Mengeja Paras Sinta (1)
Semerbak aroma lembayun membungkus
altar jingga dalam siluet perangaimu.
Barang kali, sebelum epilog drama semalam
selesai dibacakan, Dewa Agung telah menukar likat malam dengan parasmu.
Wahai Sinta, dewi yang memangku sembilu.
Aku ingin mengajakmu ke negeri senja
Di mana tajam bias surya bersua bayang remang
dan angin enggan meninggalkan jejak kecuali isak.
Sinta yang melempar lalang ke bulan, berhentilah
menanak nasi untuk kesatriamu yang ragu.
atau menanti panen padi dan mengurus
sapi yang tak jua melahirkan lembu.
Di negeri senja kau tak perlu berpijak pada tanah yang menistakan telapakmu
yang mengandung zarah surga
atau mengecap getir biji majapahit
Wahai Sinta, dewi yang menari di atas bukit syahdu
aku rindu parasmu yang ayu
yang merona kembali sebelum tirai pekat drama semalam terkatup.
Wahai Sinta, dewi yang menjaga bulan mati, jika kau tak mau ikut
dan bersikukuh
maka kesetiaan adalah nyala api bagimu.
semoga kelak anakmu
lahir dari jantung panah yang abu.
sebelum aku katam mengeja parasmu
Menghitung Hari, Sinta Mati (2)
Kegelapan congkak berkuasa di angkasa
Bertahta pada puncak kulminasi kepekatannya
Kau, Sinta, Dewi yang dulu peniup simfoni
harmoni pelangi. Kini terkulai
terbenam sekat mahoni
Aromamu yang dulu wangi, tergusur
bau tanah
Nista sudah kau dicabik-cabik sunyi
Menunggui kesatriamu
Yang barang kali tak bernisan lagi
Salah sendiri kau mabuk sama hati
Angkuh kau Dewi bersikukuh
Sekarang coba lihat, ingin berteriak
tapi lidahmu kelu
ingin beranjak tapi sendimu kaku
Tinggal menghitung hari pasti mati
Kau, Sinta, Dewi . Jika kau bersikukuh
mengandung pertiwi menantang senyap sepi
Kesucian Sinta (3)
Terik menghujam . . .
Menyirnakan halimun memusnahkan embun
Wahai Sinta, dewi berkerling pelangi
Kau lihat di balik gapura itu?
Laskar samber nyowo mulai bergemuruh.
Nampak gagah dewi, lengkap dengan panji-panji
dan trisula berlapis perak. Kesatriamu!
Itu Kesatriamu! Ia menunggang kuda, menengadah nanar.
Wahai Sinta, dewi penyulam lengkung langit
Masihkah kau bergeming?
Barangkali kau terlahir dari benih tanpa berahi
Inilah cara untuk menyudahi, mencegah pertumpahan darah dewi
Lihatlah tanganku mulai bergetar
sukmaku mulai membuncah membanjiri setiap sekat nadi
Kau tak perlu renjana untuk bercinta Sinta, dewi bergerai temaram
Cukup terpejam saja
Tanpa perih
Sebelum tajam bias surya bersua bayang remang petang ini
Kesucian telah berpaling darimu
Terpejam di Pangkuanmu, Sinta (4)
Ah . . . sirna sudah
Surya beranjak tenggelam, terbenam oleh kelam
Gagak-gaka hitam mulai berdeham
Perlahan, hati-hati menelan ludah
Aroma anyir merangsang gejolak
pada pembuluh darah, bergairah.
Wahai Sinta, dewi berselandang aurora
Lihatlah ke sini . . .
Aku sekarat, ajalku kian dekat
Kesatriamu mengacau . . .
Menggores kanvas putih ini dengan bara
yang menjadikannya abu.
Ia menikam pekat dengan kilat
Menghabisi remang yang menjalar
Wahai Sinta, dewi berusuk cakrawala
Ke sinilah, biarkan aku terpejam di pangkuanmu
Biar aku sejajar dengan bulan, mahluk beruntung yang pernah
engkau pangku. Biar sejenak semesta iri.
Biar bagaimana pun aku juga kesatria
meski terlahir dari arang yang meradang.
Ah kau ini Sinta . . .
Bersamamu membuatku putus asa
dan mencinta pada saat yang sama.
Bunga Terakhir untuk Sinta (5)
Jingga bersemi di tepi ufuk
menghampar semburat terindah yang
pernah kusaksikan. Inilah negeri Senja yang kuimpikan,
Sinta, dewi berlesung nirwana.
Kita duduk bersama, mengukir siluet dalam
bias sorot disufi cahaya.
Berpendar memahat lengkung langit.
Sayangnya hanya sebatas alur ilusi.
Kenyataannya aku telah lelah menapak
jejak langkahmu. Api makin berkobar angkuh
menyibakkan lidah menghanguskan segala
yang merintangi. Segalanya telah luluh, segalanya
hangus untuk cintaku yang mengekor di ujung
helai rambutmu. Aku bergumam pelan di detik terakhir.
Berbisik menguntai sajak sendu.
Wahai Sinta, dewi
bernapaskan asiri, rengkuh tubuhku.
Sejenak saja. Biarkan ragaku berpagut denganmu.
Biarkan aku meleleh sebelum membeku kembali.
Lihatlah ini sekuntum bunga yang indah bukan?
Terimalah sebelum layu tersengat api.
Wahai, Sinta kaulah zarah ketunggalan sebelum
munculnya percabangan cinta. Bunga terakhir ini,
kuberikan kepadamu.
Kutulis kata, untuk kisah terakhir.
~Fu~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar