnya sederhana. Ketika kamu ingin pandai menulis, yang harus kamu lakukan adalah menulis. Belajar menulis. Menulis lagi. Orang tidak bisa hanya dengan suka membaca maka secara otomatis akan pandai menulis, sama sekali tidak mungkin. Memang saling berkaitan, namun membaca hanya sebagai bekal saja untuk menulis. Dengan banyak membaca akan ada banyak referensi yang dapat kita olah menajadi materi tulisan kita. Namun itu sifatnya hanya membantu. Kalau kita tidak melatih keterampilan menulis kita, sebanyak apa pun referensi yang kita punya nantinya kita akan kesulitan menuangkan atau mendeskripsikan pikiran, gagasan, konsep atau apa pun yang ada di otak kita ke dalam tulisan.”
Mendengar jawaban itu, spontan saya langsung menimpali dengan sebuah pertanyaan yang memang benar-benar muncul dari lubuk hati saya yang suci.
“Tapi Bang, saya sudah sering melatih tulisan saya. Sudah saya paksakan mati-matian. Tapi terkadang saya tidak pede dengan tulisan saya. Baru satu paragraf sudah dihapus ganti lagi. Bikin lagi hapus lagi. Dan akhirnya tulisan saya nggak kelar-kelar Bang. Itu gimana?”
“Nah, itulah yang terkadang merupakan kesalahan yang sering dilakukan oleh penulis pemula. Karena kita melakukan dua hal sekaligus: Menulis dan Menyunting. Maksudnya, ketika menulis kita tulis saja. Lurus ke depan. Hajar. Jangan dipikirkan nanti tulisan kita akan jadi bagus atau jelek yang terpenting selesaikan dulu tulisanmu. Perkara nanti bagus atau tidaknya di sinilah kita baru melakukan sentuhan akhir. Finishing. Istilah bakunya menyunting. Jangan melakukan keduanya sekaligus secara bersamaan akan jadi berat nanti. Bakal ngerusak konsen kita dengan alur tulisan kita. Dan jadinya seprti itu kan, tulisan kita malah gak bakal selesai-selai.
Jawaban tersebut sangat menyentuh. Betul juga. Ketika saya menulis, terutama cerpen dan artikel saya selalu dibikin pusing dengan diksi. Saya selalu ingin membalut tulisan saya dengan deksi yang cetar dalam sekali proses. Itulah yang malah membuat kita hilang fokus pada alur konsep kita. Dalam menulis, yan terpenting tuangkan dulu alur konsep kita, mengenai kemasan (dalam hal ini berupa diksi dan gaya bahasa) itu dilakukan pada sentuhan akhir seperti yang dikatakan Bang Benz tadi, finishing atau menyunting.
Lanjut sesi pertanyaan ke tiga. “Bang! Bang Benz kan sudah bikin banyak tulisan. Bahkan pada tahun ini sudah nerbitin tiga novel. Nah itu gmn Bang menjaga konsistensi dalam menulis? Tentunya kan dalam kehidupan kita sehair-hari banyak kegiatan yang menyita waktu kita. Nah itu gimana Bang?
Pertanyaan yang juga klise. Namun, kali ini sebelum menjawab Bang Benz sejenak menatap kami berdua dengan senyuman ambigu sarat makna. Mungkin dia geli kali ya dengan pertanyaan kami yang teramat mengindikasikan kami adalah penulis yang begitu pemula dan amatiran buangetzzzz.
“Gitu ya? Sebenarnya tulisan saya nggak banyak-banyak juga kok. Masih banyak penulis-penulis lain karyanya sangat banyak dan berkualitas. Kalau bandingannya dengan kalian sih ya emang keliatan banyak. Huahahahaha.” Kurang ajar! Sifat aslinya akhirnya muncul juga. “Jadi gini dek, ada quotes dari Ernest Hemingway yang bunyinya kayak gini:”
“Menulis itu bukan kita duduk di depan komputer lalu mengetik, melainkan kita duduk di depan computer kemudian berdarah-darah” –Ernest Hemingway
“Sekarang aku tanya ke kalian deh. Rasanya berdarah itu gimana sih? Sakit kan pastinya. Lalu kenapa menulis dianalogikan seperti itu? Berdarah-darah? Ya karena untuk menciptakan sebuah tulisan yang bagus yang hebat kita perlu mencurahkan segala kemampuan kita, segala energi, pikiran, hati,jiwa, panca indera yang lain. Kita harus benar-benar peka terhadap sudut pandang. Dan semua itu bukanlah hal yang mudah dan mengenakan. Ada kalanya kita akan mengalami sekarat seperti tubuh kita dipenuhi dengan luka yang menganga. Itulah yang nantinya akan membedakan penulis hebat, bahwa penulis hebatlah yang mampu bertahan terhadap rasa sakit itu. Ketika menulis kita tidak punya teman dan kita memang tidak butuh teman. Yang kita punya hanyalah kesepian dan kesunyian. Boleh kita mengikuti acara pelatihan menulis, membaca tips-tips menulis dari penulis-penulis hebat. Membaca sebanyaknya karya sastra, akan tetapi pertarungan kita sebenarnya adalah di saat kita berada di kesepian.”
SEKIAN
Makasih kak udah berbagi ilmunya
BalasHapusSemoga ilmu kakak makin bermanfaat :-)
Sama-sama. Terima kasih sudah berkunjung :)
BalasHapusWaaaa makasih Kak. Duh aku suka ama bang Benz
BalasHapus