Breaking News

Kamis, 15 Januari 2015

Eko Tunas: Menulis Adalah Kerja Hati

Oleh: Fuad Akbar Adi 
Perkembangan tulis menulis di Indonesia terutama sastra, saat ini mengalami stagnanisasi, masih berjalan di tempat. Sedikit sekali adanya perubahan-perubahan yang mampu mendobrak dunia kepenulisan. Ketika kita melihat di toko-toko buku, di perpustakaan atau di mana pun tempat yang menyediakan buku sastra selalu didominasi oleh buku itu-itu saja. Genrenya masih sama, hanya berkutat pada kisah-kisah cinta remaja yang teentlit dan Chiklit. Kualitas dan mutu dari buku karya sastra malah mengalami kemunduran.

Ditemui di kediamannya Jalan Kanver Utara III Nomor 204, Bayumanik, Semarang, Rabu pagi (14/1), Eko Tunas, seorang penulis dan penyair kawakan di Jawa tengah menuturkan bahwa sastrawan-sastrawan muda Indonesia saat ini memiliki fasilitas dan sarana yang cukup dan memadahi sekali untuk mendukung dalam kegiatan menulis, namun hasilnya malah sedikit sekali karya-karya yang bagus dan berkualitas. Eko Tunas yang merupakan lulusan Jurusan Seni Rupa IKIP Semarang, sekarang Universitas Negeri Semarang (Unnes), ini ketika mahasiswa tinggal satu kos bersama cerpenis S. Prasetyo Utomo, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang, Muhk. Doyin dan penyair sekaligus jurnalis Suara Merdeka, Triyanto Triwikromo. “Dulu saya kalau mau nulis itu harus minjem mesin ketik teman kos saya, Pak Prasetyo, saya harus nunggu dia selesai ngetik dulu baru saya boleh minjem. Tapi hasilnya karya tulisan saya mampu menembus koran-koran ternama seperti Kompas. Kalau cuma Suara Merdeka mah mudah” ujarnya dengan setengah tertawa. Ucapan Eko Tunas memang ada benarnya, kalau ditelisik lebih dalam sastrawan muda kita terutama para mahasiswa yang berkecimpung di dunia satra terlalu termanjakan oleh fasilitas dan sarana yang memadai. Padahal semua itu awalnya bertujuan untuk mendukung, mempermudah dan menunjang mahasiswa untuk terus berkarya. Namun kenyataannya mahasiswa malah terlena dengan segala kemudahan tersebut sehingga menjadikan mahasiswa malah malas dalam menciptakan karya-karyanya.

Lalu bagaimana cara mengatasi masalah malas menulis seperti itu? Di mana hal tersebut merupakan masalah klasik bagi para sastrawan muda di Indonesia. Eko Tunas menuturkan “Malas memang gangguan terbesar bagi para pemulis pemula. Memang sulit itu, saya awalnya juga begitu. Namun saya paksa dengan terus menulis saja. Tulis saja apa yang kamu bisa. Tulis kata pertamamu, setelah itu berdoalah dan biarkan Tuhan menggerakkan tanganmu”. Keengganan dalam menulis memang kebanyakan cenderung terjadi ketika kita hendak memulai menulis kata permata, padahal sebenarnya jika kita mampu memaksakan diri, secara langsung otak kita akan terstimulus untuk bekerja dalam mengeksplor pengetahuan dan kreativitas yang kita miliki.

Kembali Pak Eko, biasa beliau disapa tetangganya, menuturkan “Pengetahuan itu penting karena dengan pengetahuan kita memiliki banyak referensi terhadap materi yang akan kita tulis. Nanging siji, ojo kakehan teori. Karena menulis itu bukanlah hal yang bersifat teoritis. Harus kerja! Menulis adalah kerja hati! Itu yang terpenting!”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By